Cherreads

Chapter 10 - Chapter 9 – Kota Tanpa Matahari  

Kota ini tidak punya nama.

Tidak ada peta yang memuatnya, tidak ada penduduk yang menyebutnya. Bagi Drexan, tempat ini hanyalah bayang-bayang dari dunia yang terlalu takut mengakuinya: Kota Tanpa Matahari.

Auren dan Kalea sampai di sana dua hari setelah pelarian mereka. Lewat jalur-jalur air yang tak terpakai, lorong pembuangan, dan terowongan yang hampir runtuh. Tidak ada cahaya alami. Tidak ada langit. Hanya kegelapan yang remang dan udara yang lembab seperti luka yang tak pernah sembuh.

"Apa… orang tinggal di sini?" tanya Auren, matanya mencoba menyesuaikan dengan gelap.

Kalea mengangguk. "Yang paling dicari, paling berbahaya menurut sistem. Yang tidak bisa 'dinetralisasi'."

Di antara reruntuhan logam, mereka menemukan tenda-tenda kain plastik dan wajah-wajah yang menatap tanpa kata. Mereka bukan orang tua. Mereka muda. Beberapa bahkan seumuran Auren. Tapi mata mereka membawa beban berabad-abad.

"Apa mereka semua…" Auren ragu menyelesaikan kalimatnya.

"…pernah merasa terlalu banyak?" Kalea melanjutkan. "Ya."

Di salah satu sudut kota, mereka menetap sementara. Kalea memeriksa peralatan komunikasi yang rusak berat—satu-satunya cara untuk menghubungi Drexan. Auren duduk, punggungnya bersandar pada tembok beton, pikirannya berat.

"Apa menurutmu… semua ini sia-sia?" bisiknya.

Kalea tidak langsung menjawab. Ia terus memperbaiki panel kabel yang melilit seperti sarang laba-laba. Tapi nadanya lirih saat berkata, "Aku tidak tahu. Tapi aku tahu apa yang lebih sia-sia—hidup tanpa pernah tahu apa yang kau rasakan itu nyata atau hasil desain."

Auren memejamkan mata. Ia merindukan langit biru Marevia, tapi kini ia tahu itu bukan langit—itu ilusi. Tapi dunia di sini… penuh kesakitan, kehampaan, dan kehilangan. Dan untuk pertama kalinya, ia bingung memilih mana yang lebih layak disebut "hidup".

Kalea duduk di sampingnya. Mereka diam lama, sampai akhirnya Auren bertanya:

"Kalau kau bisa kembali ke masa sebelum semua ini… kau ingin dilahirkan di Marevia?"

Kalea menoleh. "Mungkin. Tapi aku lebih ingin dilahirkan di dunia di mana aku bisa memilih untuk merasa. Tanpa sistem yang bilang apa yang pantas dan apa yang tidak."

Hening mengambang lagi. Tapi kali ini, bukan hening yang menyakitkan.

Auren meraih tangan Kalea—tak untuk romantisme, tapi untuk kepastian. Dan Kalea tidak menolak.

Dari kegelapan, terdengar suara samar perangkat menyala.

Panel komunikasi menyala sebentar, lalu mati lagi. Tapi cukup untuk memunculkan satu pesan:

"Sinyal tembus ke pusat. Siap kirim kode."

Kalea menoleh padanya. "Ini momen yang tidak bisa kita tarik kembali."

Auren mengangguk.

Dunia mereka tidak lagi utuh. Tapi untuk pertama kalinya, mereka siap meretakkannya lebih jauh.

 

More Chapters