Sebastian berpikir sejenak, lalu menjawab, “Waktu dia memainkan lagu terakhir… dia benar-benar membawa suasana jadi hening. Semua orang terdiam. Rasanya seperti... waktu berhenti.”
Kareesa menggigit bibirnya.
Lagu terakhir itu, lagu yang dimainkan oleh Verez adalah saat ia memeluk wanita itu.
Di depan semua orang.
Di depan… dirinya.
Kareesa menunduk, pura-pura fokus pada makanannya.
“Apa kamu sempat menyapa sang bintang?” tanya Mr. Phillips.
Sebastian mengangguk.
“Sebentar. Dan dia sangat ramah. Bahkan Kareesa sempat..”
“Aku izin ke kamar mandi sebentar ya,” potong Kareesa cepat.
Ia berdiri sebelum Sebastian menyelesaikan kalimatnya.
“Reesa?” Sebastian menatapnya, heran.
Kareesa memaksakan senyum,
“Tiba-tiba perutku tidak enak. Maaf.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan cepat meninggalkan meja.
Matanya mulai basah.
Tangannya dingin.
Dan hatinya... semakin terhimpit oleh bayangan senyum Verez yang bukan untuknya.
Nyonya Phillips dan Mr. Phillips saling bertukar pandang sejenak, sebelum sang ibu berkata pelan, “Apakah terjadi sesuatu di konser tadi?”
Sebastian menggeleng, bingung.
“Sejauh yang aku tahu… tidak ada yang aneh. Tadi sih selesai acara dia datang bulan”
Namun, dalam hati kecilnya… mulai muncul sedikit kegelisahan.
Setelah Kareesa pergi dari meja makan dengan alasan sakit perut, Sebastian berusaha tetap fokus menyantap makanannya.
Meski begitu, tatapannya terus melirik arah lorong menuju kamar mandi.
Ia tahu ada yang tidak beres.
Wajah Kareesa terlalu muram, dan senyumnya,
ah, terlalu dipaksakan.
Nyonya Phillips meletakkan sendoknya perlahan, lalu menyeka mulutnya dengan serbet putih bersulam bordir keemasan.
Ia menatap Sebastian dengan tenang, namun terasa dalam.
"Kamu tak perlu khawatirkan Kareesa, Nak," ucapnya lembut. "Mungkin dia hanya sedang... datang bulan. Mama wanita juga, jadi tahu tanda-tandanya."
Sebastian mengangkat alis.
"Ah, begitu ya? Hmm... iya sih, dia memang kelihatan agak lemas dari tadi."
Nyonya Phillips mengangguk sambil tersenyum pengertian.
“Tenang saja, nanti juga membaik. Lagipula perempuan seperti itu memang lebih sensitif saat hari-hari tertentu.”
Tiba-tiba Mr. Phillips menyela, menurunkan secangkir teh hangat ke meja.
“Ngomong-ngomong, kita berangkat besok pagi ke Inggris. Jam enam kita harus sudah di bandara.”
Sebastian menoleh cepat. “What? Jadi berangkat, Pa?”
Nyonya Phillips menyahut dengan suara lembut namun tegas, “Jadi, Nak. Mama kan sudah bilang kemarin malam, kita ada urusan penting.”
Sebastian mengangguk pelan, tapi masih tampak terkejut.
“Tapi kan belum pasti waktu itu…”
“Sekarang sudah pasti,” jawab ibunya sambil tersenyum penuh arti.
Ia lalu menatap Sebastian, suaranya pelan tapi hangat, “Dan sekalian kita akan membicarakan pernikahan kalian dengan keluarga besar lainnya.”
Sebastian menegakkan duduknya.
Wajahnya memerah karena gugup, tapi senyumnya lebar.
“Oh… begitu…”
“Tapi kalian di sini saja dulu. Jangan terburu-buru. Nanti kalau semua sudah oke, baru kalian menyusul ke Inggris.” Tambah Nyonya Phillips bijak.
Mr. Phillips menyahut ringan,
“Tentu kami tak akan memaksa kalian ikut. Kalian masih muda, punya waktu.”
Sebastian mengangguk pelan.
“Oke, Ma. Pa.”
Tapi ia belum tahu… bahwa semua percakapan itu didengar oleh seseorang yang berdiri di balik dinding lorong.
Kareesa.
Dia tidak benar-benar ke kamar mandi.
Dia berdiri terpaku di balik dinding marmer abu-abu yang memisahkan ruang makan dan lorong menuju kamar pribadi.
Suara Nyonya Phillips begitu jelas terdengar, dan kata-kata ‘pernikahankalian’ menggema begitu kuat di kepalanya.
Napas Kareesa bergetar.
Jantungnya berdetak terlalu cepat.
Tangan kanannya menggenggam erat dinding seolah bisa menahan tubuhnya dari guncangan yang tiba-tiba datang tanpa aba-aba.
Pernikahan?
Aku tahu ini akan segera terjadi.
Apakah ini… memang jalan yang harus dia tempuh?
Padahal pikirannya belum berhenti memutar kembali adegan yang ia lihat di layar ponselnya, foto Verez dan wanita itu.
Ciuman di depan umum.
Sorotan lampu kamera.
Senyuman palsu.
Tapi entah mengapa… hatinya masih tertambat ke pria yang belum dia kenal sepenuhnya.
Matanya panas, tapi ia menahan air mata agar tak jatuh.
‘Aku tidak boleh menangis di sini…’
bisiknya dalam hati.
Dengan pelan, ia membalikkan tubuh. Melangkah mundur, lalu pura-pura berjalan dari arah kamar mandi.
Saat memasuki ruang makan lagi, ia menarik napas dalam-dalam dan memaksakan senyum.
“Maaf, agak lama.”
Nyonya Phillips langsung berdiri, berjalan mendekat.
“Tak apa, Sayang. Kamu pasti merasa tidak enak badan ya? Mau teh jahe hangat?”
Kareesa mengangguk kecil. “Boleh…”
Sebastian menatap Kareesa sambil tersenyum lembut, mencoba menghiburnya.
“Mama dan Papa mau ke Inggris besok pagi. Tapi kita bisa tetap di sini. Nanti nyusul ya.”
Kareesa terdiam sebentar.
“Oh… iya. Tentu.” jawabnya pelan.
Tapi dalam hatinya, badai kembali menggulung.
Antara rasa bersalah, rindu yang tak jelas arah, dan bayangan masa depan yang tiba-tiba terasa seperti bukan miliknya sendiri.
Malam perlahan merambat ke pukul delapan lewat dua puluh.
Angin luar kota Paris bertiup lembut di balik tirai-tirai balkon apartemen keluarga bangsawan Phillips, yang berada tepat di sisi Sungai Seine.
Aroma ayam panggang bumbu rosemary, sup krim jamur, dan roti gandum Prancis memenuhi meja makan panjang yang hangat diterangi lampu gantung kristal.
Kareesa duduk di samping Sebastian, menatap hidangan di hadapannya. Ia menyendok perlahan, menjaga etika, mengangguk kecil saat sesekali Sebastian menyuapi obrolan ringan.
Namun pikirannya mengembara… pada ciuman yang tadi dilihatnya di ponsel. Pada sosok lelaki bernama Verez.
Pada hatinya sendiri yang berdenyut tak karuan.
Di seberangnya, Nyonya Phillips yang mengenakan dress satin ungu tua dengan kalung mutiara antik, meletakkan sendok dengan anggun.
Ia menatap Kareesa dengan senyum ramah dan hangat yang tak berubah sejak pertemuan pertama mereka.
“Kareesa,” ucapnya pelan namun jelas, “sejauh ini… kamu betah tinggal di Prancis?”
Pertanyaan itu membuat Kareesa sedikit tersentak dari lamunannya. Ia menoleh, tersenyum kecil, lalu mengangguk sopan.
“Iya, Tante. Sangat betah. Paris… sangat indah.”
Sebastian yang duduk di sebelahnya langsung menoleh dengan ekspresi lega. Senyumnya merekah, penuh rasa sayang.
“See? I told you, Ma. She’s in love with this city already.”
Nyonya Phillips tersenyum lembut, lalu menoleh pada suaminya, Mr. Phillips seorang pria berkharisma dengan jas santai dan rambut perak yang disisir rapi ke belakang.
Mr. Phillips meletakkan garpunya, lalu menyeka mulutnya sebelum berbicara.
“Baguslah, Nak.” Suaranya tenang namun tegas, khas seorang pemimpin keluarga bangsawan yang dihormati.
“Sebenarnya, Kareesa… ada hal yang ingin Om sampaikan.” Ia menoleh ke arah Sebastian sebentar, lalu kembali menatap Kareesa.
Kareesa tampak terkejut, sedikit tercengang lalu menatap calon mertuanya yang baik hati, yang duduk di seberang dirinya dan sebastian.
