Kota yang tadinya menahan napas kini bergetar dengan ketegangan. Warga menatap langit utara dengan mata penuh kekhawatiran; bisik-bisik bertebaran di antara gang-gang sempit dan jalanan lebar. Beberapa menunduk, berdoa dalam hati, sementara yang lain menatap ke arah istana, mencoba menangkap sekilas sosok Kael dan Arizone.
Namun tidak semua ikut kagum. Seorang rakyat biasa maju di tengah kerumunan, matanya menatap tajam. "Kael… mengapa kau membiarkan mereka tetap hidup? Mengapa Azael bisa tunduk begitu saja? Bukankah mereka musuh kita?"
Tidak jauh dari situ, seorang bangsawan muda, jubahnya berkilau di bawah sinar matahari, menambahkan dengan nada gugup, "Kael… apakah keputusanmu ini benar? Mengapa tidak menghancurkan mereka sepenuhnya? Bagaimana kami bisa percaya pada jalanmu?"
Dan dari bayang-bayang, sosok berjubah gelap melangkah sedikit maju, hanya suara yang terdengar: "Seharusnya MC menghabisi mereka. Semua ini… keraguan tetap menggantung di udara."
Arizone melangkah, wajahnya memerah, suara lembutnya mencoba menjelaskan.
Namun Kael mengangkat tangan, sederhana tapi tegas—isyarat bagi Arizone untuk diam. Dalam keheningan itu, seluruh kerumunan menatapnya, merasakan dominasi dan ketegasan yang memancar. Tidak ada kata-kata yang diucapkan, namun aura Kael menenggelamkan keraguan mereka, meski masih tersisa rasa penasaran.
John, di sudut balai, menatap dengan panik. Denyut jantungnya berdetak kencang, wajahnya pucat. "Apa yang terjadi? Bagaimana dengan perjanjianku?" gumamnya, bibirnya bergetar. Kekhawatiran dan rasa takut bercampur dengan dendam yang tersisa, sementara matanya tak bisa lepas dari Kael yang berdiri tegak, tak tersentuh oleh keraguan siapa pun.
Kael melangkah ke depan, suaranya rendah tapi tegas, menenangkan namun tetap menegaskan kekuasaan:
"Dengar semua… aku tahu kalian ragu. Aku tahu takut yang kalian rasakan. Tapi inilah jalan yang benar—percaya atau tidak, ini yang harus dilakukan. Tak seorang pun akan terluka selama kalian mengikuti aturan yang harus ditaati."
Warga menatapnya, beberapa mengangguk perlahan, beberapa tetap menyimpan rasa skeptis. Mereka merasakan kombinasi lega, kagum, dan ketegangan yang tertahan, dan dalam hati, mereka tahu bahwa Kael bukan sekadar pahlawan—dia adalah pengendali nasib mereka.
Malam itu, Kael memanggil John ke ruangan khusus. Arizone sudah menunggu, wajahnya memerah karena rasa malu dan kegugupan. John duduk, matanya melebar, menatap Arizone dan Kael.
Ruangan itu hangat, hanya diterangi cahaya lilin yang menari-nari di dinding, membentuk bayangan yang bergerak seolah ikut mengawasi. John duduk di kursi, tangannya mengepal, mata yang dulu penuh dendam kini menatap Kael dengan campuran bingung dan terpaksa. Arizone berdiri di sisi Kael, wajahnya masih memerah karena rasa malu, namun tatapannya kini fokus sepenuhnya pada sang Main Character.
Kael melangkah pelan, suaranya tenang dan lembut:
"John… aku mengerti perasaanmu. Aku tahu perjanjian itu penting bagimu, dan aku tahu aku mengubah segala hal yang kau harapkan. Tapi dengarkan aku… jalan yang kau pikirkan, cara yang kau pilih… tidak akan memberimu kemenangan."
John menegakkan badan, suara gemetar tapi masih terdengar tegas, "Aku… aku telah berjanji pada mereka, pada sekte yang membantuku. Aku… aku tidak bisa begitu saja membiarkan semua ini terjadi. Bagaimana aku tahu kau tidak akan… mengkhianatiku juga?"
Kael tersenyum tipis, nada lembutnya tetap menenangkan tapi penuh keyakinan. "Aku tidak akan mengkhianatimu, John. Aku tidak menginginkan pertempuran yang sia-sia. Kau bisa melawan, memang… tapi kau akan segera menyadari bahwa ini tidak ada gunanya. Aku ingin kau tetap hidup, bukan jatuh ke tangan mereka atau menyesalinya nanti."
John menelan ludah, tangannya masih mengepal. Tatapannya sesaat berpindah ke Arizone, yang berdiri tenang, menunggu arahan Kael. "Dan Arizone… apa yang kau pikirkan?" tanya John, nada ragu bercampur cemas.
Arizone menghela napas, suaranya lembut namun pasti: "Aku… aku fokus pada perintah Kael. Apa pun yang ia katakan, aku akan mengikutinya. Aku… percaya pada keputusan Kael."
John menatap Kael lagi, hatinya bergetar, mulutnya hampir tak bisa berkata-kata. Kael melangkah lebih dekat, suaranya tetap lembut:
"John… kau bisa memilih jalanmu. Kau bisa memberontak, atau kau bisa bekerja denganku. Aku tidak memaksamu… tapi aku ingin kau tahu, lawan yang kau hadapi bukan lagi sekadar manusia. Aku akan membimbingmu melewati ini, jika kau mau mempercayai aku."
Keheningan menyelimuti ruangan. John merasakan setiap kata menekan hatinya, menyentuh segala ketakutan, ambisi, dan rasa bersalah yang ia pendam. Ia menunduk, akhirnya perlahan mengangguk. "Baik… aku akan melakukannya. Aku… aku tidak punya pilihan lain."
Kael tersenyum lembut, menepuk bahu John dengan ringan, lalu menoleh ke Arizone. "Tetaplah di sisiku. Pastikan semua langkah kita sesuai rencana. Aku menghargai kesetiaanmu."
Arizone mengangguk, pandangannya tegas, hati yang tadinya malu kini sepenuhnya dipenuhi tekad. "Aku akan melakukannya, Kael. Aku akan mengikuti setiap perintahmu."
Di luar ruangan, kota tetap tenang. Namun ketegangan dari keputusan yang dibuat di dalam ruangan itu terasa hingga ke setiap sudut—John sadar, tidak ada jalan lain. Arizone tunduk, fokus sepenuhnya pada perintah kael. Dan Kael Tetap tenang, menguasai semua tanpa harus memaksakan kata-kata.
