Cherreads

Chapter 29 - Nama yang Menggema

Di Balik Tirai Konser

Riuh tepuk tangan penonton masih bergema saat tirai panggung ditutup.

Lampu-lampu redup, mulai padam satu per satu, menyisakan aura magis yang menggantung di udara seperti kenangan manis yang enggan hilang.

Kareesa berdiri terpaku sejenak di antara kerumunan penonton VIP yang mulai keluar.

Dia merasa ada sesuatu yang mengganggu isi perutnya.

Dia merasa nyeri tidak tertahan.

Tapi rasa nyeri di perutnya membuatnya sadar akan satu hal: waktunya datang bulan.

"Aku harus ke toilet." katanya buru-buru, menoleh pada Sebastian yang berdiri di sampingnya.

Sebastian menyipitkan mata, heran.

"Sekarang?"

"Entah kenapa aku beser sekali. Perutku juga tidak enak, aku mau sekalian cek ke toilet" Kareesa menjawab dengan nada tergesa sambil menarik gaun panjangnya agar tak terseret lantai.

Ia berjalan cepat menuju lorong kecil di belakang venue tempat toilet berada.

Sebastian mengikutinya, tak tenang.

"Aku tunggu di luar, ya? Nggak apa-apa kan?"

Kareesa hanya mengangguk tanpa menoleh.

Beberapa menit kemudian, suara lirihnya terdengar dari balik pintu toilet wanita.

"Sebastian..."

Sebastian berdiri kaku di ambang pintu, mengintip ke dalam.

"Ya?" jawabnya pelan.

"Tolong... belikan aku pembalut dan dalaman ganti. Aku datang bulan."

Kareesa mengatakannya lantang, tanpa tedeng aling-aling.

Sebastian terdiam sepersekian detik.

Momen yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi di malam gala seperti ini.

"Oh...oke. Tunggu di situ." jawabnya cepat sambil merogoh ponselnya.

Ia menghubungi supirnya.

"Datang sekarang juga ke pintu selatan venue. Beli pembalut, ukuran sedang.

Dan… pakaian dalam wanita, ukuran yang biasa. Cepat!"

Sebastian menutup telepon sambil menghela napas. Malam ini sungguh tak terduga.

Beberapa langkah dari toilet, seorang wanita berambut gelap dengan langkah cepat berlari masuk ke area yang sama.

Gaunnya panjang berkilau,

matanya tampak gelisah.

Sebastian sempat meliriknya.

"Valerie!"

Tiba-tiba terdengar suara dari belakang, memanggil wanita itu.

Valerie menoleh.

"Chesuccede?"

(Ada apa?) jawabnya.

"Nonsei con Verez? Dove sta?"

(‘Kamu tidak bersama Verez? Di mana dia?’)

tanya si wanita dalam bahasa Italia yang masih dapat Sebastian pahami.

Valerie tersenyum kecil.

"Sta ancora nel camerino. Lo raggiungo lì."

(‘Dia masih di ruang ganti. Aku akan menyusul ke sana.’)

Setelah itu, Valerie pun masuk ke dalam toilet. Sebastian mencatat nama itu dalam benaknya: Valerie. Dan Verez.

Nama itu terlalu sering terdengar hari ini.

Beberapa menit kemudian, supir Sebastian datang tergopoh membawa kantong belanja.

"Ini, Tuan."

Sebastian mengangguk, mengambilnya.

Tanpa banyak pikir, ia mengetuk pintu toilet wanita dan berkata,

"Excuse me, I'd like to turn this in"

(Permisi, saya hanya ingin menyerahkan ini.)

Valerie dan satu wanita lain yang sedang berdandan di depan cermin menoleh. Keduanya sempat terpana melihat pria tampan bersetelan jas mewah memasuki area wanita.

Tapi perhatian mereka segera beralih saat terdengar suara dari bilik.

"Sebastian?"

"Ini, barangnya. Aku tinggal di depan." katanya cepat.

Setelah menyerahkan kantong itu, Sebastian buru-buru keluar.

Napasnya naik turun, bukan karena lelah, tapi karena satu perasaan: ada yang harus ia lakukan sebelum semuanya terlambat.

Ia kembali menghubungi supirnya.

"Aku akan ke ruang ganti Verez. Antarkan Kareesa ke mobil. Tunggu perintahku."

Sebelum supirnya sempat menjawab, Sebastian sudah melangkah cepat melewati lorong venue.

Sesuatu dalam dirinya berkata:

Jika kau tidak bertindak sekarang, kau akan menyesal.

***

Langkah kaki Sebastian menggema di lorong panjang yang mulai sepi.

Di kejauhan ia melihat kerumunan kecil yang tampak mengelilingi seseorang.

Sosok pria muda dengan biola di punggungnya, dikelilingi sorot kagum dan ajakan berfoto.

Dan di depannya, sang musisi legendaris, yang baru saja meninggalkan tempat itu bersama ajudannya.

Sebastian mempercepat langkah.

Hatinya berdetak keras, seperti akan pecah. Saat melihat sosok itu hendak melangkah pergi, ia tak bisa menahan diri lagi.

"Verez!"

Namanya menggema di antara ruang. Beberapa orang menoleh.

Bahkan Vario yang berdiri di sisi Verez ikut menoleh.

Verez menghentikan langkah.

Ia berbalik.

Sebastian menatapnya penuh harap.

Sebastian tersenyum dan berkenalan dengan Verez.

Dan Sebastian… tahu.

Tatapan mata itu.

Senyum tenangnya.

Aura yang terlalu khas.

Pria ini adalah orang terkenal.

Setelah berbincang hangat dengan Verez di balik panggung, Sebastian tampak sangat puas.

Ia berhasil mendapatkan tanda tangan, sapaan hangat, dan bahkan sebuah foto bersama musisi internasional itu.

Sinar lampu panggung yang mulai diredupkan menciptakan siluet megah di belakang mereka, seolah mengukuhkan momen itu sebagai kenangan penting.

Verez berpamitan sopan, dan Sebastian menyimpan ponselnya dengan hati berbunga-bunga.

Namun baru beberapa langkah ia menjauh dari backstage, suara lembut tapi panik terdengar memanggil namanya dari kejauhan.

“Sebastian! Kamu ke mana saja!”

Itu suara Kareesa.

"Aku tunggu kamu di mobil lama banget! Aku susul ke sini, nggak apa-apa kan?"

Nafasnya masih terengah, rambut panjangnya sedikit berantakan karena berlari, dan jemarinya sibuk membetulkan bagian pinggang gaunnya yang nyaris tergelincir dari tempatnya.

Sebastian menoleh dan tersenyum ringan, seolah semua baik-baik saja.

“Aku hanya menemui Verez,” katanya tenang. “Aku mengundangnya secara resmi untuk tampil di acara pernikahan kita nanti. Dan... dia setuju, Kareesa! Dia akan datang!”

Nada bahagianya seperti anak kecil yang baru saja memenangkan tiket konser langka.

Kareesa memaksakan senyum, walau dalam dadanya ada gejolak yang sulit dijelaskan.

Ia mengangguk kecil, mencoba menyesuaikan napas dan pikirannya.

“Aku kira... kamu meninggalkanku,” ujarnya lirih, seperti gumaman yang hanya bisa didengar jika seseorang cukup dekat.

Supir mereka berdiri tak jauh, tangan di depan dada, menunggu arahan untuk segera membawa mereka pulang.

“Tidak, Kareesa,” jawab Sebastian cepat, sambil merogoh ponsel.

“Bahkan aku sempat berfoto dengannya.”

Ia menunjukkan layar ponselnya dengan penuh bangga.

Satu foto yang begitu jelas, Verez berdiri di samping Sebastian, keduanya tersenyum ke arah kamera, tampak begitu akrab.

Dan seketika dunia Kareesa runtuh.

Matanya membelalak.

Udara di sekitarnya terasa membeku.

Dia tak perlu waktu lama untuk mengenali wajah itu, mata tajam penuh misteri, bibir yang pernah menyentuh bibirnya dalam satu ciuman yang tak pernah ia lupakan.

Pria itu... pria dari taman.

Pria yang membuatnya kehilangan logika.

Itu... Verez.

Kakinya goyah sejenak.

Suaranya menghilang.

Sebastian masih berbicara di sampingnya, tapi telinganya seakan menutup. Pandangannya kosong menembus layar ponsel, lalu menatap jauh ke arah di mana Verez baru saja menghilang.

“Verez!!!” Sebuah suara lain memecah ketegangan di udara.

Kareesa dan Sebastian menoleh bersamaan.

Seorang wanita bergaun merah maroon memanggil nama itu dengan suara yang nyaring dan penuh rasa memiliki, lalu langsung memeluk pria yang baru saja mereka bicarakan.

Kareesa menyipitkan mata.

Itu memang dia, Verez tengah berusaha menolak pelukan wanita itu dengan sopan tapi canggung.

Namun kamera dan orang-orang di sekitar mereka mulai memperhatikan.

Mereka terlihat seperti pasangan publik yang sedang dikuntit perhatian.

Sebastian ikut memandangi pemandangan itu, lalu melirik Kareesa yang diam membeku.

“Kamu mau foto juga?” tanyanya polos, tak sadar badai sedang mengamuk di dalam diri tunangannya.

“Maaf ya... aku tadi nggak sempat ajak kamu ikut. Kupikir kamu masih di toilet.”

Kareesa hanya melirik sekilas, tapi tak menjawab.

Di matanya, sorot Verez dan wanita itu seperti duri yang tak bisa dicabut.

Rasa aneh itu kembali muncul, rasa yang dulu muncul saat bibir mereka bersentuhan di taman Paris.

Ia ingin berlari mengejarnya, bertanya siapa dia sebenarnya, mengapa ciuman itu terasa sejujur itu.

Tapi tubuhnya menolak.

Kakinya enggan bergerak.

Dan logikanya membentak agar ia diam.

Sebastian melihat arah pandangnya, lalu ikut menatap ke kejauhan.

“Sepertinya... perempuan itu pacarnya Verez. Nggak heran kalau orang luar biasa ciuman dan peluk-pelukan seperti itu,” ujarnya ringan, namun kalimat itu terasa seperti pisau yang mengiris lambat di hati Kareesa.

Kepalanya menunduk.

“Ayo pulang...” gumam Kareesa lirih, hampir tak terdengar.

Sebastian mengangguk.

“Oke,” jawabnya, lembut.

Dia meraih tangan Kareesa dan memimpinnya pergi, membawanya menjauh dari arah tempat Verez berdiri.

Mereka berjalan berdampingan, tetapi dunia mereka terasa tak lagi bersinggungan.

Langkah Kareesa berat, pikirannya tertinggal di belakang, di taman, di konser, dan di balik panggung bersama pria yang entah kenapa, berhasil menempati pikirannya lebih lama daripada yang seharusnya.

Dari kejauhan, Verez menoleh sejenak.

Seperti merasakan ada yang mengamatinya.

Namun yang dilihatnya hanya punggung dua orang yang perlahan menjauh.

Dan mungkin... satu hati yang mulai goyah.

More Chapters