Jika penderitaan adalah sebuah mata uang, maka Rian adalah orang terkaya di seluruh Silvaris Aeterna. Di usianya yang hampir menyentuh delapan belas tahun, pemuda itu kini duduk bersila di atas sebuah batu datar yang terletak tepat di tengah-tengah kawah gunung berapi mati yang dasarnya masih memancarkan hawa panas yang menyengat. Namun, anehnya, di sekitar tubuh Rian, udara justru membeku. Uap dingin berwarna biru tua yang sangat pekat keluar dari pori-pori kulitnya, menciptakan kontras yang mengerikan dengan panas bumi di bawahnya.
Ini bukan lagi sekadar saturasi; ini adalah Over-Limit Saturation. Tiga bintang safir gelap di dalam Dantian Rian berputar dengan frekuensi yang begitu tinggi hingga menciptakan suara dengungan mekanis yang keluar dari perutnya. Setiap detak jantungnya terdengar seperti hantaman palu pada landasan besi. Tekanan internalnya begitu besar sehingga jika Rian kehilangan fokus selama satu detik saja, Mana safir gelap yang padat itu akan meledak dari dalam, mengoyak daging dan tulangnya hingga menjadi debu biru.
"Tahan, Rian. Jangan biarkan dinding itu pecah sebelum waktunya. Jika kau membiarkannya meledak sekarang, kau hanya akan menjadi kembang api yang cantik namun tidak berguna," suara Soran terdengar tenang dari pinggir kawah.
Soran tidak lagi mengejek. Wajahnya serius. Ia tahu bahwa Rian sedang berada di fase transisi yang paling berbahaya bagi seorang ksatria yang memulai pelatihannya terlambat. Jalur mana yang dulunya sempit kini dipaksa menampung volume energi yang setara dengan bendungan yang akan runtuh.
"Sakit... Guru... rasanya seperti ada gempa di dalam tulangku," desis Rian, bibirnya sudah membiru karena suhu Mana-nya sendiri yang terlalu dingin.
"Gunakan Aethel’s Veil. Jangan hanya di matamu. Selimuti Dantianmu dengan cadar itu. Kau harus mencapai Mastery delapan puluh persen sekarang juga, atau kau tidak akan pernah melihat matahari terbit esok hari," perintah Soran.
Rian memejamkan mata, mencoba menyelam ke dalam Samudra Dalam miliknya. Namun, samudra itu kini tidak lagi tenang; ia sedang dilanda badai besar. Untuk mencapai Mastery 80%, Rian harus melakukan sesuatu yang ekstrem: ia harus mengalihkan empat puluh persen beban pemrosesan energinya agar menjadi otomatis. Ia harus membuat "Cadar" itu menjadi lapisan pelindung yang begitu efisien sehingga tidak ada satu tetes pun energi yang terbuang sia-sia untuk melawan rasa sakitnya.
Tiba-tiba, dari langit yang merah di atas kawah, sebuah bayangan besar meluncur turun dengan kecepatan yang menentang gravitasi. Void-Winged Owl. Burung hantu raksasa dengan rentang sayap yang tampak seperti robekan kain hitam di angkasa. Monster ini tidak mengeluarkan suara kepakan sayap, karena ia tidak terbang di udara biasa—ia terbang di antara celah dimensi.
Soran tidak bergerak untuk membantu. "Inilah ujianmu. Burung itu akan memanipulasi ruang di sekitarmu. Jika kau masih menggunakan Mastery tujuh puluh persen, saraf otakmu akan hangus karena mencoba memahami jarak yang terus berubah. Capai delapan puluh persen, atau biarkan burung itu mencungkil jantungmu."
SHRRRIIII—!
Burung hantu itu mengepakkan sayapnya, dan seketika dunia di mata Rian terdistorsi. Jarak antara dia dan monster itu yang tadinya terlihat sepuluh meter, tiba-tiba terasa seperti satu kilometer, lalu sedetik kemudian menyusut menjadi satu jengkal. Ini adalah Dimensional Ripple.
Rian mencoba mengayunkan pedang kayunya, namun ia menebas udara kosong. Distorsi ruang itu mengacaukan penglihatan Septem-nya yang biasanya presisi. Rasa sakit di kepalanya meledak kembali; informasi tentang jarak dan struktur ruang bertabrakan di dalam saraf otaknya.
"Fokus! Jangan lihat dengan matamu, lihat dengan Mana-mu yang sudah diselimuti cadar!" teriak Soran.
Rian menarik napas dalam, mengabaikan rasa panas di perut dan rasa sakit di kepalanya. Ia memaksakan sirkulasi Mana-nya untuk berputar lebih dalam lagi. Ia menarik Cadar Samudra itu, membuatnya lebih padat, lebih dingin, dan lebih luas. Ia membiarkan Mana-nya menyelimuti saraf penglihatannya hingga ke titik di mana ia tidak lagi peduli pada cahaya yang masuk ke mata, melainkan hanya peduli pada struktur Mana yang ada di ruang tersebut.
Di tengah kekacauan dimensi itu, Rian merasakannya. Sebuah klik halus di dalam jiwanya.
Mastery 80% Tercapai.
Seketika, beban berat yang menekan kepalanya berkurang drastis. Pengurangan konsumsi Mana sebesar empat puluh persen memberikan kelegaan luar biasa bagi Star Core-nya yang sedang kritis. Distorsi ruang yang diciptakan oleh burung hantu itu masih ada, namun kini Cadar Rian mampu menyaring informasi palsu tersebut. Ia melihat "kebenaran" di balik riak dimensi. Ia melihat di mana monster itu sebenarnya berada, bukan di mana monster itu ingin terlihat.
Void-Winged Owl itu berhenti sejenak di udara, matanya yang besar memancarkan cahaya ungu gelap saat ia bersiap untuk melakukan sihir distorsi terakhirnya.
"Aku melihatmu," bisik Rian.
Melalui penglihatan Mastery 80%, Rian melihat selaput kristal tipis pada bola mata kiri burung hantu tersebut. Titik rasionya. Titik 7:3 yang paling rapuh di tengah sihir dimensi yang kompleks. Titik itu hanya muncul selama nol koma satu detik saat sang monster memfokuskan energinya.
Rian tidak menggunakan teknik pedang yang rumit. Ia belum mempelajari teknik Soran. Ia hanya menggunakan dasar yang ia asah selama tujuh tahun: Tebasan Lurus.
Ia melompat dari batu datar itu. Gerakannya tidak lagi terhambat oleh beban Mana-nya sendiri. Ia melesat seperti anak panah biru tua yang menembus ruang.
Wush!
Burung hantu itu mencoba menghilang ke dimensi lain, namun pedang kayu hitam Rian lebih cepat. Berkat presisi mutlak dari teknik Septem dan efisiensi Mastery 80%, ujung pedang kayu Rian menghantam tepat pada selaput kristal di mata kiri monster itu.
KRAK!
Suara seperti kaca pecah bergema di seluruh kawah. Seluruh struktur sihir dimensi burung hantu itu runtuh seketika. Tanpa perlindungan dimensinya, tubuh monster itu hancur secara struktural, hancur menjadi serpihan Mana hitam yang segera terbakar oleh hawa panas kawah.
Rian mendarat di sisi lain kawah dengan posisi berlutut. Pedang kayu hitamnya kini benar-benar retak di bagian tengah, nyaris patah karena tekanan yang ia berikan tadi. Ia terengah-engah, keringatnya kini bukan lagi keringat dingin, melainkan keringat panas yang menguap dari tubuhnya.
KRAK—DUM!
Tiba-tiba, sebuah suara retakan besar berasal dari dalam Dantiannya. Rian tersungkur, memegangi perutnya yang kini memancarkan cahaya biru tua yang begitu terang hingga menembus pakaian ksatria hitamnya. Tanah di bawahnya retak, dan hawa dingin yang luar biasa meledak dari tubuhnya, membekukan kawah gunung berapi itu dalam sekejap hingga menjadi kawah es.
"Tenang, Rian. Jangan dilawan. Biarkan ia menetap," Soran sudah berada di depannya, menekan bahu Rian dengan tangannya yang hangat.
"Soran... rasanya... jalanku pecah," rintih Rian.
"Jalurmu tidak pecah, ia sedang menetap di posisi barunya. Mastery delapan puluh persenmu menyelamatkan nyawamu tadi. Jika kau masih di level tujuh puluh, ledakan barusan sudah menghancurkan organ dalammu," Soran menatap perut Rian. Cahaya biru itu perlahan meredup, namun tekanan yang keluar dari tubuh Rian kini terasa lebih berat dan berwibawa.
Rian mencoba berdiri. Ia merasa tubuhnya sangat berbeda. Meskipun ia masih memiliki tiga bintang, ia merasa setiap bintangnya kini memiliki kapasitas yang lebih besar, bersiap untuk menyambut kehadiran saudara mereka yang keempat.
"Kau sudah mencapai batas akhir, Rian," ujar Soran, menatap langit yang mulai gelap. "Latihan Mastery-mu sudah hampir selesai. Tinggal sepuluh persen lagi menuju angka sembilan puluh. Setelah itu... tidak akan ada lagi latihan di tempat aman seperti ini."
Soran menunjuk ke arah bagian paling gelap dari Silvaris Aeterna. "Hanya ada kau, pedangmu, dan Ular Raksasa yang menunggu untuk menelanmu. Jika kau bisa mencapai angka sembilan puluh persen Mastery di sana, barulah kau layak untuk mencoba memecahkan bintang keempat."
Rian menggenggam pedang kayu hitamnya yang retak. Ia menatap ke arah kegelapan yang ditunjuk Soran. Rasa takut itu ada, namun rasa haus akan pembuktian jauh lebih besar. Di usianya yang hampir delapan belas tahun, ia bukan lagi seorang murid yang ragu. Ia adalah seorang ksatria yang menyimpang, yang siap menimbang dunia dengan tangannya sendiri.
"Aku akan mencapainya, Soran. Aku akan mencapai angka seratus persen," janji Rian.
Soran hanya tertawa kecil, tawa yang mengandung rasa bangga sekaligus duka karena ia tahu waktu perpisahan semakin dekat. "Buktikan padaku, Bocah. Buktikan pada dunia bahwa ksatria yang memulai di umur sepuluh tahun bisa membuat sejarahnya sendiri."
Bab ditutup dengan pemandangan kawah gunung berapi yang kini telah menjadi kawah es biru yang abadi. Di tengah-tengahnya, berdiri seorang pemuda dengan mata biru samudra yang sangat dalam, menatap ke arah takdirnya yang paling gelap. Gempa di dalam dirinya belum berhenti, namun kini ia tahu cara untuk menari bersamanya.
