John melangkah keluar dari ruangan dengan langkah yang terasa berat, seolah tiap inci lantai istana menolak menopang tubuhnya. Di koridor, bisik-bisik segera berubah jadi keributan kecil; beberapa bangsawan penghianat yang semula bercokol di balik bayang-bayang kini menatapnya dengan mata penuh kepanikan. Mereka mengerumuninya seperti kawanan yang melihat pemimpin mereka karam dalam badai.
"Sialan… apa yang terjadi di sana?" bisik salah seorang, suaranya nyaris tak terdengar tapi matanya menuntut jawaban.
John menelan ludah. Di dadanya ada sebuah cekungan dingin—perjanjian itu, janji manis tentang kuasa yang kini terasa seperti rantai. Di hadapan mereka ia harus bertindak tenang. Jadi ia menata wajahnya, membentuk senyum yang rapuh, dan meniru ketenangan yang belum pernah ia rasakan.
"Tidak ada apa-apa," katanya pelan, suaranya dibuat datar. "Semua sesuai rencana. Kalian… tenang saja, ini untuk kebaikan bersama."
Kata-kata itu jatuh hambar. Beberapa bangsawan saling berpandangan—ada yang percaya setengah, ada yang mencurigai setengah. Ketakutan berkerut di raut wajah mereka; John tahu, setiap keraguan adalah bara yang bisa menghanguskan perjanjian rapuh yang sudah ia buat.
Di saku jubahnya, tangan John meraba benda kecil—segulung tali kecil dengan simpul khas, tanda yang dipakai mereka untuk berkomunikasi secara rahasia. Ia mengeluarkannya, menekan bagian yang katanya akan memanggil seseorang dari sekte. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ini bukan sekadar urusan politik lagi; ini soal bertahan hidup.
Sebuah suara rendah menyapa dari balik keramaian: "John." Bentuk sosok itu samar—berjubah, kerudung menutupi wajah, hanya simbol di dada yang menarik perhatian: satu lingkaran seperti matahari, tetapi bukan berwarna emas. Warna itu ungu pekat; warnanya membuat kantong-kantong mata pada jiwa yang melihatnya terasa seperti ditusuk. Sekte—mereka yang menggunakan simbol itu—bergerak seperti bayang-bayang yang tumbuh.
Seketika, kata-kata mereka mengalir. Bukan hanya bisik rahasia; kini ada suara lantang, klaim yang tak bisa diabaikan.
"Kami tidak butuh sang Trinity," ujar seorang berjubah, suaranya kosong namun berapi. "Mengapa mereka berkuasa? Untuk siapa? Bila mereka membawa kebaikan, di mana kebaikan itu ketika kami membutuhkannya? Mengapa anak-anak kami mati sementara mereka tetap tak tersentuh?"
Seorang bangsawan tua menutup wajahnya dengan tangan, sementara seorang lain, yang biasa menampakkan wajah paling tenang, kini terlihat seperti ingin berteriak. John merasa kata-kata itu menancap di dadanya seperti tombak. Mereka mengulang mantranya — kalimat-kalimat yang sudah sekian lama menjadi alibi bagi perlawanan:
"Kalo memang mereka membawa kebaikan, kenapa masih ada kejahatan?
Kalo memang trinity berperan penting, kenapa mereka tidak muncul saat kamu membutuhkannya?
Kenapa kalian seperti ini? Ini semua bukan salahmu—ini salah mereka!"
Seketika, para penghianat itu—yang sebelumnya panik karena takut kehilangan perlindungan Azael—mulai menata diri. Mereka menaruh topeng percaya yang cepat mengeras menjadi tekad. Beberapa malah menyeringai; ada sesuatu dalam kata-kata sekte yang memuaskan rasa marah lama yang tak lagi terkendali.
John berdiri di ujung pusaran itu, menatap wajah-wajah yang kini menunjukkan perilaku aneh: mata yang tak lagi menilai secara personal, melainkan menunggu penegasan sebuah dogma. Mereka berbicara bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk meneguhkan satu rumus: Trinity harus dimusnahkan. Gerak-gerik mereka serupa ritual—lambang ungu di dada, jari yang menunjuk, lidah yang melantunkan pertanyaan-pertanyaan yang retoris.
"Apa yang mereka inginkan jika bukan…?" salah seorang bangsawan bertanya, mencoba menutupi rasa takutnya dengan tanya retoris.
"Penghapusan. Kebebasan dari kepalsuan. Penghakiman," balas seorang berjubah, lalu menambahkan dengan nada seakan membaca niscaya: "Kami akan menolak eksistensi yang menindas. Lambang kami bukan sekadar warna; itu adalah penolakan atas hak 'penulis' untuk menentukan nasib kami."
John merasakan sesuatu yang rapuh di dalam dirinya pecah. Bagian yang dulu memberinya keberanian kini hanyalah rasa bersalah yang membakar. Ia tahu, jika ia mundur sekarang, sekte akan memakainya—jika ia maju, ia terus menjadi pion pada permainan yang lebih gelap. Ia menoleh ke kerumunan; beberapa wajah tampak goyah—mereka tertarik pada radikalisme, tapi takut akan dampaknya. Rakyat membutuhkan stabilitas. Para penghianat membutuhkan janji. Sekte membutuhkan darah sebagai bukti.
Ia menggerakkan jari, mengirim tanda kecil yang menjadi tanda panggilan. "Kita harus… bersabar," katanya kepada bangsawan-bangsawan itu, suaranya tipis. "Kita lihat dulu bagaimana arah angin."
Sang berjubah yang tadi menatapnya mendekat, aroma dupa samar menempel di udara. "Angin sudah berubah, John Barron. Kau menabur benih. Kau harus panen. Jangan ragu." Suara itu seperti batu yang dilempar ke kolam tenang—gelombangnya tidak bisa diabaikan.
Di dalam dadanya, John merasakan keputusan yang tak pernah ia bayangkan: ia harus memainkan dua peran sekaligus—seorang bangsawan yang berpura-pura setia kepada istana, dan utusan gelap bagi mereka yang ingin menumbangkan segala sesuatu yang mengklaim hak untuk mengatur nasib manusia.
Kerumunan mulai terpecah; beberapa menyusup kembali ke bayang-bayang dengan rencana baru, beberapa menepuk bahu satu sama lain seperti sahabat yang baru menemukan jalan keluar dari rasa malu. Dan John? Ia menatap lambang ungu yang berkelap-kelip di dada sang berjubah, menemukan cermin yang memantulkan wajahnya sendiri—wajah seorang yang terlilit janji dan ketakutan.
Di antara desahan, John berbisik pada dirinya sendiri sesuatu yang sekaligus menenangkan dan mengandung penyesalan: "Ini jalan yang kupilih—sekarang aku harus berjalan sampai ujungnya."
