Kael tiba di utara kerajaan dengan langkah tenang, tatapannya tajam seperti pedang yang siap mengiris dunia. Istana Azael menjulang di depan matanya, simbol kekuasaan dan kesombongan yang selama ini menekan berbagai ras lain. Tanpa ragu, ia menembus gerbang dan mulai menghabisi para penjaga yang mencoba menghentikannya. Darah bercampur debu dan asap, tapi Kael bergerak cepat, setiap ayunan pedang menyapu lawan tanpa ampun.
Di aula besar, ia dihadang oleh empat jenderal—setiap jenderal memiliki kemampuan unik: satu ahli sihir kegelapan, satu pengendali elemen, satu master senjata jarak jauh, dan satu yang menguasai strategi tempur dan manipulasi mental. Tapi itu semua tak ada artinya. Dalam beberapa saat, tiga dari mereka terkapar di lantai, pedang Kael menebas tanpa ampun, meninggalkan yang paling kecil dengan tubuh terkepal tapi matanya bersinar tajam—ia memiliki kecerdasan, kemampuan negosiasi, dan hubungan erat dengan Raja Azael.
Kael menatap jenderal itu dengan tenang. "Kau punya akal dan koneksi," bisiknya. "Aku akan mengambil Arizone dari sang raja." Ia memberi sedikit informasi untuk memancing rasa takut dan kesadaran, lalu membiarkannya hidup.
Langkah Kael tidak berhenti. Ia menembus ke singgasana Arizone, menyapu setiap pengawal yang berusaha menghadangnya. Para wanita pengawal mencoba menggoda, namun pedang Kael menebas dengan cepat, menghentikan niat mereka sebelum sempat bertindak. Tinggal Arizone sendiri, berdiri dengan anggun, mata bersinar menantang, bibirnya melengkung dengan senyum menggoda.
Arizone melangkah mendekat, tubuhnya anggun, senyum tipis di bibirnya, matanya menyala penuh tantangan. Suara lembutnya menembus telinga Kael, "Kael… apakah kau…"
Kael tersenyum, langkahnya perlahan mendekat, pandangannya tajam namun penuh permainan. "Ah… Arizone," bisiknya, suaranya rendah namun tegas, "kau tampak terlalu percaya diri. Kau pikir rayuanmu bisa menghentikanku?"
Arizone terpana sejenak, wajahnya memerah, tapi ia mencoba tersenyum menantang.
Kael menggeser tubuhnya lebih dekat, tanpa menyentuhnya, tapi setiap kata yang keluar membuat Arizone menahan napas:
"Kau tahu… aku bisa saja membiarkanmu tersenyum manis itu, tapi bukankah lebih menyenangkan jika kita saling menguji batas? Lihat, reaksimu… malu sekaligus penasaran. Ah… kau bahkan tak bisa menyembunyikannya."
Arizone menelan ludah, pipinya memanas. Kael menyentuh dagunya seakan menilai, lalu melangkah mundur sedikit dengan senyum tipis, seolah memberi ruang untuk dilewati.
"Jadi… apakah kau cukup berani untuk menghadapi Main Character yang tak hanya hebat dalam perang, tapi juga tahu cara membaca ekspresi dan hati?"
Arizone menatap Kael, campuran rasa malu, marah, dan kagum tergambar jelas di wajahnya. Kael mencondongkan kepala, mengamati setiap gerakannya, dan menyadari bahwa godaannya berhasil—Arizone terpaku, tanpa mampu mengendalikan diri, sedangkan Kael tetap menguasai situasi.
Tiba-tiba, suara langkah berat menggema di aula. Raja Azael muncul, tombak panjang terangkat, mata penuh amarah. Ia menuduh, "Apa yang telah kau lakukan, Arizone?! Mengapa pria yang kau datangkan… mati sia-sia?"
Arizone menatapnya tajam, namun raja terus melanjutkan tuduhannya, semakin marah:
"Ini semua terjadi karena kau! Kau sengaja menempatkan mereka berhadapanku dengan sang Main Character! Kau terpana melihatnya… semakin membuktikan pengkhianatanmu!"
Jenderal kecil yang selamat dari Kael tiba-tiba bersuara, memicu konflik lebih jauh. "Yang Mulia… mungkin Arizone memang terlalu lama berpikir. Aku… hanya mengikuti perintah… tapi kejadian ini… membuktikan bahwa kita terlalu lambat dalam invasi. Pertumbuhan kita tertunda karena kita terlalu mengandalkan Arizone!"
Arizone menatapnya, wajahnya berubah dari marah menjadi tegang. "Aku… aku tidak…"
Raja semakin mendesak, suaranya hampir berteriak:
"Cukup! Kegagalan ini bukan hanya karena mereka, tapi karena kau sendiri, Arizone! Aku tak bisa lagi menoleransi kesalahan ini!"
Kael berdiri di tengah, menyaksikan adegan itu dengan senyum tipis. Semua yang terjadi adalah bagian dari rencananya—membiarkan mereka menghancurkan diri sendiri dari dalam, memecah kepercayaan antara raja dan ratu, memperlihatkan kelemahan dan kesombongan mereka, sehingga ras Azael menjadi lebih mudah dihancurkan.
Arizone kini tersipu malu dan frustrasi, tak mampu membantah sepenuhnya, sedangkan raja menatapnya dengan kemarahan dan kebingungan, merasa dikhianati namun tidak tahu siapa sebenarnya yang memanipulasi semua ini.
Di sisi lain, Kael menyadari bahwa strateginya berhasil sempurna—mereka saling menuding, saling meragukan, dan rasa takut serta kesombongan mereka memuncak. Setiap kata yang diucapkan Kael kepada Arizone, setiap gerakan dan rayuannya, semakin menegaskan dominasi sang Main Character, sekaligus membuat rencana penghancuran Azael dari dalam berjalan mulus.
