Dari kejauhan, lensa kamera menangkap momen yang tidak disangka-sangka:
ciuman Valerie dan Verez.
Seseorang dan seorang wartawan yang tersembunyi di balik gerobak bunga jalanan telah mendapatkannya.
Dengan cepat, jari-jarinya bergerak cekatan di atas ponsel. Foto itu dikirim ke jaringan kecil yang tersebar di beberapa outlet gosip paling rakus di Italia dan Prancis.
Satu foto.
Satu ciuman.
Bisa menghancurkan banyak hal.
Jika skandal itu tidak diakui secara sah.
Sementara itu, Valerie berjalan cepat menjauh dari restoran.
Tumit stiletto-nya menghentak keras di trotoar.
Matanya menatap lurus, senyum penuh kemenangan terbit di wajahnya yang biasanya datar.
Tangannya mengambil ponsel dari dalam tas. Ia menekan nomor yang sudah tak asing baginya.
Tuut... tuut... klik.
"Pablo, sono io."
("Pablo, ini aku.")
Suara di ujung sana langsung merespons.
Seorang aktor muda berbakat , gagah, namun licik, terdengar dengan suara berat dan penuh nada ejekan.
"Hai già fatto la tua mossa?"
("Kau sudah lakukan gerakanmu?")
Valerie melirik ke belakang.
Restoran itu sudah jauh di belakangnya.
Wajah Verez terakhir kali yang ia lihat, terperangah dan terdiam.
"L’ho baciato davanti a tutti. Adesso, sarà legato a me.** Se devia... la sua carriera finirà.**"
("Aku menciumnya di depan umum. Sekarang dia akan terikat padaku. Jika dia melenceng… kariernya tamat.")
Pablo tertawa panjang. Tawa dingin dan kejam.
"Metterà a rischio la sua carriera per amore?"
("Apa dia akan mempertaruhkan kariernya demi cinta?")
Valerie mengangkat alis, nada bicaranya semakin yakin.
"Non credo. Ha lavorato troppo duramente per mollare tutto."
("Aku rasa tidak. Dia sudah bekerja terlalu keras untuk menyerah sekarang.")
Di sisi lain, Pablo sedang bersandar santai di sofanya. Tangannya memegang gelas wine, matanya menatap dinding yang dipenuhi foto-foto tokoh hiburan papan atas, semuanya pernah terlibat dalam skandal yang dikendalikan olehnya.
"Dove sei ora?"
("Kamu di mana sekarang?") tanyanya.
"Sto andando in hotel dove alloggia Verez. Devo prepararmi. E non disturbarmi più, Pablo."
("Aku akan pergi ke hotel tempat Verez menginap. Aku harus bersiap-siap. Dan jangan ganggu aku lagi, Pablo.")
Pablo tertawa lebih keras.
"Donnaavida…"
("Dasar wanita serakah…")
Klik.
Sambungan telepon pun terputus.
Valerie menyimpan ponselnya kembali.
Di bibirnya masih tergantung senyum misterius.
Langkahnya tetap anggun, tapi dalam benaknya hanya ada satu tujuan:
Menjerat Verez sepenuhnya, dengan cinta palsu, ancaman reputasi, dan permainan publik yang kejam.
Di pikirannya, dia tidak sedang kalah.
Dia sedang memenangkan permainan.
Dan kali ini, dia yakin…
Verez takkan bisa lepas.
***
Di sisi lain kota Paris yang mulai dibasahi cahaya senja keemasan, sebuah mobil hitam elegan melaju perlahan melewati trotoar yang dipenuhi turis.
Di dalamnya, Kareesa duduk diam, menatap keluar jendela. Wajahnya tenang, namun pikirannya berkecamuk.
Sebastian duduk di samping, masih dengan semangat yang sama sejak mereka keluar dari venue.
Ia tampak bersemangat, mungkin karena konser, atau karena rasa senangnya melihat Kareesa tersenyum tadi sore.
Tapi kini, senyum itu sudah lenyap. Digantikan tatapan kosong dan senyap yang sulit ditebak.
"Dia keren banget ya tadi di panggung..." kata Sebastian memecah keheningan.
"Verez. Gila, energinya tuh beda. Dan kamu lihat nggak? Dia ramah banget ke fans, padahal dia sedang jadi musisi besar."
Kareesa hanya mengangguk pelan.
"Ya... aku lihat," jawabnya singkat, lalu kembali memalingkan wajah ke luar jendela.
Sebastian masih tak sadar perubahan nada bicara itu. Ia terus berbicara, terlalu larut dalam kekagumannya.
"Aku baru kali ini lihat musisi yang sekarismatik itu di atas dan tetap rendah hati di bawah. Pas dia nyapa anak kecil tadi, ih, itu manis banget sih."
Kareesa mengepalkan jemari di pangkuannya.
Dia seperti tidak tahu sama sekali.
Bukan karena marah, melainkan… sesak.
Ada yang menyengat jauh di dalam hatinya.
Pikirannya melayang pada sosok Verez, tapi bukan karena panggung atau lagu-lagunya.
Tapi sosok wanita itu.
Yang tadi memeluk Verez erat.
Dan… mencium pipinya.
Siapa dia?
"Reesa?" panggil Sebastian lembut, membuyarkan lamunannya.
"Kamu lapar nggak? Kita makan dulu, yuk…"
Kareesa menoleh perlahan.
Ada senyum tipis di bibirnya, tapi matanya masih terlihat jauh.
"Aku... enggak pengen makan di luar. Kita makan di apartemen aja ya, Bastian... Aku malas ke mana-mana malam ini."
Sebastian mengerutkan alisnya sedikit, tapi tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu saat Kareesa ingin menyendiri, ia hanya butuh waktu.
"Oke. Kalau begitu kita belok kanan... beli makanan dulu, baru pulang," katanya sambil mengarahkan mobil menuju toko makanan kesukaan mereka.
Kareesa kembali diam.
Tatapannya kembali menelusuri trotoar yang mereka lewati.
Pemandangan Paris yang biasanya romantis kini tampak asing di matanya.
Ada sesuatu dalam dirinya yang bergolak.
Dia tidak ingin mengakuinya, tapi bayangan tentang Verez…
Cara pria itu memandangnya di taman…
Cara mereka berciuman, satu momen yang terlalu kuat untuk dilupakan dan semuanya masih hidup di benaknya.
Dan kini, pria itu sudah dikelilingi wanita lain.
Yang bahkan berani menciumnya di depan umum.
"Apa itu pacarnya? Atau seseorang yang lebih dari itu?"
Pikir Kareesa diam-diam.
Sementara mobil terus melaju, malam Paris berubah menjadi gemerlap.
Lampu-lampu jalan menyala terang.
Tapi tidak ada satu pun yang bisa menyalakan terang di hati Kareesa saat ini.
Ia merasa...
Ada sesuatu yang perlahan ditarik keluar dari dalam dirinya, rasa, rindu, dan mungkin... luka lama yang baru saja terbuka kembali.
