Cherreads

Chapter 13 - BAB 12: KETENANGAN SEBELUM BADAI

Langkah kaki Rian tidak lagi menimbulkan suara di atas permukaan tanah hutan Silvaris Aeterna yang dipenuhi daun kering yang rapuh. Jika tujuh tahun lalu ia masuk ke dalam labirin hijau ini sebagai bocah liar yang tersesat, penuh ketakutan, dan berisik, kini ia berjalan seperti hantu yang telah menjadi bagian integral dari pepohonan purba itu sendiri. Di sampingnya, Soran berjalan dengan langkah yang jauh lebih berat, setiap injakan kakinya seolah menekankan dominasinya atas tanah ini. Sesekali, pria tua itu meneguk arak dari botol kulitnya yang sudah mulai mengempis, tanda isinya hampir habis. Mereka sedang dalam perjalanan kembali ke gubuk tua tempat segalanya bermula, meninggalkan Puncak Gletser Abadi yang baru saja menjadi saksi bisu pencapaian Mastery 90% milik Rian yang menyakitkan.

Matahari mulai terbenam di ufuk barat, memancarkan warna jingga kemerahan yang pekat, seolah-olah langit sedang berdarah menyaksikan berakhirnya sebuah era. Bagi Rian, pemandangan itu terasa sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Melalui Aethel’s Veil yang kini bekerja dengan tingkat efisiensi yang mengerikan, ia tidak hanya melihat gradasi warna; ia melihat partikel cahaya yang bergetar di udara, ia melihat aliran panas yang naik dari tanah, dan ia merasakan denyut nadi hutan yang sedang bersiap untuk tidur. Ia tidak lagi merasakan kelelahan fisik yang berarti meski baru saja melewati sesi latihan neraka di gunung es. Penghematan mana sebesar 45% dari Mastery 90% miliknya membuat tubuhnya terasa seringan kapas, namun di dalam Dantiannya, tiga bintang safir gelap itu terasa seberat gunung yang siap runtuh menimpa jiwanya.

"Kita sampai juga akhirnya," gerutu Soran saat gubuk reot mereka mulai terlihat di antara rimbunnya semak berduri dan pohon-pohon tua yang melengkung.

Gubuk itu sama sekali tidak berubah. Masih miring ke satu sisi dengan fondasi kayu yang tampak rapuh, serta atap rumbia yang kini sudah hampir tertutup sepenuhnya oleh lumut hijau dan sarang laba-laba. Namun, bagi Rian, tempat ini adalah benteng terakhirnya sebelum ia dilemparkan ke dunia luar yang kejam. Di sinilah ia akan menghabiskan malam terakhirnya sebagai seorang remaja berusia tujuh belas tahun. Besok, saat matahari mencapai titik tertinggi di langit, ia akan genap berusia delapan belas tahun—usia yang dalam tradisi ksatria manapun dianggap sebagai gerbang menuju kedewasaan. Namun bagi Rian, itu adalah hari di mana Soran menjanjikan sebuah ujian kelulusan yang hanya memiliki dua hasil: menjadi seorang ksatria sejati atau menjadi mayat di tanah kelahirannya sendiri.

Malam itu, secara mengejutkan, tidak ada instruksi untuk latihan pedang. Tidak ada teriakan kasar Soran yang menyuruhnya melakukan ribuan ayunan hingga tangannya mati rasa. Suasana justru sangat tenang, sebuah ketenangan yang terasa sangat asing dan hampir mencekam bagi seseorang yang selama delapan tahun hanya mengenal kekerasan dan rasa sakit. Rian duduk di tepi teras kayu yang berderit, tangannya sibuk menggosokkan batu asah pada pedang kayu hitam pemberian gurunya. Pedang itu kini dipenuhi oleh retakan-retakan halus yang menjalar seperti pembuluh darah. Retakan-retakan itu adalah bukti bisu bahwa senjata tersebut tidak lagi sanggup menahan kepadatan mana safir gelap yang dihasilkan oleh saturasi tiga bintang Rian yang telah mencapai batas puncak.

Soran keluar dari dalam gubuk yang gelap, membawa sebuah panci besi berisi daging buruan yang aromanya memenuhi udara malam yang dingin. Ia duduk di samping Rian tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk waktu yang lama, hanya menatap api unggun kecil yang mereka nyalakan di depan teras. Cahaya api itu memantul di mata Soran yang keruh, memberikan kesan bahwa pria pemabuk ini menyimpan ribuan rahasia yang tidak akan pernah ia bagikan.

"Kau tahu, Rian," suara Soran akhirnya memecah keheningan malam, terdengar lebih rendah dan berat dari biasanya, tanpa nada ejekan atau sarkasme yang biasanya menjadi ciri khasnya. "Dunia di luar hutan Silvaris ini adalah tempat yang menjijikkan dan penuh dengan kemunafikan. Ksatria di sana bangga dengan jumlah bintang yang berputar di perut mereka. Mereka memamerkan cahaya mana mereka seolah-olah itu adalah medali suci. Mereka berpikir semakin banyak bintang, semakin dekat mereka dengan kekuasaan tuhan. Mereka lupa bahwa pada akhirnya, satu tebasan yang jujur dan tulus jauh lebih berharga daripada sepuluh bintang yang isinya hanya kekosongan tanpa teknik."

Rian berhenti mengasah pedangnya. Gerakan tangannya yang ritmis terhenti, dan ia menoleh menatap gurunya melalui sudut matanya yang tajam. "Mengapa kau memberitahuku ini sekarang, Guru? Kau biasanya hanya peduli pada arakmu dan menghinaku sebagai bocah hutan yang bodoh."

"Karena besok, kau mungkin tidak akan memiliki kesempatan lagi untuk mendengarnya dariku," jawab Soran datar, matanya tetap terpaku pada api unggun. "Ujian besok bukan sekadar latihan untuk melihat sejauh mana kemampuanmu. Aku tidak akan membatasi gerakanku atau menahan auraku hanya untuk membuatmu merasa hebat. Aku akan menyerangmu sebagai seorang ksatria bintang sebelas yang sesungguhnya. Jika kau tidak sanggup mencapai Mastery seratus persen di tengah kepungan maut pertarungan itu, pedangku akan membelahmu menjadi dua bahkan sebelum kau menyadari bahwa kau sudah mati."

Rian merasakan sedikit getaran di ujung jarinya yang memegang pedang kayu. Itu bukan getaran ketakutan, melainkan sebuah antisipasi liar yang membakar dari dalam. "Aku tidak akan mati di sini, Guru. Aku sudah menunggu hari ini selama delapan tahun penuh penderitaan. Jika aku harus mati, aku sudah mati sejak hari pertama kau membuangku ke danau itu."

Soran terkekeh pelan, namun tawa itu terdengar sangat getir di telinga Rian. "Semua orang merasa begitu sebelum mereka melihat maut menjentikkan jarinya tepat di depan hidung mereka. Malam ini, jangan lakukan meditasi mana yang berat. Tidurlah. Biarkan tubuhmu mengingat kembali bagaimana rasanya menjadi manusia biasa yang bernapas dengan tenang sebelum kau dipaksa berubah menjadi monster besok."

Rian mengikuti saran itu, meskipun pikirannya sangat sulit untuk ditenangkan. Ia berbaring di atas dipan kayunya yang keras di dalam gubuk. Suasana di dalam sana sangat gelap, hanya menyisakan aroma kayu tua dan asap api unggun yang merembes melalui celah dinding. Di dalam kegelapan itu, indra pendengaran Rian yang tajam bisa mendengar suara napas Soran yang teratur di dipan seberang, serta detak jantungnya sendiri yang berdegup lambat namun bertenaga, seperti genderang perang yang sedang disiapkan.

Ia membiarkan ingatannya melayang kembali ke hari pertama ia menginjakkan kaki di gubuk ini. Ia ingat betapa kecil tangannya saat pertama kali memegang pedang kayu hitam ini, bagaimana seluruh ototnya kaku dan gemetar hanya untuk menahan posisi kuda-kuda selama satu jam. Ia mengingat setiap memar, setiap luka robek, dan setiap tetes darah yang pernah ia tumpahkan di tanah Silvaris. Kini, pedang kayu yang retak itu terasa seperti bagian dari lengannya sendiri, sebuah perpanjangan dari jiwanya yang telah ditempa oleh kekerasan alam dan didikan seorang legenda yang menyimpang.

Ia mulai merenungkan tentang Deviant Strike, teknik yang sering disebutkan Soran sebagai puncak dari arsip pedangnya namun belum pernah ia ajarkan secara resmi kepada Rian. Rian mencoba membayangkan bagaimana rasanya mengumpulkan seluruh beban massa, energi, dan niat dari empat bintang—yang ia harap akan lahir besok—ke dalam satu titik serang yang sempit. Bayangan tentang kekuatan yang dikalikan sesuai jumlah core itu membuatnya merinding. Itu adalah teknik yang sangat brutal, sangat efisien, dan sangat menyimpang dari segala aturan ksatria ortodoks. Dan itu adalah satu-satunya cara baginya untuk bisa bersaing dengan para jenius di luar sana.

Tengah malam, Rian terbangun secara mendadak. Bukan karena suara, melainkan karena Dantiannya berdenyut dengan getaran yang sangat kuat namun sangat halus. Setiap denyutan itu mengirimkan gelombang tekanan yang membuat udara di dalam gubuk terasa menjadi padat dan sulit untuk dihirup. Tidak ada lagi gejolak Mana yang liar atau meluap secara sembarangan; berkat Mastery 90% yang ia capai di gletser, semuanya terkunci rapat di dalam jaringan saraf dan ototnya. Namun, tekanan internal itu kini sudah berada di ambang batas ketahanan fisik manusia. Rasanya seperti mencoba menahan ledakan gunung berapi yang maha dahsyat di dalam sebuah botol kaca tipis yang sudah retak.

Ia bangkit dari dipannya dengan pelan agar tidak membangunkan Soran, lalu berjalan keluar gubuk menuju tepi danau Silvaris. Air danau malam itu sangat tenang, permukaannya seperti cermin hitam yang memantulkan rasi bintang di langit dengan sempurna. Di sana, Rian berdiri diam selama berjam-jam, seperti sebuah patung yang menyatu dengan kegelapan. Ia melakukan sebuah eksperimen kecil untuk menguji sejauh mana kontrol efisiensinya. Ia mengangkat tangannya dan mencoba menyentuh permukaan air danau. Dengan Mastery 90%, ia mengatur agar keberadaan mananya benar-benar nol, meniadakan semua getaran energi dari tubuhnya. Saat ujung jarinya menyentuh air, tidak ada riak sedikit pun yang muncul. Ia telah menjadi satu dengan keheningan alam.

"Ketenangan yang sempurna sebelum kehancuran," bisik Rian pada dirinya sendiri, suaranya hilang ditelan angin malam.

Namun, ia sangat sadar bahwa ketenangan ini hanyalah sebuah topeng tipis. Di balik permukaan yang tenang ini, ada badai yang sedang bersiap untuk menghancurkan segalanya. Besok, ia tidak boleh hanya menjadi tenang. Ia harus menjadi tajam, lebih tajam dari pedang mana pun. Ia harus melampaui batas yang ditetapkan oleh hukum alam bagi ksatria seusianya.

Fajar mulai menyingsing di ufuk timur, membelah kegelapan malam dengan cahaya biru keputihan yang dingin. Cahaya itu mulai menembus kanopi hutan yang lebat, menciptakan garis-garis cahaya yang indah di lantai hutan. Rian kembali ke depan gubuk dan menemukan Soran sudah berdiri tegak di tengah lapangan kecil tempat mereka biasa berlatih selama bertahun-tahun. Soran tidak lagi memakai pakaian tidurnya yang kumal dan berbau arak; pagi ini ia memakai zirah kulit hitam yang sudah tua namun tampak sangat terawat, dan di pinggangnya tergantung sebuah pedang asli dengan gagang perak yang sangat jarang ia cabut.

Atmosfer di sekitar gubuk itu berubah total secara instan. Burung-burung yang biasanya berkicau menyambut pagi mendadak terdiam. Hewan-hewan kecil di sekitar lapangan berlarian menjauh seolah-olah insting mereka memberitahu bahwa dua predator puncak akan segera saling beradu nyawa di tempat ini. Tekanan udara di sekitar mereka berdua terasa berat, seolah-olah gravitasi sedang ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat.

"Selamat ulang tahun, Rian," ujar Soran tanpa menoleh ke belakang, suaranya terdengar sangat jernih dan berwibawa, jauh dari kesan pria mabuk yang selama ini Rian kenal. "Hari ini kau genap berumur delapan belas tahun. Dan hari ini juga, masa muridmu yang melelahkan ini akan berakhir secara resmi. Ambil pedang kayumu. Kita akan pergi ke area terbuka di sebelah barat danau. Di sana tidak akan ada pohon untuk bersembunyi, dan tidak akan ada tempat untuk melarikan diri."

Rian mengambil pedang kayu hitamnya dari teras. Ia merasakan retakan pada permukaan kayu itu sedikit melebar dan mengeluarkan suara "krak" halus saat ia mulai mengalirkan mana safir gelapnya ke dalam bilahnya. Ia tahu, ini adalah tugas terakhir yang akan dijalani oleh pedang kayu ini sebelum ia hancur berkeping-keping.

"Ingat aturan ujian ini, Bocah," Soran mulai berjalan mendahului dengan langkah yang sangat tegap, setiap langkahnya meninggalkan bekas tekanan di tanah. "Kau hanya akan dianggap lulus dan diizinkan meninggalkan hutan ini jika kau bisa mendaratkan setidaknya satu serangan yang membuatku benar-benar kesulitan. Dan untuk melakukan itu, kau harus menembus dinding Core keempatmu tepat di tengah-tengah duel ini. Jika kau gagal memecahkan bintang keempat itu sebelum staminamu habis, kau akan mati karena saturasi energinu sendiri akan membakar organ dalammu sebelum pedangku sempat memenggal kepalamu."

Rian mengangguk dengan mantap, matanya yang berwarna biru samudra menatap punggung gurunya dengan fokus yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam hidupnya. Mastery 90% miliknya kini bekerja secara otomatis sebagai insting bawah sadar, memproses setiap pergerakan terkecil dari otot-otot Soran, mencari celah struktural yang bahkan mungkin belum tercipta.

"Aku mengerti sepenuhnya, Guru," sahut Rian dengan nada yang sangat tegas, tanpa ada keraguan sedikit pun.

Mereka berdua berjalan menembus kabut pagi menuju sebuah padang rumput luas yang dikelilingi oleh pepohonan raksasa yang sudah mati dan kering. Tempat itu terasa sangat sunyi, seolah-olah waktu sendiri enggan untuk berputar di sana. Soran berhenti tepat di tengah-tengah lapangan dan berbalik menghadap Rian. Ia mencabut pedangnya perlahan-lahan, dan suara logam yang bergesekan dengan sarungnya terdengar seperti jeritan maut yang membelah keheningan pagi Silvaris.

"Datanglah padaku dengan niat membunuh yang murni, Rian," tantang Soran, sambil melepaskan aura ksatria bintang sebelasnya secara perlahan. Tekanan auranya membuat rumput-rumput di sekitarnya rata dengan tanah seolah-olah tertindih oleh beban ribuan kilogram. "Jangan sampai kau membuatku kecewa setelah delapan tahun aku menyia-nyiakan waktu dan arakku hanya untuk mengajarimu cara memegang kayu ini."

Rian memasang kuda-kuda rendah, posisi yang dirancang untuk ledakan kecepatan. Ia menarik napas dalam-dalam menggunakan teknik pernapasan rahasianya, membiarkan Aethel’s Veil menyelimuti seluruh eksistensinya hingga ia seolah-olah menghilang dari persepsi mata biasa. Di dalam perutnya, tiga bintang safir gelap itu berdenyut dengan gila, seolah-olah mereka sudah tidak sabar lagi untuk meledak dan melahirkan saudara keempat mereka melalui pertumpahan darah ini.

Bab ini ditutup dengan bayangan Rian yang meluncur maju dengan kecepatan yang membelah udara, meninggalkan jejak tanah yang retak dan debu yang beterbangan di belakangnya. Duel kelulusan hidup dan mati, kelahiran Core 4 yang dinanti, dan pencapaian Mastery 100% kini sudah berada tepat di depan mata. Ketenangan itu telah benar-benar berakhir, digantikan oleh dentuman pertama dari badai besar yang akan mengubah takdir sang Outsider Knight selamanya di benua ini.

More Chapters