Cherreads

Chapter 30 - AMBISI DI DEPAN KAMERA

Saat aku berjalan menjauh dari panggung, meninggalkan Sebastian dan gadis yang bersamanya dalam bayang-bayang lampu konser yang mulai redup, langkahku terasa berat meski aku mencoba terlihat santai.

Jarak kami cukup jauh, tapi entah kenapa aku masih bisa merasakan sorot mata si gadis itu, seolah menembus punggungku.

Ada sesuatu dalam tatapannya tadi… sesuatu yang menggema dalam memoriku.

Namun langkahku terhenti.

"VEREZ!"

Suara nyaring itu memanggil namaku di tengah keramaian.

Aku bahkan belum sempat menoleh ketika lengan seseorang sudah melingkar di leherku, memelukku erat.

Valerie.

Refleks, aku mengejang.

Tubuhku menegang, dan jantungku berdegup tak karuan, bukan karena rindu, tapi karena... krisis.

Seluruh timku yang berada beberapa meter di depan, Tristanio, Rebecca, bahkan Vario si manajer pun berhenti dan menoleh bersamaan, dengan ekspresi yang hampir serempak: terkejut, lalu cemas.

Aku ingin menolak, ingin melepaskan pelukan itu… tapi aku mengenal Valerie.

Dia adalah ratu drama. Seseorang yang tidak akan segan mengubah sebuah pelukan menjadi berita viral berskala internasional jika aku menolaknya di depan umum.

Dan benar saja.

Blitz kamera mulai menyala.

Wartawan-wartawan yang tadi hanya mondar-mandir kini menyerbu, meneriakkan pertanyaan dalam berbagai bahasa.

“Are you two in a relationship?”

(Apakah kalian berpacaran?)

“Quand est le mariage?”

(Kapan pernikahannya?)

“È vero che ti sei fidanzato con lei?”

(Benarkah kau bertunangan dengannya?)

Aku ingin berkata tidak.

Aku ingin menjelaskan bahwa tidak ada yang seperti itu.

Tapi Valerie lebih cepat dariku.

Dengan senyum liciknya, dia menjawab lantang dalam bahasa ibunya, bahasa Italia, jelas agar semua orang yang merekamnya bisa menerjemahkan dengan mudah:

"Ci sposeremo presto. Ieri mi ha appena regalato un anello."

(Kami akan segera menikah. Kemarin dia baru saja memberiku cincin.)

Darahku terasa berhenti mengalir.

Cincin?

Mataku otomatis menoleh ke arah tangannya, dan benar saja, dia menyodorkan tangan kirinya, memperlihatkan sebuah cincin yang mencolok, seolah memang sudah direncanakan.

Aku tercekat.

Seluruh timku menatapku, Rebecca menggeleng pelan, Tristanio mengangkat alis tinggi, seakan berkata,

“Kamu bercanda kan?”

Tapi ini bukan lelucon.

Ini pengkhianatan panggung,

dan aku adalah aktor yang dijebak.

Aku menelan ludah.

Mataku berputar, mencari… entah siapa.

Kareesa.

Tapi ketika aku menoleh ke belakang, yang kulihat hanya punggung Sebastian dan dirinya yang berjalan menjauh.

Meninggalkan area konser.

Terlambat.

Sekali lagi.

Terlambat.

Dan aku berdiri di tengah kerumunan, dengan senyum palsu di wajah dan ledakan luka di dada.

Valerie masih memeluk lenganku, seolah menang perang. Media terus mengambil gambar kami.

Dan aku?

Aku hanya bisa menahan napas, sambil berkata dalam hati:

Jika satu ciuman bisa mengubah segalanya… maka satu kebohongan bisa menghancurkan segalanya.

Beberapa media terus memotret kami tanpa henti. Kilatan lampu kamera menyerang wajahku bertubi-tubi, seolah menelanjangi pikiranku yang sedang berkecamuk.

Aku tahu betul, ini akan menjadi berita besar besok pagi.

Foto-foto kami akan tersebar di setiap halaman depan tabloid dan media online dengan judul-judul sensasional.

Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Karena jika aku mendorong Valerie pergi, jika aku menyerangnya di depan umum… maka karirku bisa hancur dalam sekejap.

Aku pernah berpacaran dengan Valerie, ya. Dulu.

Tapi hanya aku yang tahu seberapa besar luka yang ia tinggalkan.

Wanita itu tidak pernah benar-benar mencintaiku.

Dia mempermainkanku seolah aku hanya bagian dari naskah hidupnya yang bisa diganti kapan saja.

Dan saat aku tahu dia berselingkuh dengan Pablo, aktor muda yang kini sedang naik daun, duniaku terasa runtuh.

Namun aku tidak bisa berbicara saat itu.

Aku memilih diam.

Aku mencoba bertahan, pura-pura tidak tahu, karena saat itu karirku sedang menanjak.

Dan Valerie… tahu itu.

Kini dia mencoba mengejarku kembali.

Selama ini, tidak banyak media yang tahu hubungan kami.

Kami sengaja merahasiakannya.

Karena aku tidak ingin namaku dikenal karena skandal.

Tapi kini Valerie… menjadi haus sorotan.

Dan bulan lalu, saat aku akhirnya mencoba untuk memutuskan semuanya, mengakhiri hubungan yang menyakitkan itu, dia datang kembali.

Dengan air mata palsunya.

Dengan suara gemetar dan tubuh yang bergetar lemah, dan berkata,

"Itu semua cuma akting, Verez. Aku nggak berselingkuh. Kami cuma latihan adegan."

Latihan?

Aku seorang pemain biola, Valerie.

Aku tahu betul kapan seseorang sedang menyentuh dengan cinta… dan kapan dengan pura-pura.

Dan hari ini, aku melihat akting itu sekali lagi.

Valerie terus memeluk lenganku,

seolah tidak ada yang salah.

Senyumnya terukir manis di depan kamera, matanya berbinar seolah hidupnya sempurna.

Dan aku?

Aku hanya bisa tersenyum, membeku,

dan mengikuti arus.

Langkahku membawaku keluar dari kerumunan, menuju restoran kecil di dekat Salle Gaveau tempat kami biasa mengadakan makan malam privat setelah konser.

Di tengah kerumunan wartawan dan kamera, Vario, manajerku yang setia akhirnya berdiri di hadapan mereka dan membentangkan kedua tangannya, melindungiku dan Valerie dari rentetan pertanyaan dan sorotan yang menyengat.

"Please, give us some space. We need privacy right now."

(Tolong, beri kami ruang. Kami butuh privasi saat ini.)

Vario menuntun kami ke luar, mengikuti jejak timku yang sudah berjalan lebih dulu.

Aku menoleh sedikit, berharap bisa melihat Kareesa lagi.

Tapi bayangannya telah lenyap.

Yang tersisa hanya Valerie di lenganku… dan seluruh dunia yang sedang mengira aku pria paling beruntung malam ini.

Padahal aku adalah tawanan.

Tawanan dari skenario yang tidak pernah kutulis. 

Dan meledak, tapi aku tahu…

jika aku membuatnya menangis di muka umum, dia pasti akan menangis.

Dan sekali lagi, berita buruk akan lahir.

"Verez! Dai, vieni a sederti!"

teriak Tristanio dari dalam.

("Verez! Ayo, duduklah!")

Mereka melihatku berdiri di ambang pintu masuk restoran.

Aku menoleh sebentar ke Valerie.

"Aku harus masuk, kamu tunggu di hotel, kita bicara nanti." kataku padanya, dan mulai berjalan.

Tapi belum sampai satu langkah…

Valerie menarik lenganku tiba-tiba. Tarikannya kuat, membuatku kehilangan keseimbangan.

Tubuhku sedikit condong ke depan, hampir jatuh… tapi Valerie memelukku erat dari depan.

Dan dalam satu gerakan cepat…

Dia menciumku.

Di depan restoran.

Di depan timku.

Di depan langit malam Paris.

Aku mematung. Dadaku sesak.

Aku menjauh.

Wajah Valerie masih seindah tadi.

Tapi aku tak bisa lagi melihat cinta di sana. Yang kulihat hanya ambisi.

Dan hasrat untuk menang.

"Aku akan pergi… sampai nanti."

katanya sambil tersenyum pahit.

Lalu ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan restoran dan meninggalkan aku yang masih berdiri terdiam.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu masuk.

Semua mata tertuju padaku.

Rebecca meletakkan gelasnya dengan bunyi gedebuk.

"Pazzesco… ancora ti insegue."

("Gila… dia masih saja mengejarmu.")

celetuknya tanpa ragu.

Aku duduk perlahan di kursi yang tadi disisakan untukku.

"Perché sembri infelice?" tanya Tristanio sambil menatapku.

("Kenapa kamu terlihat tidak senang?")

Aku mengambil serbet dan mengelap bibirku. Bibir yang baru saja disentuh Valerie secara sepihak.

Jantungku masih berdetak cepat, tapi bukan karena ciuman itu, melainkan karena rasa jijik dan terjebak.

"Se non sei felice, denunciala." ucap Rebecca dengan nada ketus.

("Kalau kamu nggak senang, tuntut saja dia.")

Aku hanya menatap meja.

Tak ada kata yang bisa keluar.

"Entahlah… tidak semudah itu," ucapku akhirnya.

"Aku kira dia benar-benar akan menuruti keputusanku. Tapi sudahlah… ayo kita makan saja."

Vario mengangguk, lalu memanggil pelayan. Kami pun mulai memesan makanan favorit masing-masing, tapi aku tahu, makan malam ini tidak akan tenang.

Ada rasa pahit yang belum bisa aku telan… bahkan sebelum makanan datang.

More Chapters