Mobil berhenti di pinggir jalan, tepat di depan sebuah restoran kecil bergaya vintage yang menjual masakan khas Prancis.
Lampu kuning hangat dari dalam restoran memantulkan cahaya temaram ke kaca jendela mobil, memantulkan bayangan samar wajah Kareesa yang terlihat muram.
“Aku masuk sebentar ya, Reesa. Pesan makanan sebentar, habis itu langsung pulang.”
Sebastian tersenyum hangat sebelum membuka pintu mobil dan melangkah pergi.
“Hmm,” hanya itu jawaban Kareesa.
Ia tersenyum kecil, cukup agar Sebastian tidak curiga.
Begitu pintu mobil tertutup kembali dan suara langkah kaki Sebastian menjauh, senyum itu pun memudar.
Dan kesunyian turun seperti kabut.
Kareesa menarik napas dalam-dalam. Tangannya gemetar sedikit saat merogoh tas dan mengambil ponsel.
Ia tahu ini bukan tindakan bijak.
Tapi rasa penasarannya menari liar.
Menguasai hatinya.
"Siapa wanita tadi?"
"Apa pria bernama Verez itu benar-benar sudah milik orang lain?"
"Apa... ciuman di taman hanya kebetulan yang dia lupakan?"
Ia mengetik pelan di kolom pencarian:
“Verez, konser Paris, girlfriend.”
Jantungnya berdetak cepat saat halaman demi halaman muncul.
Awalnya hanya foto konser.
Lalu beberapa potongan video wawancara.
Lalu potongan klip fans yang berteriak histeris.
Tapi kemudian…
Sebuah headline terpampang jelas di salah satu media hiburan ternama:
“Bintang Pop VerezMontegno Tertangkap Kamera Berciuman Dengan Seorang Wanita Misterius Usai Konser di Paris!”
Tangan Kareesa membeku.
Ia menatap layar ponsel, tak berkedip.
Ia membuka artikel itu.
Ia sempat terkejut ingin tahu siapa wanita itu.
Dan saat gambar mulai memuat… hatinya seperti runtuh.
Itu dia.
Dan wanita itu.
Wanita yang tadi memeluk dan mencium pipinya Verez.
Wajahnya cantik, tubuhnya ramping.
Terlihat seperti model profesional.
Seorang wajah bintang.
Di salah satu foto, Valerie mencium pipi Verez dan memeluknya dari samping.
Kareesa tahu itu dekat pintu keluar lobby.
Di foto lain, Verez tampak terkejut, seperti ingin menolak.
Tapi angle foto itu, tak menyampaikan konteks yang jelas.
Foto-foto itu… terlalu intim.
Seperti ciuman bibir di sebuah restaurant
Di bagian bawah artikel tertulis:
“Rumor mengatakan wanita tersebut adalah mantan kekasih Verez, yang kini kembali hadir dalam hidupnya. Beberapa sumber menyebutkan keduanya sempat bertengkar di masa lalu, namun kini terlihat sangat dekat. Apakah ini pertanda mereka balikan?”
Kareesa tak bisa bernapas sejenak.
Tangannya mencengkeram ponsel erat.
Matanya mulai berkaca-kaca.
Suara dari luar mobil, tawa orang-orang yang berlalu lalang, suara musik dari restoran, semuanya seperti hilang.
Tenggelam dalam kabut pikirannya sendiri.
“Jadi… aku ini cuma apa?”
Ciuman di taman.
Tatapan itu.
Kebetulan yang terasa terlalu nyata.
Apakah itu cuma satu sisi?
Apakah dia terlalu bodoh untuk berpikir… bahwa itu mungkin sesuatu?
Ia menatap wajahnya sendiri di pantulan jendela mobil, wajah yang kini terlihat begitu asing.
“Apa aku hanya kebetulan baginya, dan dia adalah takdir bagi wanita itu?”
Air mata menetes perlahan, diam-diam.
Ia segera menyekanya.
Sebastian pasti segera kembali.
Ia tak boleh ketahuan menangis.
Ia mengatur napas.
Mematikan ponsel.
Menyembunyikan semuanya di balik wajah tenangnya.
Tapi luka itu… terlalu dalam untuk dibohongi.
Beberapa detik kemudian,
pintu mobil terbuka kembali.
Sebastian masuk, membawa kantong kertas berisi makanan.
“Aku pesan croissant isi salmon favoritmu! Dan juga quiche buat kita berdua.”
Kareesa menoleh, tersenyum paksa.
“Terima kasih, Sebastian.”
Sebastian menatapnya, sedikit curiga.
“Kamu gak apa-apa? Mukamu... agak pucat.”
Kareesa hanya menggeleng.
“Aku cuma lelah. Mau cepat pulang aja.”
Mobil kembali melaju.
Jalanan Paris malam itu tampak indah, seperti biasa.
Tapi di dalam mobil itu, ada satu hati yang baru saja patah.
Bisu.
Dan diam-diam… terluka.
Begitu mobil Sebastian berhenti tepat di pelataran bangunan klasik bergaya Renaissance yang megah di tepi Sungai Seine, penjaga gerbang langsung membungkuk memberi salam.
“Bonsoir, Monsieur Phillips… Mademoiselle Kareesa.”
Sebastian mengangguk ramah.
Kareesa hanya tersenyum tipis.
Tak banyak bicara.
Mereka berjalan masuk ke dalam apartemen bangsawan keluarga Phillips, apartemen tua nan mewah dengan lantai kayu mengilat, langit-langit tinggi berornamen emas, dan chandelier kristal berkilau di tengah ruang utama.
Aroma lavender dan kayu manis dari dapur menyambut mereka, menenangkan… namun tak cukup untuk meluruhkan gundah yang masih bersarang di dada Kareesa.
Dari arah ruang duduk, terdengar suara lembut khas wanita aristokrat.
“Ah, kalian sudah pulang.”
Nyonya Phillips, mengenakan gaun rumah berwarna biru pucat dan selendang tipis di bahunya, berdiri anggun di depan meja makan yang sudah tertata rapi.
Senyumnya hangat, meski ada kilatan rasa penasaran di matanya.
“Bagaimana konsernya? Apakah sebegitu memukau seperti yang tertulis di berita-berita?” tanyanya sambil menyambut mereka.
Dari balik dinding, muncul pula Mr. Phillips, dengan kemeja kasual, celana linen, dan buku tua di tangan.
“Akhirnya, rumah ini tak terlalu sepi malam ini.”
Sebastian langsung menghampiri mereka, mencium pipi sang ibu, lalu menjabat tangan ayahnya dengan hangat.
“Kalian seharusnya ikut tadi,” ucap Sebastian sambil tersenyum.
“Kalian pasti akan suka Verez. Penampilannya luar biasa. Dan dia sangat… karismatik.”
Kareesa berdiri setengah kaku di belakang Sebastian, senyumnya tertahan.
Ia berusaha menutupi getar di matanya.
Nyonya Phillips hanya tersenyum penuh arti, lalu berkata pelan,
“Ah, kami tak ingin mengganggu kencan malam anak muda. Lagipula, ini malam penting kalian berdua.”
Kareesa menunduk, menyembunyikan ekspresi campur aduknya.
“Mama ini…” Sebastian tertawa kecil.
“Itu bukan kencan. Itu hanya konser biasa, dan Verez juga artis baru naik daun.”
Mr. Phillips menimpali,
“Hanya konser biasa? Anak-anak muda zaman sekarang memang terlalu sering meremehkan keajaiban malam Paris.”
Mereka semua tertawa kecil, termasuk Kareesa, meski tawa itu terdengar tipis, lebih seperti formalitas.
Tak lama kemudian, mereka duduk bersama di meja makan.
Malam itu, koki pribadi keluarga menyajikan menu istimewa:
sup bawang Prancis dengan keju leleh, duck confit dengan saus delima, serta crème brûlée yang renyah di bagian atasnya.
Makanan yang begitu sempurna, begitu berkelas. Tapi rasa di lidah Kareesa terasa hambar.
“Jadi,” tanya Nyonya Phillips sembari menyendok sup hangat, “bagian mana dari konser yang paling mengesankan?”
