Cherreads

Chapter 7 - BAB 6: EFISIENSI SANG PENIMBANG

Dua tahun merupakan waktu yang cukup bagi seorang manusia untuk melupakan cara merangkak, namun bagi Rian, dua tahun terakhir adalah masa di mana ia harus belajar cara "menghilang" di dalam dirinya sendiri. Di usianya yang kini menginjak lima belas tahun, Rian bukan lagi remaja tanggung yang hanya mengandalkan kekuatan kasar. Tubuhnya telah bertransformasi menjadi sebuah instrumen yang sangat efisien; ia lebih tinggi, dengan bahu yang tegap namun ramping, dirancang untuk kecepatan ledak daripada beban statis. Setiap inci kulitnya tampak sekeras kayu ek, namun seelastis karet, hasil dari latihan fisik yang tidak pernah mengenal kata ampun di bawah bimbingan Soran.

Pagi itu, di sebuah bagian terdalam Silvaris Aeterna yang disebut sebagai Labirin Akar Hitam, Rian sedang berada dalam posisi yang sangat tidak lazim. Ia bergantung terbalik, kaki yang dikaitkan pada akar raksasa yang melintang di langit-langit gua, sementara tubuhnya menjuntai ke bawah menuju kegelapan yang seolah tak berdasar. Di kedua daun telinganya, terpasang sepasang lonceng kecil berwarna perak—Lonceng Hening—alat latihan terbaru buatan Soran yang memiliki sensitivitas luar biasa terhadap fluktuasi Mana.

"Kau terlalu berisik, Rian. Lonceng itu berbunyi setiap kali kau berkedip. Itu tandanya kau masih membocorkan energi seperti ember yang penuh lubang," suara Soran bergema dari kegelapan di bawah, terdengar santai namun tajam seperti sembilu.

Rian menarik napas dalam menggunakan teknik Great Breath of Aethel. Di dalam perut bawahnya, dua buah kristal bintang berwarna biru safir pekat berputar dengan harmonis. 2 Star Core. Secara sosial di dunia luar, pencapaian dua bintang di usia lima belas tahun mungkin hanya akan dianggap sebagai "berbakat namun tertinggal" jika dibandingkan dengan para jenius bangsawan yang sudah mencapai bintang ketiga atau keempat. Namun, bagi Soran dan Rian, jumlah bintang hanyalah sebuah angka. Yang mereka kejar adalah kepadatan dan efisiensi.

"Aethel's Veil... Aktif," bisik Rian.

Seketika, Mana safir mengalir dari Dantiannya, merayap naik melalui jalur saraf tulang belakangnya yang kini sudah bersih dari karat energi, dan menyelimuti saraf matanya. Pandangannya yang tadinya hanya kegelapan total berubah menjadi dunia biru tua yang dalam. Garis-garis rasio 7:3 pada akar-akar pohon di sekelilingnya terlihat stabil. Namun, lonceng di telinganya tetap berdenting halus. Ting... ting...

"Sial," umpat Rian pelan.

"Jangan mengumpat padaku. Mengumpatlah pada kontrol Mana-mu yang masih amatir itu," Soran muncul dari balik bayangan, memegang sebuah botol arak dan sebuah kayu pemukul kecil. "Dengar, Rian. Kau sudah punya dua bintang. Itu bagus. Tapi teknik Aethel's Veil-mu saat ini adalah parasit yang haus. Kau menghabiskan Mana terlalu banyak hanya untuk menjaga cadar itu tetap aktif. Itu karena Mastery-mu masih di bawah sepuluh persen. Kau membuang energi ke udara setiap kali kau bernapas."

Soran memukul sebuah akar besar, menciptakan getaran yang membuat Rian hampir jatuh dari posisinya. "Prinsip Mastery adalah efisiensi. Kau tidak perlu menyalakan lampu ke seluruh hutan jika kau hanya perlu melihat jalan di depan kakimu. Kurangi ketebalan cadar itu. Buat ia sekecil mungkin, setipis mungkin, namun tetap melindungi sarafmu. Jika kau bisa mencapai Mastery dua puluh persen hari ini, aku akan mengizinkanmu makan daging rusa panggang nanti malam. Jika tidak, kau hanya akan makan akar pahit."

Rian menutup matanya kembali, mencoba fokus sepenuhnya pada aliran energinya. Ia tidak lagi memaksakan seluruh Mana-nya ke mata. Sebaliknya, ia mencoba "mengunci" pintu-pintu kecil di sepanjang jalur sarafnya agar Mana tidak meluap keluar. Ia membayangkan aliran energinya seperti benang sutra yang sangat tipis, bukan lagi seperti arus sungai yang deras.

Perlahan, denting lonceng di telinganya mulai mereda. Keheningan total mulai menyelimuti gua itu. Inilah yang Soran sebut sebagai Abyssal Silence.

"Bagus. Sekarang, keluar dari labirin ini dalam waktu enam jam," perintah Soran tiba-tiba. "Tantangannya: Kau harus terus mengaktifkan Aethel's Veil sepanjang jalan. Jika lonceng itu berbunyi keras satu kali saja karena kau terkejut atau kehilangan fokus, aku akan menganggap kau gagal dan kau harus memulai dari awal."

Tanpa menunggu jawaban, Soran menghilang ke dalam kegelapan.

Rian melepaskan kaitan kakinya dan mendarat di tanah tanpa suara sedikit pun. Labirin Akar Hitam adalah tempat yang mengerikan; lorong-lorongnya sempit, berkelok, dan dipenuhi oleh tanaman beracun yang bisa melilit kaki dalam sekejap.

Tanpa cahaya, manusia biasa akan tersesat di sini selamanya.

Rian mulai bergerak. Melalui Aethel's Veil dengan Mastery yang ia usahakan tetap stabil, ia melihat dunia dalam fragmen-fragmen rasio yang tenang. Ia tidak berlari, ia meluncur di antara akar-akar hitam itu. Pikirannya terus bekerja keras menghitung pengeluaran energi. Setiap langkah yang ia ambil dikompensasi dengan pengurangan aliran Mana ke mata. Ia belajar untuk "meredupkan" cadarnya ketika ia hanya berdiri diam, dan memperkuatnya hanya ketika ia perlu melihat detail jebakan di depannya.

Tiba-tiba, sebuah benda melesat dari kegelapan ke arah kepalanya.

Insting Rian berteriak. Ia menunduk secara otomatis. Sebuah botol arak kosong pecah di dinding gua tepat di belakangnya.

Ting!

Lonceng di telinganya berdenting cukup keras karena detak jantung Rian yang melonjak tiba-tiba.

"Awas, Bocah! Ada monster pemabuk di sini!" teriak Soran dari suatu tempat yang tak terlihat, tertawa terbahak-bahak.

Rian menggeram kesal. "Guru sialan... kau mencoba membunuhku!"

"Aku mencoba mengajarimu agar tidak kaget seperti perawan saat melihat kecoa!" balas Soran. "Kembali fokus! Kendalikan emosimu atau Mana-mu akan terus meluap!"

Rian menarik napas dalam, memaksakan ketenangan masuk kembali ke jiwanya. Ia menyadari bahwa emosi adalah musuh terbesar dari Mastery. Setiap kali ia marah atau terkejut, Star Core-nya akan berdenyut liar, merusak "Cadar" yang ia bangun dengan susah payah. Ia kembali melanjutkan perjalanannya, kali ini dengan kewaspadaan yang berlipat ganda.

Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan penghuni asli labirin ini: seekor Blackroot Crawler, monster berbentuk kelabang raksasa dengan cangkang sekeras baja. Monster itu tidak melihat Rian, namun ia bisa merasakan panas tubuh manusia.

Rian berhenti. Jika ia bertarung secara liar, ia akan menghabiskan seluruh Mana-nya. Ia harus menggunakan efisiensi. Melalui penglihatan birunya, Rian melihat garis 7:3 pada persendian cangkang kelabang itu. Ia tidak membuang Mana untuk memperkuat seluruh tubuhnya. Ia hanya memusatkan setitik Mana safir pada ujung jari telunjuknya.

Dengan gerakan yang sangat minimalis, Rian melesat maju.

Srak!

Sentuhan jarinya tepat mengenai titik rasio yang rapuh. Tanpa perlu tenaga besar, cangkang baja itu retak dan monster itu tumbang seketika karena integritas strukturnya hancur. Lonceng di telinga Rian tetap diam. Tidak ada kebocoran energi.

Rian terpaku sejenak. Ia merasakannya. Sensasi di mana energinya tidak lagi terbuang sia-sia. Ia merasa Star Core-nya tetap penuh meskipun ia baru saja melakukan serangan mematikan. Inilah kekuatan dari Mastery.

"Luar biasa..." bisik Rian.

Ia terus melanjutkan perjalanannya melewati labirin yang membingungkan itu. Selama empat jam berikutnya, Rian menghadapi berbagai gangguan dari Soran—mulai dari jebakan lubang hingga hujan buah busuk. Namun, Rian tetap tenang. Ia menjaga aliran Mana ke matanya tetap pada level minimal yang dibutuhkan untuk navigasi.

Saat ia melihat cahaya remang-remang di ujung lorong yang menandakan jalan keluar, Rian merasakan sebuah sensasi pecah di dalam kesadarannya. Seolah-olah beban yang selama ini menekan matanya tiba-tiba menjadi lebih ringan. Sirkulasi Mana ke saraf matanya kini tidak lagi membutuhkan perintah aktif dari pikirannya; sirkulasi itu mulai bergerak sendiri secara otomatis, setipis dan sehalus mungkin.

Aethel's Veil Mastery: 20%.

Rian keluar dari Labirin Akar Hitam tepat saat matahari mulai menyinari hutan dengan cahaya oranye keemasan. Ia berdiri tegak, napasnya sangat teratur, dan yang paling penting, ia tidak pingsan atau mengalami pendarahan hidung. Ia masih memiliki hampir tujuh puluh persen cadangan Mana di kedua Star Core-nya.

Soran sudah berdiri di sana, bersandar pada sebuah pohon besar sambil mengunyah kaki rusa bakar. Ia menatap Rian dari atas ke bawah, lalu tersenyum tipis—sebuah senyuman yang sangat jarang ia tunjukkan secara terang-terangan.

"Kau berhasil mencapai efisiensi dua puluh persen, Rian. Kau sudah tidak lagi terlihat seperti ember bocah yang menyedihkan," ujar Soran sambil melemparkan sepotong daging rusa yang masih panas ke arah Rian.

Rian menangkap daging itu dan memakannya dengan lahap. Rasa gurih dan hangat daging itu seolah menjadi hadiah terbaik atas kerja kerasnya selama dua tahun terakhir.

"Dua puluh persen Mastery... konsumsi Mana-ku berkurang sepuluh persen," gumam Rian di sela-sela makannya. "Rasanya... jauh lebih ringan."

"Jangan sombong dulu," Soran mengingatkan sambil meneguk araknya. "Sepuluh persen pengurangan konsumsi Mana itu mungkin terasa banyak sekarang karena kau hanya punya dua bintang. Tapi bayangkan nanti saat kau mencapai empat bintang dan menghadapi musuh yang bisa bertarung berjam-jam. Mastery seratus persen adalah target akhirmu. Jika kau mencapainya, kau bisa mengaktifkan Septem seolah-olah itu adalah mata normalmu."

Soran menatap ke arah luar hutan, ke arah di mana Kerajaan Aethelgard berada. "Dunia luar itu kejam, Rian. Di sana, mereka tidak hanya melihat seberapa kuat pedangmu, tapi seberapa lama kau bisa menahan napas dalam pertempuran. Dengan efisiensi ini, kau punya peluang untuk bertahan hidup di Akademi nanti."

Rian menatap tangannya yang kini tidak lagi gemetar. Ia menyadari bahwa ia baru saja melewati satu lagi tonggak sejarah dalam perjalanannya. Di umur lima belas tahun ini, ia bukan lagi sekadar ksatria yang tertinggal. Ia adalah seorang praktisi yang memiliki efisiensi luar biasa, sesuatu yang bahkan mungkin tidak dimiliki oleh mereka yang memiliki jumlah bintang lebih banyak darinya.

"Soran," panggil Rian.

"Hmm?"

"Tiga tahun lagi... aku akan berumur delapan belas. Aku akan mendapatkan dua bintang lagi, dan aku akan meningkatkan Mastery ini sampai titik maksimal."

Soran tertawa terbahak-bahak, tawanya memecah kesunyian pagi di Silvaris Aeterna. "Hahaha! Ambisius sekali kau, Bocah! Tapi ingat, dua bintang terakhir menuju angka empat adalah dinding yang paling keras untuk ditembus. Kau harus siap untuk benar-benar menghancurkan dirimu sendiri jika ingin mencapainya!"

Rian tidak menjawab, ia hanya tersenyum tipis dan kembali menggigit daging rusanya. Di dalam Dantiannya, dua bintang biru safir itu bersinar dengan sangat stabil, seirama dengan detak jantungnya yang kini jauh lebih tenang. Ia tahu jalan di depannya masih panjang dan penuh duri, namun dengan Cadar yang semakin efisien menyelimuti penglihatannya, Rian siap untuk menimbang dunia dengan tangannya sendiri.

More Chapters