Cherreads

Chapter 5 - Chapter 4 – Lorong Tersembunyi

Langkah Auren terasa berat di tanah Drexan.

Tidak ada suara sapaan otomatis. Tidak ada lantai bersih yang mengilap. Hanya jalan berbatu, sempit, dengan rumah-rumah logam yang tampak berdiri karena sisa tekad, bukan desain.

Orang-orang di sini tidak menatapnya seperti warga Marevia. Tatapan mereka menusuk, liar, dan nyata. Seolah bisa menembus lapisan tipis yang selama ini membungkus pikirannya.

"Kenapa mereka tidak menyerangku?" bisik Auren pada Kalea.

"Mereka tahu kamu bukan dari sini. Tapi kamu juga belum dianggap musuh. Bagi mereka… kamu cuma anak kebingungan. Belum memilih sisi."

Auren mengangguk, walau hatinya menolak. Ia tidak sedang memilih sisi—ia hanya mencoba memahami dunia yang selama ini disembunyikan darinya.

Di ujung lorong, mereka memasuki sebuah ruangan bawah tanah. Lampu minyak menggantung di langit-langit, berayun pelan. Di tengah ruangan, terdapat dinding penuh foto—potret hitam putih, lusuh, dengan nama-nama di bawahnya. Beberapa coret. Beberapa dilingkari. Semua tampak sedih.

"Apa ini?" tanya Auren.

"Orang-orang yang dihapus," jawab Kalea pelan. "Orang-orang yang terlalu merasakan. Yang marah. Yang jatuh cinta terlalu dalam. Yang tidak bisa 'dinetralkan'. Sistem menyebut mereka gagal. Kami menyebut mereka… hidup."

Auren menatap salah satu foto. Seorang wanita muda, tersenyum tanpa manipulasi. Matanya tidak jernih seperti di Marevia—justru lelah, tapi jujur. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang menekan dadanya. Ia tidak tahu siapa wanita itu, tapi…

"Itu ibuku," kata Kalea tiba-tiba, suaranya nyaris hilang. "Dia berjuang agar aku tumbuh tanpa disensor. Tapi dia diburu. Dianggap virus. Aku selamat karena dia menyerahkan dirinya."

Auren menoleh padanya. Untuk pertama kalinya, wajah keras Kalea retak sedikit. Ia melihat luka yang selama ini tersembunyi di balik ketegaran.

"Aku… aku tidak tahu harus bilang apa," ujar Auren.

"Tak perlu bilang apa-apa," sahut Kalea. "Cukup dengar. Rasakan. Itu hal yang dunia kamu sudah lama lupa."

Mereka terdiam. Tak ada musik latar. Tak ada suara pemrosesan emosi. Hanya keheningan dua manusia yang mulai memahami satu sama lain—bukan lewat kata, tapi lewat keretakan yang mereka bawa.

Dan untuk pertama kalinya sejak lahir, Auren merasakan… perih. Perasaan itu tidak nyaman. Tapi juga tidak ingin dia hilangkan.

More Chapters