Cherreads

Chapter 12 - BAB 11: MENUJU KEHENINGAN MUTLAK

Dingin yang menyelimuti Puncak Gletser Abadi malam itu bukan lagi sekadar suhu udara yang menusuk tulang, melainkan manifestasi dari maut yang sedang mengintai. Di bawah air terjun es yang membeku—sebuah aliran air raksasa yang tetap cair karena kepadatan mana alam yang ekstrem—seorang pemuda berdiri dengan tubuh yang dipasung oleh rantai-rantai penahan mana yang berat.

Rian, di penghujung usianya yang ketujuh belas, sedang berada di titik nadir kemanusiaannya. Tubuhnya bergetar secara mikroskopis, sebuah getaran frekuensi tinggi yang muncul karena tiga bintang safir gelap di dalam Dantiannya sudah tidak lagi berputar, melainkan bergesekan dengan kecepatan yang gila. Suara dari dalam tubuhnya terdengar memiliki gema ganda; setiap napas yang ia buang menciptakan resonansi mana yang sanggup menggetarkan udara di sekitarnya.

Ini adalah tahap Hyper-Saturation. Jika tahap sebelumnya adalah bendungan yang akan runtuh, maka saat ini Rian adalah inti sebuah bintang yang sedang dalam proses menjadi supernova. Mana safir gelapnya tidak lagi sekadar merembes; ia menusuk keluar dari pori-porinya seperti jarum-jarum es biru yang tak kasat mata, melukai jaringan kulitnya sendiri.

"Jangan mencoba melepaskan diri, Rian. Rantai itu adalah satu-satunya hal yang mencegahmu meledak dan menghancurkan seluruh gunung ini sebelum kau berhasil mencapai bintang keempat," suara Soran terdengar dari balik tirai kabut es.

Soran berdiri di atas bongkahan es, menatap muridnya tanpa ekspresi konyol yang biasanya ia tunjukkan. Ia tahu, satu kesalahan kecil dalam meditasi ini, dan Rian akan mati. "Gunakan air terjun ini sebagai jangkar. Suhu ekstrem ini akan membantu mendinginkan sarafmu, tapi hatimu harus tetap membara. Kau harus mencapai Mastery sembilan puluh persen sekarang juga. Kau harus meniadakan keberadaan mana yang meluap itu. Kompres ia hingga ke titik nol."

Rian tidak mampu menjawab. Lidahnya terasa kaku karena suhu dingin yang luar biasa, namun otaknya terasa seperti sedang direbus di dalam minyak mendidih. Rasa sakitnya begitu menyeluruh hingga ia tidak lagi tahu di mana tubuhnya berakhir dan di mana air terjun dimulai.

"Aethel’s Veil... Sembilan... puluh... persen..." batin Rian, memaksakan setiap tetes kesadarannya untuk masuk ke dalam Samudra Dalam.

Untuk mencapai angka 90% Mastery, Rian harus melakukan sesuatu yang dianggap mustahil oleh para ksatria konvensional: ia harus membuat sirkulasi energinya menjadi begitu "sunyi" hingga alam semesta sendiri menganggapnya tidak ada. Ia harus membuat Cadar Samudra-nya bukan lagi sekadar pelindung saraf mata, melainkan selaput tipis yang membungkus setiap jalur mana, setiap otot, dan setiap tetes darah di tubuhnya.

Di tengah perjuangan hidup dan mati itu, sebuah ancaman muncul dari kegelapan kabut. Sosok roh hutan yang mengerikan, Silent-Scream Banshee, melayang mendekat. Makhluk ini tidak memiliki wajah, hanya gumpalan uap mana putih yang terus berubah bentuk, memancarkan aura kesedihan yang sanggup melumpuhkan mental.

Banshee itu tidak menyerang dengan cakarnya. Ia mulai mengeluarkan benang-benang energi transparan yang menyusup ke dalam tirai air terjun, mencari celah di antara rantai penahan mana Rian. Benang-benang itu adalah racun energi; mereka mencari mana lawan yang tidak stabil untuk memicu Internal Mana Combustion—sebuah ledakan energi dari dalam diri target.

"Dia sudah datang," gumam Soran, tangannya sudah menggenggam gagang pedang, bersiap melakukan intervensi jika Rian gagal. "Jika kau tidak bisa mencapai keheningan mutlak sekarang, banshee itu akan memicu ledakan di Dantianmu. Jadilah sunyi, Rian. Jadilah hampa."

Rian merasakan benang-benang energi itu mulai menyentuh kulitnya. Rasanya seperti ribuan ulat bulu yang terbuat dari api sedang merayap di atas tubuhnya yang membeku. Benang itu mencoba masuk ke pori-porinya, mencari letupan mana liar yang bocor dari 3 Star Core-nya.

Seketika, Rian melepaskan segala ketegangan mentalnya. Ia berhenti melawan air terjun, ia berhenti melawan rasa sakit, dan ia berhenti melawan rantai-rantainya. Ia membiarkan kesadarannya tenggelam sepenuhnya ke dasar terdalam samudra pikirannya, ke tempat di mana cahaya pun tidak sanggup menjangkau.

Klik.

Sebuah keheningan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya menyelimuti dunianya. Suara gemuruh air terjun raksasa itu menghilang. Rasa sakit yang menyiksa itu mendadak terasa jauh, seolah-olah milik orang lain. Cadar Samudra-nya kini telah mencapai tingkat penyempurnaan yang hampir total.

Mastery 90% Tercapai.

Konsumsi mana untuk mempertahankan teknik matanya menurun drastis hingga hampir setengahnya (45%). Penghematan ini memberikan ruang bagi Rian untuk melakukan kontrol mikro pada energinya. Mana safir gelap yang tadinya meluap liar, kini secara instan terkompresi kembali ke dalam tubuhnya, tersembunyi di balik lapisan cadar yang sangat tipis namun tak tertembus.

Benang-benang energi milik Silent-Scream Banshee itu tiba-tiba kehilangan targetnya. Bagi sang monster, Rian yang tadinya adalah sumber energi raksasa yang menggiurkan, kini mendadak berubah menjadi sebuah batu es yang mati. Banshee itu berputar-putar dengan bingung, suaranya yang sunyi menciptakan riak pada air terjun.

Rian membuka matanya. Warna biru samudra di matanya kini begitu pekat, nyaris hitam, namun sangat jernih. Melalui penglihatan Septem yang didukung Mastery 90%, ia melihat segalanya dalam keheningan mutlak. Ia melihat gumpalan uap banshee itu bukan sebagai kabut, melainkan sebagai aliran mana yang terpusat pada satu titik kecil yang terus berpindah: Inti Kristal.

Rian menggerakkan otot bahunya sedikit. Dengan efisiensi Mastery 90%, satu hentakan kecil itu menghasilkan kekuatan yang luar biasa presisi.

PRANG!

Rantai-rantai penahan mana yang mengikatnya hancur berkeping-keping. Bukan karena tenaga besar, tapi karena Rian mengalirkan getaran mana pada titik-titik lemah rantai tersebut.

Rian melangkah keluar dari bawah air terjun. Langkah kakinya di atas es tidak menimbulkan suara. Ia tidak menjentikkan jarinya atau menggunakan sihir jarak jauh. Ia adalah seorang ksatria, dan ksatria membunuh dengan sentuhan.

Banshee itu menyadari mangsanya lepas dan mencoba melarikan diri kembali ke dalam kabut. Namun, Rian sudah bergerak. Kecepatannya kini bukan lagi sekadar lari; ia meluncur di atas es dengan gerakan yang begitu halus hingga ia terlihat seperti bayangan yang berpindah tempat.

Dalam satu tarikan napas, Rian sudah berada di dalam radius serangan sang monster. Banshee itu mencoba mengeluarkan jeritan hampa untuk menghancurkan mental Rian, namun Cadar Samudra di level 90% memblokir semua gangguan eksternal tersebut.

Rian mengangkat tangan kanannya. Ia tidak memegang pedang kayu hitamnya yang sedang diperbaiki oleh Soran. Ia hanya menggunakan pinggiran telapak tangannya yang kini dilapisi oleh selapis tipis mana safir gelap yang setajam silet.

Ia menusukkan tangannya menembus uap banshee yang dingin itu.

SHRIII—

Tangan Rian berhenti tepat di tengah gumpalan uap tersebut. Jarinya menyentuh sesuatu yang keras dan dingin: Inti Kristal sang banshee. Rian tidak meremasnya dengan tenaga. Ia hanya menekan titik rasio 7:3 pada permukaan kristal itu menggunakan ujung jari tengahnya.

Kontak fisik langsung. Presisi absolut.

KRAK.

Kristal itu pecah menjadi debu halus. Tanpa inti energinya, tubuh uap Silent-Scream Banshee itu menguap seketika, tertiup oleh angin dingin gletser tanpa sempat mengeluarkan suara sedikit pun. Keheningan kembali menyelimuti air terjun tersebut.

Rian berdiri mematung di atas es. Napasnya kini keluar dengan teratur, membentuk uap putih di udara malam. Tidak ada lagi energi biru yang bocor dari tubuhnya. Ia terlihat seperti manusia biasa, namun siapa pun yang melihat matanya akan tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada monster manapun di hutan ini.

Soran melompat turun dari bongkahan es, mendarat di hadapan Rian. Ia menatap muridnya cukup lama, mencari-cari tanda kelemahan, namun ia tidak menemukannya.

"Bersih. Tanpa suara. Tanpa drama," puji Soran dengan suara rendah. "Itulah level sembilan puluh persen. Kau tidak lagi bertarung melawan dunia, kau hanya menghapus apa yang perlu dihapus."

Soran meletakkan tangannya di atas Dantian Rian. Ia bisa merasakan tiga bintang di sana yang kini sudah sangat tenang, namun tekanannya begitu berat hingga tangan Soran sendiri sedikit bergetar. "Tekanannya sudah mencapai batas akhir. Besok adalah hari ulang tahunmu yang kedelapan belas, Rian. Hari di mana kau harus membuktikan apakah kau layak menjadi ksatria atau hanya sekadar sampah berbakat."

Soran memberikan sebuah jubah hitam tebal kepada Rian. "Pakailah. Kita kembali ke gubuk sekarang. Perjalanan ke tempat duel besok membutuhkan ketenangan. Gunakan waktu ini untuk memantapkan Mastery sembilan puluh persenmu. Jangan biarkan satu pun serangga di hutan ini menyadari keberadaanmu."

Rian menerima jubah itu dan menyampirkannya di bahu. Ia merasa tubuhnya sangat ringan, seolah gravitasi tidak lagi memiliki kuasa penuh atas dirinya. Dengan penghematan mana 45%, ia merasa seolah-olah cadangan energinya menjadi tidak terbatas selama ia tidak melakukan gerakan yang ceroboh.

"Aku siap untuk duel besok," ujar Rian pendek.

"Belum," sahut Soran sambil menyeringai. "Kau belum siap sampai kau berhasil membelah udara di depanku tanpa membuat arakku tumpah. Tapi untuk sekarang... kau sudah cukup tajam untuk mulai mengukir akhir dari masa latihanmu."

Bab ditutup dengan pemandangan dua sosok yang berjalan menembus kabut es Puncak Gletser Abadi menuju arah gubuk mereka. Satu sosok besar dengan langkah yang berat dan santai, dan satu sosok pemuda yang berjalan tanpa meninggalkan jejak di atas salju, seolah-olah ia adalah hantu yang baru saja bangkit dari kedalaman samudra.

Di dalam Dantian Rian, tiga bintang safir gelap itu berdenyut sekali, sangat kuat, seolah-olah sedang memberikan sinyal kepada dunia bahwa sang Penimbang telah tiba di gerbang kekuatannya yang sesungguhnya.

More Chapters