Cherreads

Chapter 6 - BAB 5: CADAR YANG MENENANGKAN

Keheningan yang menyelimuti pinggiran Silvaris Aeterna pagi itu terasa begitu mencekam, seolah-olah alam semesta sendiri sedang menahan napas menyaksikan penderitaan seorang manusia. Di tepi sebuah danau yang airnya sejernih kristal, di mana permukaan airnya memantulkan langit biru tanpa riak sedikit pun, Rian tergeletak tak berdaya di atas hamparan rumput yang masih basah oleh embun. Napasnya pendek, tersengal-sengal, dan berbunyi berat, seolah setiap tarikan udara adalah perjuangan melawan kematian. Darah segar yang berwarna merah pekat mengalir deras dari kedua lubang hidungnya, menetes perlahan dan menodai helai-helai rumput hijau di bawahnya.

Di balik kelopak matanya yang tertutup rapat, Rian merasa otaknya sedang dihantam oleh palu gada raksasa yang membara secara bertubi-tubi. Rasa sakit itu bukan sekadar pusing biasa; itu adalah rasa sakit yang tajam, menusuk hingga ke saraf terdalam, seolah-olah ada ribuan jarum yang dipanaskan sedang menari-nari di dalam tempurung kepalanya. Setiap kali jantungnya berdetak, denyutan rasa sakit itu meledak, membuat pandangannya yang tertutup pun dipenuhi oleh kilatan cahaya putih yang menyilaukan.

Itulah harga yang harus dibayar bagi mereka yang mencoba menyentuh ranah dewa dengan tubuh yang masih rapuh. Kemarin, dalam momen euforia setelah berhasil memecahkan dinding Star Core pertamanya, Rian telah melakukan kesalahan fatal. Tanpa sadar dan tanpa kendali, ia membiarkan teknik Septem aktif dalam kondisi paling liarnya, bersamaan dengan luapan Mana safir yang baru saja lahir. Sinkronisasi yang tidak stabil itu menciptakan arus balik energi; matanya memproses data struktur atomik dunia dengan kecepatan ribuan kali lipat dari yang bisa ditanggung oleh sistem saraf pusatnya. Ia melihat terlalu banyak, terlalu cepat, dan terlalu dalam, hingga otaknya hampir terpanggang oleh beban informasi tersebut.

"Sudah kubilang, bukan? Memiliki senjata dewa dengan tubuh manusia itu seperti mencoba memaksa seluruh air samudra masuk ke dalam botol minum kecil yang retak. Botolnya tidak akan hanya penuh, Rian, tapi akan pecah berkeping-keping," suara Soran terdengar malas dari arah samping, namun di balik nada santainya, terdapat getaran kekhawatiran yang jarang ia perlihatkan.

Soran berdiri tegak di samping tubuh muridnya, menatap Rian yang masih mengerang kesakitan dengan tubuh yang bergetar hebat. Pria itu menghela napas panjang, sebuah desahan yang membawa aroma arak dan keletihan duniawi. Ia perlahan berjongkok di samping Rian, lalu menempelkan telapak tangannya yang besar, kasar, dan penuh kapalan ke kening remaja itu. Seketika, Rian merasakan sebuah sensasi dingin yang luar biasa menenangkan merambat masuk ke dalam kepalanya. Rasa dingin itu bukan seperti es, melainkan seperti aliran air pegunungan yang jernih, yang perlahan memadamkan api neraka yang sedang membakar saraf penglihatannya.

"Sakit... Guru... kepalaku seperti mau meledak dari dalam," bisik Rian dengan suara yang serak dan hampir tidak terdengar.

"Tentu saja sakit, dasar bocah keras kepala. Itu karena kau memperlakukan matamu sebagai beban mental murni. Kau membiarkan otakmu bekerja sendirian, memeras setiap tetes kesadaranmu untuk memproses pembagian sepuluh bagian dunia tanpa bantuan energi fisik sedikit pun," Soran menarik tangannya setelah denyutan di kening Rian mulai melambat. Ia kemudian duduk bersila di atas rumput, menatap permukaan danau yang tenang.

"Dengar baik-baik, Rian. Apa yang kau miliki di matamu itu... dalam catatan kuno yang hampir punah dan hanya diketahui oleh mereka yang telah hidup ribuan tahun, disebut sebagai kutukan. Tapi bagiku, itu bukan kutukan. Itu adalah sebuah Otoritas. Otoritas untuk menentukan titik hancur segala sesuatu. Namun, setiap otoritas di dunia ini membutuhkan bahan bakar. Selama sepuluh tahun di hutan, kau membakar jiwamu sendiri karena kau tidak punya pilihan lain. Tapi sekarang, kau sudah punya Star Core. Sudah saatnya kau berhenti membakar nyawamu dan mulai membakar Mana-mu sebagai gantinya."

Rian perlahan membuka matanya. Dunianya masih terasa berputar-putar, dan pepohonan di seberang danau tampak seperti bayangan yang bergoyang. "Bagaimana... cara mengubahnya? Aku tidak tahu cara menghubungkan mereka."

"Duduklah tegak. Berhenti merangkak seperti cacing yang kepanasan," perintah Soran dengan nada otoriter yang tidak menerima bantahan.

Rian mencoba duduk dengan susah payah. Setiap gerakannya memicu rasa mual yang hebat, namun ia memaksakan diri. Ia menarik napas menggunakan teknik Great Breath of Aethel, mencoba menstabilkan sirkulasi mana safirnya yang masih liar di dalam Dantian.

"Teknik ini adalah rahasia dari rahasia. Aku menyebutnya Aethel’s Veil: Deep Ocean Perception," ujar Soran, suaranya kini terdengar berat dan penuh wibawa. "Aethel berarti keseimbangan sejati antara langit dan bumi, antara energi dan materi. Teknik ini bukan diciptakan untuk menyerang musuhmu, melainkan untuk melindungi dirimu sendiri dari kehancuran yang kau ciptakan. Kau harus melakukan sirkulasi terbalik yang tidak pernah diajarkan pada Knight manapun di akademi. Tarik Mana dari Star Core-mu, namun jangan salurkan ke otot tangan atau kakimu. Alirkan mana itu ke arah tulang belakang, biarkan ia merayap naik hingga ke pangkal tengkorakmu, lalu selimuti saraf matamu dengan energi itu secara perlahan."

Rian kembali memejamkan mata, mencoba memvisualisasikan instruksi Soran. Di dalam kegelapan kesadarannya, ia melihat bintang biru safir di perutnya berdenyut. Ia mencoba menarik secercah benang energi dari sana dan mengarahkannya ke atas. Namun, saat Mana murni itu menyentuh saraf penglihatannya yang sedang meradang, Rian tersentak dan berteriak kesakitan. Rasanya seperti menyiramkan bensin ke atas luka bakar.

"Jangan didorong dengan paksa! Kau ini benar-benar tidak punya kelembutan ya?" bentak Soran sambil memukul pundak Rian agar tetap fokus. "Mana itu harus setenang dan sedalam air danau di depanmu ini! Jangan jadikan mana itu peluru, jadikan itu bantalan. Bayangkan pikiranmu adalah samudra yang sangat luas dan sangat dalam. Di permukaan mungkin ada badai yang mengamuk, ada ombak yang menghancurkan kapal, tapi di kedalaman ribuan meter, airnya diam. Tenang. Abadi. Selimuti saraf matamu dengan ketenangan samudra itu. Buatlah sebuah 'Cadar' yang menyaring semua informasi liar dari Septem."

Rian menarik napas dalam-dalam, mencoba membuang segala emosi negatif dan rasa takutnya. Ia memvisualisasikan dirinya sedang tenggelam ke dalam samudra biru yang gelap dan sunyi. Perlahan, ia mengalirkan Mana itu kembali. Kali ini, ia tidak mendorongnya dengan ego, melainkan membiarkannya merembes masuk secara halus, seperti embun pagi yang menyerap ke dalam tanah yang kering.

Seketika, sebuah keajaiban terjadi. Rasa sakit yang tajam di kepalanya mendadak mereda, berganti dengan sensasi sejuk yang menyegarkan. Rian perlahan membuka matanya.

Dunia di hadapannya tidak lagi terlihat seperti retakan kaca yang menyakitkan. Ia masih melihat sepuluh bagian pada setiap helai daun, ia masih melihat garis rasio 7:3 pada permukaan air danau dan bebatuan di sekitarnya, namun garis-garis itu tidak lagi berkilat biru neon yang menusuk saraf. Garis-garis kematian itu kini terlihat lembut, berwarna biru tua yang tenang, seolah-olah mereka adalah aliran air yang mengalir secara alami di udara. Yang paling mengejutkan adalah matanya sendiri; jika ia melihat pantulan dirinya di air danau, warna birunya tidak lagi liar dan mengerikan, melainkan biru tua yang dalam dan jernih—warna Samudra Dalam.

"Aku... aku tidak merasa sakit lagi. Bahkan garis-garis itu... mereka tidak lagi berteriak di kepalaku," gumam Rian dengan nada takjub yang luar biasa. Ia menoleh ke arah Soran. Di matanya, sosok Soran tetap terbagi menjadi sepuluh bagian yang kompleks, namun persepsi itu tidak lagi membebani proses berpikirnya. Ia bisa melihat Soran sebagai manusia seutuhnya sekaligus sebagai kumpulan titik lemah secara bersamaan tanpa merasa gila.

"Tentu saja tidak sakit. Cadar itu sekarang sedang memproses semua data sampah dari matamu sebelum masuk ke otakmu," sahut Soran sambil menyeringai lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang tidak terlalu rapi. "Tapi, jangan senang dulu. Coba kau periksa Dantianmu sekarang."

Rian segera memfokuskan kesadarannya ke dalam perut bawahnya dan seketika ia tersentak kaget. Mana di dalam Star Core birunya sedang terkuras dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Hanya dalam beberapa menit mengaktifkan Aethel’s Veil, hampir seperempat dari total cadangan energinya sudah menguap begitu saja ke udara.

"Itulah sisi buruknya," kata Soran dengan nada serius. "Cadar ini melindungimu dengan sempurna, tapi ia adalah teknik yang sangat haus akan energi. Ia mengonsumsi Mana secara konstan dan dalam jumlah besar. Itulah alasan mutlak kenapa kau harus memiliki minimal 4 Star Core di umur delapan belas nanti. Tanpa kapasitas energi yang luas, kau hanya akan bertahan sepuluh menit dalam pertarungan sebelum kau pingsan karena 'kekeringan' Mana. Dan kau tahu apa yang terjadi pada Knight yang kehabisan Mana di tengah medan perang? Mereka hanya menjadi onggokan daging yang menunggu untuk dicincang."

Soran berdiri dan menepuk debu dari celananya, lalu menunjuk ke tengah danau yang airnya mulai bergejolak pelan karena gerakan ikan. "Sekarang, latihan yang sebenarnya dimulai. Kau lihat ikan-ikan Silver-Fin itu? Mereka adalah makhluk paling sensitif di Silvaris. Mereka bergerak secepat kilat dan bisa merasakan getaran mana sekecil apa pun dari jarak jauh. Tugasmu adalah menangkap sepuluh ekor dengan tangan kosong sambil tetap mempertahankan Aethel’s Veil tanpa putus. Jika cadarmu goyah atau pecah sedikit saja karena kau kehilangan fokus, kau akan pingsan lagi di tempat. Dan jujur saja, jika kau pingsan dan tenggelam di tengah danau, aku mungkin terlalu malas untuk berenang menjemputmu."

Rian menelan ludah dengan berat. Ia tahu Soran tidak sedang bercanda. Dengan tekad yang baru tumbuh, ia berjalan menuju tepi danau dan melompat masuk ke dalam air yang dingin. Saat tubuhnya tenggelam, Rian segera mengaktifkan sirkulasi energinya. Di bawah air, dunia terlihat jauh lebih jelas melalui Persepsi Samudra Dalam. Ia bisa melihat struktur arus air, titik-titik tekanan, dan tentu saja, kilatan perak dari ikan-ikan yang bergerak gesit.

Namun, tantangan sebenarnya baru dimulai. Setiap kali Rian mencoba menggerakkan tangannya untuk menangkap ikan, secara insting Mana-nya akan mengalir ke otot tangan untuk memberikan tenaga. Saat Mana itu bergeser dari kepala ke tangan, lapisan 'Cadar' di saraf matanya menipis. Dan setiap kali lapisan itu menipis, rasa sakit yang menusuk kembali menyerang otaknya.

"Jangan bagi fokusmu menjadi dua bagian yang terpisah! Jadikan sirkulasi itu sebagai satu kesatuan yang utuh!" teriak Soran dari tepian danau, suaranya bergema di atas permukaan air.

Rian mencoba lagi dan lagi. Ia gagal berkali-kali. Tangannya seringkali hanya menangkap air kosong sementara ikan-ikan perak itu melesat menjauh dengan kecepatan luar biasa. Rasa frustrasi mulai merayap di hati Rian, dan setiap kali ia kesal, aliran Mana-nya menjadi kacau, membuat Cadar-nya hampir pecah. Soran, seperti biasa, tidak membantu sama sekali dan justru terus memberikan komentar yang menyakitkan telinga.

"Kau bergerak seperti beruang kutub yang sedang mabuk arak, Rian! Ikan-ikan itu bahkan tidak perlu lari, mereka hanya menunggumu tenggelam karena kebodohanmu sendiri! Apa perlu kubawakan jaring supaya kau bisa berhenti mempermalukan dirimu sendiri?"

"Diam... kau... guru... sialan!" teriak Rian saat kepalanya muncul ke permukaan, air danau masuk ke mulutnya membuatnya tersedak.

Soran tertawa terbahak-bahak, tawanya yang konyol memecah suasana tegang di danau itu. "Hahaha! Setidaknya kau masih punya tenaga untuk mengumpat! Itu pertanda bagus!"

Hampir empat jam Rian bergelut di dalam dinginnya air danau. Tubuhnya mulai membiru karena kedinginan, dan cadangan Mana di Star Core-nya sudah berada di titik kritis terakhir. Namun, justru di saat ia berada di ambang batas kemampuannya, Rian akhirnya menemukan sebuah harmoni. Ia berhenti mencoba "menangkap" ikan itu dengan tenaga kasar. Sebaliknya, ia membiarkan tubuhnya bergerak searah dengan struktur arus yang ia lihat. Ia mempertahankan Aethel’s Veil bukan dengan paksaan, melainkan dengan aliran Mana yang sangat tipis, efisien, dan konstan.

Hap!

Satu ekor ikan perak berhasil ia cengkeram tepat di titik rasionya. Rian tidak berhenti untuk merayakan. Dengan fokus yang kini sedalam samudra, ia bergerak menuju target berikutnya. Dua, tiga, hingga ikan kesepuluh berhasil ia kumpulkan di dalam wadah kayu di pinggiran danau.

Saat ia akhirnya merangkak naik kembali ke daratan, Rian langsung ambruk di atas rumput. Ia mematikan tekniknya dan segera merasakan kelelahan yang luar biasa hebat. Seluruh Mana-nya telah habis terkuras hingga tetes terakhir, menyisakan kekosongan yang dingin di dalam Dantiannya.

"Sepuluh ekor dalam empat jam. Tidak buruk untuk seorang amatir yang baru punya satu bintang," ujar Soran sambil melemparkan sebuah handuk kain yang hangat ke wajah Rian. "Kau mulai mengerti sekarang, bukan? Kekuatanmu yang sebenarnya bukan terletak pada seberapa kuat kau bisa memukul, atau seberapa tajam matamu bisa melihat. Kekuatanmu adalah tentang Sinkronisasi. Bagaimana kau menyelaraskan energi fisikmu dengan penglihatanmu tanpa menghancurkan dirimu sendiri."

Malam harinya, di bawah langit Silvaris yang bertabur bintang, mereka duduk di depan api unggun yang hangat. Aroma ikan bakar yang gurih memenuhi udara malam, membuat perut Rian keroncongan. Ia makan dengan sangat lahap, seolah-olah sudah tidak makan selama berbulan-bulan. Di seberangnya, Soran menatap kobaran api dengan pandangan yang dalam, seolah sedang melihat masa lalu yang jauh.

"Soran," panggil Rian setelah ia menandaskan ikan ketiganya.

"Hmm? Mau minta jatah ikanku juga?"

"Kenapa... kau mau bersusah payah mengajariku teknik serumit ini? Kyuden bilang kau berhutang padanya, tapi teknik Aethel’s Veil ini... rasanya terlalu berharga jika hanya untuk membayar sebuah hutang nyawa."

Soran terdiam cukup lama, hanya memutar-mutar botol araknya tanpa meminumnya. "Mungkin karena aku sudah terlalu bosan melihat dunia di luar sana, Rian. Dunia yang dipenuhi oleh orang-orang yang merasa diri mereka paling suci dan hebat hanya karena gelar bangsawan atau jumlah bintang yang mereka dapatkan dari hasil menyuap. Aku ingin melihat sesuatu yang berbeda. Aku ingin melihat apa yang akan terjadi jika seorang anak yang dibuang oleh dunia karena dianggap 'terkutuk', tumbuh besar dengan didikan dari seorang 'legenda' sepertiku."

Soran menatap Rian dengan tatapan yang sangat serius, membuang semua kesan konyolnya. "Ingat pesanku ini baik-baik. Saat kau pergi ke Akademi nanti, jangan pernah—aku ulangi, jangan pernah—menunjukkan teknik Septem-mu tanpa menggunakan Aethel’s Veil. Orang-orang di luar sana jauh lebih rakus dan licik daripada monster paling buas di Silvaris. Jika mereka tahu kau memiliki mata yang bisa membedah struktur dunia, mereka hanya akan melakukan dua hal: mencoba memilikimu sebagai senjata, atau menghancurkanmu agar tidak menjadi ancaman. Cadar ini bukan hanya untuk melindungi otakmu dari kegilaan, tapi untuk menyembunyikan identitasmu dari dunia. Biarkan mereka semua menganggapmu hanya sebagai seorang Knight berbakat biasa yang memiliki Mana safir yang unik."

Rian mengangguk dengan mantap. Ia mengerti sekarang beratnya beban yang ia bawa di matanya. Ia adalah sebuah rahasia besar yang sedang ditempa di dalam kegelapan hutan.

"Aku mengerti... Guru," ujar Rian dengan suara rendah namun penuh rasa hormat.

Soran tiba-tiba tersedak araknya sendiri hingga terbatuk-batuk hebat. "G-Guru? Kau baru saja memanggilku Guru tanpa embel-embel 'bodoh' atau 'pemabuk'? Wah, sepertinya air danau tadi benar-benar sudah merusak saraf kesopananmu! Cepat panggil aku Guru Tampan atau aku akan menyuruhmu tidur di atas pohon malam ini!"

Rian hanya mendengus geli dan kembali fokus pada sisa ikannya, mengabaikan ocehan konyol Soran. Namun, jauh di dalam hatinya, ia merasa sangat bersyukur. Di dunia yang pernah membuangnya ke hutan kematian, ia justru menemukan sebuah tempat yang ia sebut rumah, dan seorang guru yang mengajarinya bahwa kutukan pun bisa diubah menjadi sebuah keagungan jika ditempa dengan cara yang benar.

Bab itu ditutup dengan pemandangan Rian yang mencoba tertidur di dalam gubuk, namun dalam kegelapan, ia terus berusaha mempertahankan aliran Mana yang sangat tipis menuju saraf matanya. Ia ingin teknik Aethel’s Veil itu menyatu dengan pernapasannya, menjadi sebuah insting bawah sadar yang tidak akan pernah goyah. Di kegelapan malam Silvaris, mata biru tuanya bersinar redup sejenak seperti permata di dasar samudra sebelum akhirnya terpejam, bersiap untuk menghadapi ribuan ayunan pedang kayu yang menantinya di esok pagi.

More Chapters