Cherreads

Chapter 27 - Suasana di belakang panggung

Setelah riuh gemuruh penonton yang tak kunjung reda, lampu panggung perlahan meredup.

Hanya satu cahaya sorot yang kini tertinggal, mengarah lembut pada sosok anggun yang melangkah ke tengah panggung.

Mirusia.

Gaun panjang berkilau dengan detail renda dan permata menambah keanggunannya saat ia menatap lurus ke depan.

Tangannya mengepal di dada, matanya memejam sejenak sebelum suara lembut nan kuat itu keluar dari bibirnya,

melantunkan “Time to Say Goodbye” dengan getaran yang menyentuh hati.

Sesekali aku dan rekan-rekan musisiku menyisipkan instrumentasi halus. Paquito pada piano memainkan nada-nada lembut, sementara Tristanio menunduk penuh konsentrasi di balik cello-nya.

Aku sendiri, memainkan biola dengan penuh perasaan, mengalun seperti dialog rahasia yang tak terucap.

Dan seketika aku tahu, ini bukan hanya lagu penutup, ini adalah persembahan.

Persembahan untuk jiwa-jiwa yang datang dengan harapan, untuk cinta yang tak selesai, dan mungkin… untuk seseorang yang menatap dari kejauhan, tapi tak sempat melihatku dengan jelas.

Ketika Mirusia mencapai nada klimaksnya,

paduan suara dari sisi panggung bergabung, membentuk harmoni surgawi.

Ratusan suara manusia menyatu dalam satu kesatuan, namun tidak menenggelamkan keindahan suara Mirusia.

Tidak.

Suaranya justru melayang lebih tinggi, seperti burung putih yang mengantar perpisahan dengan tenang.

Pukul 19.00 tepat.

Lampu utama perlahan meredup, dan tirai panggung bergerak pelan menutup segala keindahan di baliknya.

Tepuk tangan panjang pun kembali pecah, hingga detik terakhir suara terakhir hilang dari udara.

Konser ini benar-benar luar biasa.

Lebih dari sekadar acara.

Ini seperti pertemuan antara hati-hati yang tak saling mengenal tapi seakan berbicara lewat musik.

Aku menepuk pundak Tristanio dan memeluk Rebecca. Kami tertawa dan saling memuji satu sama lain.

“You were magical tonight, Verez, like always,” kata Rebecca sambil memelukku sebentar.

“No, it was all of us. You held the whole melody together like a true heartbeat,”

(Tidak, itu semua dari kita. Kau menyatukan seluruh melodi itu seperti detak jantung yang sebenarnya,)

balasku sambil menatap mereka satu per satu.

Wajah-wajah kelelahan tapi puas.

Inilah arti seni yang sebenarnya.

Tiba-tiba suara langkah tergesa datang dari sisi panggung.

Vario muncul, seperti biasa dengan kemeja agak kusut dan rambut acak-acakan khasnya.

Nafasnya terengah tapi matanya berbinar.

"Verez!" serunya dalam bahasa Inggris.

“I got you two bookings!”

(Aku dapat dua bookingan untukmu!)

“One is a major concert at Théâtre des Champs-Élysées. It’s about two weeks from now.” (Satu konser besar di Théâtre des Champs-Élysées. Sekitar dua minggu lagi.)

“And the other one…”

ia menarik napas sebentar,

“…a British noble wants to book you for his wedding. He loved your performance. Said you were brilliant.”

(Dan yang satunya lagi… seorang bangsawan Inggris ingin memesanmu tampil di pernikahannya. Dia suka sekali penampilanmu. Katanya kamu luar biasa.)

Aku hanya tersenyum tipis.

Keringat masih menetes dari pelipis.

Aku tak langsung menjawab.

Suasana di belakang panggung terlalu penuh energi untuk segera mencerna kabar itu.

“Do you want to meet the legendary musician who recommended you for Théâtre des Champs-Élysées?”

(Kau ingin bertemu musisi legendaris yang merekomendasikanmu untuk konser di Théâtre des Champs-Élysées?)

Aku menoleh padanya,

menahan napas sejenak.

“Sure,” jawabku.

“Why not?” (Boleh. Kenapa tidak?)

Vario mengangguk cepat dan segera berlari lagi, seperti biasa selalu sibuk ke sana kemari.

Sementara aku berjalan santai bersama rekan-rekanku menuju ruangan khusus di belakang panggung, tempat kami biasa merapikan diri, melepas jas performa, dan menyimpan alat musik kesayangan kami dalam keheningan penuh rasa hormat.

Langkah kami bergema lembut di koridor beralaskan kayu tua.

Tristanio berjalan lebih dulu, membawa cellonya yang ia peluk seperti bayi.

Rebecca menyusul dengan selembar partitur yang dilipat rapi,

sedang aku...

Aku menggenggam biolaku dengan erat.

Seolah baru saja kusampaikan semua isi hatiku lewat senarnya, dan entah kenapa, hatiku belum selesai berdebar.

Kami memasuki ruangan itu perlahan.

Aroma kayu mahoni dari lemari tempat menyimpan alat musik memenuhi udara.

Rak-rak penuh partitur, cermin besar di sisi kiri, dan gantungan jas resmi kami tampak berayun lembut tertiup angin dari ventilasi kecil.

Aku meletakkan biolaku perlahan di kotaknya. Mengusap pelan senarnya seperti mengucap terima kasih.

“Kau sangat luar biasa malam ini, teman,” bisikku pelan, pada biola yang selalu menemaniku sejak bertahun lalu.

Rebecca mulai melepas sepatu haknya, tertawa kecil sambil menjatuhkan diri ke sofa.

“Kau tahu Verez? Kadang aku berpikir… penonton tak pernah benar-benar tahu, betapa kita juga bisa hancur saat musik kita menyentuh mereka.”

Aku hanya menoleh, dan tersenyum.

“Itu yang membuat kita manusia, bukan?”

Tapi diam-diam, aku masih memikirkan satu hal, siapa bangsawan Inggris itu?

Dan… entah mengapa, di hatiku seperti muncul bayangan samar... wanita itu…

wanita dari taman...

***

Aku baru saja melepas tuxedo ketika Vario masuk kembali ke ruang khusus kami.

Napasnya seperti tadi terasa cepat, tapi kali ini ada sesuatu di matanya yang membuat jantungku berdebar tanpa alasan yang jelas.

“Verez, ikut aku. Seseorang ingin menemuimu.”

“Ada apa?” tanyaku, masih mengeringkan leher dengan handuk kecil.

Vario mendekat, lalu menurunkan suaranya.

“Jean-Jacques Kantorow. He’s here.”

Aku menoleh.

Diam.

“You’re kidding.”

“No.” Vario menatap mataku, serius.

“He’s the one who sent your name to Théâtre des Champs-Élysées. Tonight... he wants to speak to you in person.”

Suasana ruang ganti mendadak sunyi.

Bahkan denting dawai Tristanio yang sedang membereskan cello-nya ikut terhenti.

Aku menarik napas panjang.

“Let’s go.”

 Di Balik Tirai , di Ruang Privat VIP Gedung Konser

Ruangan itu tidak besar, tapi dipenuhi aura klasik: dinding beludru merah gelap, lampu gantung kristal, dan dua kursi kayu ukir antik di dekat jendela yang menghadap kota.

Di sana duduk seorang pria tua dengan postur tegak, meski tubuhnya sudah ringkih.

Rambutnya putih, sedikit menipis, namun sorot matanya tajam seperti dawai biola yang belum dipetik.

Jean-Jacques Kantorow.

Ia bangkit perlahan saat aku masuk, lalu mengulurkan tangan.

“Bonsoir, jeune homme. Votre performance m’a profondément ému.”

(Selamat malam, anak muda. Penampilanmu sangat menyentuhku.)

Aku terdiam sejenak sebelum menjabat tangannya dengan dua tangan.

“C’est un honneur de vous rencontrer, Monsieur Kantorow.”

(Sebuah kehormatan bisa bertemu Anda, Tuan Kantorow.)

Ia tersenyum kecil, lalu duduk kembali.

Matanya mengamatiku seperti sedang membaca musik yang sangat kompleks.

“Vous avez une âme rare. Quand vous jouez, ce n’est pas seulement de la musique, c’est un poème silencieux qui pleure et danse à la fois.”

(Kau punya jiwa yang langka. Saat kau bermain, itu bukan sekadar musik, tapi puisi sunyi yang menangis dan menari dalam waktu yang bersamaan.)

Aku hampir tak tahu harus menjawab apa. Vario duduk di sisi lain, membiarkanku berbicara langsung.

Jean-Jacques melanjutkan dengan nada pelan.

“Je connais le directeur du Théâtre des Champs-Élysées depuis quarante ans. Je lui ai dit : ‘Il est temps de faire place à la nouvelle génération.’ Et je lui ai donné ton nom.”

(Aku telah mengenal direktur Théâtre des Champs-Élysées selama empat puluh tahun. Aku berkata padanya: ‘Sudah saatnya memberi tempat untuk generasi baru.’ Dan aku memberinya namamu.)

Aku menatapnya, terpaku.

Tidak pernah menyangka... begitu.

“Merci infiniment... Je n’ai pas de mots.”

(Terima kasih tak terhingga... Aku kehabisan kata-kata.)

Ia tersenyum.

Lalu perlahan ia mengeluarkan selembar partitur dari map kulit tuanya.

“Ceci... c’est une pièce que je n’ai jamais donnée à personne. Je veux que tu la joues, avec moi. En duo.”

(Ini... adalah karya yang belum pernah kuberikan kepada siapa pun. Aku ingin kau memainkannya. Bersamaku. Dalam duet.)

Mataku membelalak. Aku mengambil lembaran itu dengan hati-hati.

Tanganku bergetar saat membaca judulnya:

“La Mémoire du Silence”

(Kenangan dari Keheningan)

“Nous la jouerons ensemble, au Théâtre des Champs-Élysées. Toi et moi. Pour que le monde entende ce qu’ils ont oublié d’écouter.”

(Kita akan memainkannya bersama, di Théâtre des Champs-Élysées. Kau dan aku. Agar dunia mendengar apa yang telah lama mereka lupakan untuk didengarkan.)

Aku menunduk dalam.

“Je serai honoré.”

(Aku akan sangat terhormat.)

More Chapters