Keesokan harinya, udara utara kerajaan terasa lebih dingin dari biasanya. Kael menyiapkan pedang katana yang telah menemaninya di berbagai cerita fiksi lain, memastikan perlengkapan dan rencananya sempurna. Sebelum meninggalkan aula, ia berbicara singkat dengan Raja Leon dan Putri Clara, meninjau strategi dan keamanan kota melalui mata-mata yang telah ia kirim sejak lama. Semua pesan disaring dengan teliti—tidak ada yang boleh tahu langkah selanjutnya kecuali mereka yang benar-benar loyal.
Di utara, John Barron berdiri di ruang pertemuan Ratu Arizone. Ia menunduk, jantungnya berdebar, menyadari betapa anggun dan mematikan aura sang ratu. "Aku… aku akan melakukan yang terbaik, Yang Mulia," ucapnya, suaranya serak meski hatinya bergejolak.
Arizone menatapnya, senyum tipis menghiasi bibirnya yang sempurna, nadanya lembut tapi menusuk: "Jika kau gagal membantu kami… perjanjian ini akan batal. Dan kau… kau akan kehilangan lebih dari yang pernah kau bayangkan."
John menunduk, pikiran dan hatinya dibanjiri kenangan masa kecil. Ayahnya yang dermawan meninggal dalam kemiskinan, rumah mereka selalu kekurangan, sementara bangsawan lain sibuk membicarakan Kael, sang Main Character. Setiap kali mendengar nama MC, rasa muak John muncul kembali—selama ini ia selalu merasa diabaikan.
"Ayah… maafkan aku. Aku ingin hidup yang layak… tapi sepertinya dunia ini hanya peduli pada yang kuat," bisiknya dalam hati.
Tiba-tiba, dari bayang-bayang ruangan, muncul seorang pria Azael yang pernah Kael lawan. Wajahnya tampan, tubuhnya tinggi, dan matanya memancarkan aura kekuatan sekaligus kecerdikan. Tanpa banyak kata, ia melangkah ke depan dan berbicara dengan nada merayu, namun memikat:
"Kau ingin lebih dari sekadar hidup biasa, John? Kekuasaan, pengaruh, bahkan mereka yang kau dambakan… semua bisa menjadi milikmu. Bersama kami… semua yang selama ini kau impikan bisa nyata."
John terpaku. Janji itu menggiurkan: kekuasaan, harta, dan wanita-wanita Azael yang menawan, seakan semuanya berada tepat di depan matanya. Ambisi dan rasa frustrasi masa lalu bergabung, membuat hatinya bergetar. Perlahan, dengan napas berat, ia mengangguk. "Baik… aku setuju," katanya, suara serak namun tegas.
Sejak saat itu, John mulai mempengaruhi bangsawan lain, khususnya mereka yang miskin atau serakah, menabur keraguan terhadap Kael. Kata-kata John halus tapi beracun, cukup untuk menimbulkan ketidakpercayaan tanpa terlalu terang-terangan.
Sementara itu, di istana, Kael selesai berbicara dengan Raja Leon dan Putri Clara. Ia berjalan keluar aula, pedang tergenggam, tatapannya tajam. Melalui mata-mata yang ia kirim, Kael mengamati situasi—gerak-gerik John, godaan Azael, dan setiap percakapan yang tersembunyi. Mata-mata itu terlihat gelisah, mencoba menahan diri dari tekanan John, namun perjanjian yang diikat John tetap memaksa mereka pasrah.
Kael menatap mata-mata itu sejenak, senyum tipis muncul di bibirnya—tenang, penuh arti. Ia tidak mengungkapkan rencananya, tapi sikapnya cukup untuk membuat siapa pun sadar bahwa ia mengetahui semua niat tersembunyi, dan bahwa segala sesuatu yang sedang terjadi berada dalam pengawasannya.
Balai kerajaan kembali sunyi. Lilin bergetar, bayangan di dinding menari perlahan, seperti pengingat bahwa setiap tindakan, setiap niat, dan setiap keputusan—baik kesetiaan maupun pengkhianatan—akan menimbulkan konsekuensi. Kael, dengan langkah mantap, siap untuk menghadapi utara, tempat Azael menunggu, sambil membiarkan John dan mata-mata itu berada di jalur yang telah ia prediksi.
