Shiro duduk di tepi sungai, kakinya menggantung di atas air yang mengalir pelan. Cahaya senja memantul di permukaan sungai, menciptakan bayangan yang bergerak lambat. Ia menarik napas panjang, menatap air yang membawa sisa-sisa darah dan kekacauan dari kota. Sejenak, ia membiarkan pikirannya hanyut ke masa lalu.
Ia masih ingat, ketika orang tuanya meninggal karena penyakit yang tak terobati. Ia seorang yatim-piatu, hidup di sisi gelap ibu kota yang selalu penuh ketidakadilan. Warga di sekitarnya, meski manusia, kadang lebih kejam dari Azael yang pernah ia dengar. Rasa dendamnya pun tumbuh perlahan, mengakar di hati kecilnya. "Kenapa dunia ini begitu tidak adil?" gumamnya lirih, matanya menatap air yang beriak di bawah cahaya senja.
Lalu Shiro teringat pertemuannya dengan Kael. Awalnya, ia membenci sosok itu. Kael tampak seperti makhluk sempurna yang selalu menjadi pusat perhatian, seakan membiarkan orang lain menderita sementara ia berdiri tanpa cela. Shiro yang kecil dan rapuh waktu itu merasa tersisih dan tidak adil. Namun, perlahan, melalui aksi-aksi Kael, keberanian dan ketegasannya, Shiro mulai melihat sisi lain. Kael bukan sekadar "sang Main Character" yang jauh dan tak terjangkau. Ia benar-benar peduli, menghadapi bahaya untuk melindungi yang lemah, dan membuat keputusan yang sulit demi kebaikan semua orang. Kekaguman mulai tumbuh di hati Shiro, meskipun ia tidak ingin mengakuinya.
"Dia… mungkin memang berbeda," bisiknya saat mengenang bagaimana Kael menyelamatkan banyak orang, menghadapi Azael dan sekte yang membahayakan kota. Kekaguman itu mengalahkan sedikit demi sedikit rasa kebencian dan dendam yang ia bawa. Kael bukanlah musuhnya—melainkan sosok yang memberinya harapan, sekecil apa pun itu.
Tiba-tiba, suara riang terdengar dari belakangnya. "Shiro! Kau sendirian lagi?"
Ia menoleh dan melihat seorang gadis kecil dengan rambut cokelat terang, mata berkilau penuh semangat, dan senyum yang mampu menembus kegelapan hatinya. Gadis itu adalah Lily. Di belakangnya, beberapa anak-anak lain serta orang dewasa yang tampak seperti keluarga mereka berjalan mendekat.
Shiro menegakkan punggungnya, mencoba menutupi kesedihannya. "Aku… aku baik-baik saja," jawabnya singkat, suara masih terdengar dingin.
Lily mendekat, menepuk bahunya dengan lembut. "Aku tahu kau kuat, Shiro. Tapi jangan biarkan amarah dan dendam membuatmu menutup hati. MC—Kael—dia memang hebat, dan dia datang bukan untuk menyakiti kita. Kau harus percaya, Shiro. Percayalah dia membawa perdamaian."
Shiro menunduk, bisikan kata-kata Lily merayapi hatinya. Ia ragu, tapi sedikit demi sedikit, rasa hangat dari ketulusan gadis itu menembus dinding yang ia bangun sejak lama. "Aku… aku tidak tahu apakah bisa begitu saja percaya…" ucapnya pelan.
"Tidak apa-apa," kata Lily sambil tersenyum manis. "Kau tidak harus percaya dengan mudah. Tapi jangan menutup hatimu sepenuhnya. Kita semua akan belajar bersama."
Seiring waktu, Lily memperkenalkan Shiro pada keluarga dan teman-temannya. Mereka duduk bersama di pinggir sungai, berbagi makanan sederhana dan tawa yang tak pernah Shiro dengar sejak lama. Shiro mulai merasakan kehangatan yang pernah hilang. Ia memperhatikan senyum orang-orang di sekelilingnya, tawa anak-anak, dan perhatian orang dewasa yang tulus.
"Lihat, Shiro," kata Lily sambil menatap ke sungai. "Kadang, dunia ini memang penuh kegelapan, tapi ada juga cahaya. MC—Kael—dia adalah salah satu cahaya itu. Dan kau… kau bisa ikut menjadi bagian dari cahaya itu, jika mau."
Shiro mengangguk pelan, menatap permukaan sungai. Ia membayangkan darah dan kekacauan kota yang baru saja ia saksikan, dan kemudian membayangkan tawa Lily serta keceriaan teman-temannya. Perlahan, sebuah tekad kecil mulai muncul di hatinya: "Aku… aku akan mencoba. Aku tidak akan membiarkan amarah menguasai diriku lagi."
Mereka pun menikmati sisa senja bersama, suara riang anak-anak bersatu dengan aliran sungai yang tenang, seakan memberi janji bahwa masih ada harapan, bahkan di dunia yang penuh kegelapan.
