Cahaya matahari pagi yang menembus celah-celah gubuk tua itu terasa lebih hangat dari biasanya, namun bagi Rian, kehangatan itu disertai dengan denyutan kuat yang berasal dari pusat tubuhnya. Pemuda itu membuka matanya perlahan, merasakan sensasi baru yang mengalir di dalam pembuluh darahnya. Tidak ada lagi rasa sesak yang menyiksa atau panas yang membara seperti saat ia masih berada di tahap tiga bintang. Kini, di dalam Dantiannya, empat bintang safir gelap berputar dengan ritme yang sangat sinkron dan tenang. Mastery 100% yang baru saja ia capai bertindak seperti konduktor yang sempurna, memastikan setiap tetes mana mengalir ke tempat yang seharusnya tanpa ada satu pun yang terbuang sia-sia.
Rian mencoba duduk, dan seketika ia menyadari bahwa persepsinya terhadap dunia telah berubah secara permanen. Ia tidak perlu lagi memfokuskan pikirannya untuk mengaktifkan Aethel’s Veil. Teknik itu kini telah menyatu dengan eksistensinya. Ia bisa melihat debu yang menari di udara, serat-serat kayu pada dinding gubuk, hingga aliran udara yang masuk melalui ventilasi, semuanya terlihat dengan detail yang luar biasa jernih. Dunia tidak lagi terasa seperti kumpulan objek padat, melainkan susunan struktur energi yang memiliki titik lemah di setiap sudutnya.
"Kau sudah bangun, monster kecil?"
Suara itu terdengar berat dan datar dari arah pintu. Soran berdiri di sana, menyandarkan tubuhnya pada bingkai pintu yang tampak rapuh. Ia tidak memegang botol arak seperti biasanya. Wajahnya terlihat lebih tirus, dan ada perban putih yang melilit perutnya—bekas luka yang diberikan Rian dalam duel kemarin. Tidak ada lagi tawa keras atau ejekan konyol yang biasanya keluar dari mulutnya. Soran menatap Rian dengan tatapan seorang ksatria yang sedang memandang senjatanya yang paling mematikan.
"Bagaimana rasanya memiliki empat bintang?" tanya Soran sambil melangkah masuk, suaranya bergema di dalam gubuk yang sunyi.
Rian mengepalkan tangannya. Ia merasakan kekuatan yang jauh lebih padat. "Ringan... namun sangat berisi. Aku merasa seolah-olah bisa menghancurkan apa saja hanya dengan satu sentuhan."
Soran mendengus pelan, sebuah senyuman tipis yang hampir tidak terlihat muncul di wajahnya yang kasar. "Itu adalah ilusi kekuatan yang sering menipu para ksatria muda. Kau memang kuat, Rian. Dengan empat core dan mastery penuh, kau sudah melampaui standar ksatria di luar sana. Tapi kekuatan tanpa teknik hanyalah ledakan yang sia-sia. Dasar pelatihanku sudah selesai. Sekarang, aku akan mulai mewariskan apa yang sebenarnya membuat nama Soran ditakuti di seluruh benua ini."
Soran melemparkan sebuah pedang kayu baru ke arah Rian. Rian menangkapnya dengan sigap. Pedang ini berbeda; warnanya jauh lebih gelap, hampir hitam legam, dan beratnya tiga kali lipat dari pedang kayu sebelumnya. Kayu ini berasal dari pohon Iron-Bark, tanaman langka di Silvaris yang memiliki kepadatan serat menyerupai logam baja.
"Ikut aku ke Lembah Reruntuhan. Kita tidak punya banyak waktu," ujar Soran dingin sebelum berbalik pergi.
Mereka berjalan menembus hutan menuju sebuah area yang jarang dikunjungi oleh makhluk hidup. Lembah Reruntuhan adalah sebuah tebing raksasa yang dipenuhi oleh pilar-pilar batu granit yang menjulang tinggi. Batu-batu di sini telah terpapar mana alam selama ribuan tahun, membuatnya menjadi materi yang sangat keras, bahkan sulit untuk dihancurkan oleh sihir tingkat menengah.
Soran berhenti di depan sebuah pilar batu yang diameternya mencapai dua meter. Ia berbalik dan menatap Rian dengan mata yang tajam. "Dunia luar sangat memuja jumlah Star Core. Mereka pikir sebelas bintang berarti sebelas kali lebih kuat dari satu bintang secara linier. Mereka salah. Di tanganku, Star Core adalah pengali, bukan sekadar tambahan."
Soran menarik pedang meteoritnya perlahan. Atmosfer di lembah itu seketika menjadi berat. "Teknik pertama dari Soran Archive: Swordmanship. Teknik yang paling dasar, namun menjadi fondasi dari segala kehancuran yang akan kau ciptakan. Deviant Strike."
Soran tidak memasang kuda-kuda yang rumit. Ia hanya berdiri tegak, membiarkan auranya yang berwarna perak terserap sepenuhnya ke dalam bilah pedangnya. Rian, dengan penglihatan mastery penuhnya, melihat sesuatu yang mengerikan. Kesebelas bintang Soran berputar secara serentak, mengirimkan seluruh energinya ke satu titik di mata pedang. Itu bukan sekadar aliran mana, itu adalah akumulasi massa energi yang dikompresi hingga mencapai titik jenuh.
Soran menebas pilar batu itu dengan satu gerakan lurus yang tampak lambat.
SHRIIIIK!
Tidak ada ledakan yang memekakkan telinga. Hanya suara gesekan tajam yang halus.
Namun, pilar batu granit raksasa itu terbelah menjadi dua dengan potongan yang begitu mulus hingga permukaannya tampak mengkilap seperti cermin. Tidak hanya itu, tebasan tersebut terus melaju hingga membelah tanah di belakang pilar sedalam beberapa meter.
"Konsepnya adalah pengumpulan aura maksimal sebelum kontak terjadi," Soran menjelaskan sambil menyarungkan pedangnya kembali. "Jika kau memiliki sebelas core seperti aku, daya rusaknya dikali sebelas. Kau memiliki empat core, maka seranganmu harus memiliki bobot empat kali lipat dari tebasan biasa. Jangan mengalirkan mana secara bertahap. Peras keempat bintangmu secara serentak, kumpulkan di satu garis pedang, dan lepaskan tepat saat pedangmu menyentuh target rasiomu."
Rian berdiri di depan pilar batu lainnya. Ia mencoba meniru gerakan Soran. Ia menarik napas dalam, memusatkan kesadarannya pada empat bintang safir gelap di dalam perutnya. Ia mencoba "memeras" energi tersebut, memaksanya keluar dalam satu gelombang besar menuju pedang Iron-Bark-nya.
"Sekarang!" teriak Rian dalam hati sambil mengayunkan pedangnya.
DUAK!
Suara benturan keras terdengar, namun pilar batu itu tidak terbelah. Pedang kayu Rian justru terpental kembali, dan tangan Rian mati rasa akibat benturan tersebut. Pilar itu hanya mengalami retakan dangkal.
"Bodoh!" gertak Soran. "Kau hanya membuang mana ke permukaan batu itu. Kau tidak mengumpulkannya. Kau hanya berteriak dengan energi yang berantakan. Sinkronkan detak jantungmu dengan rotasi core-mu. Kau harus merasakan getaran empat bintang itu sebagai satu kesatuan. Ingat, ini adalah Matematika Maut. Jika sinkronisasimu salah satu persen saja, maka pengalinya akan menjadi nol."
Rian tidak menyerah. Ia kembali mencoba berkali-kali. Setiap kegagalan membuatnya semakin frustrasi, namun ia teringat pada rasa sakit saat duel kemarin. Ia menyadari bahwa selama ini ia hanya menggunakan core-nya sebagai baterai, bukan sebagai mesin penggerak.
Hujan mulai turun dengan deras di Lembah Reruntuhan, membasahi tubuh Rian yang sudah bermandikan keringat. Suasana menjadi lebih dramatis; kilatan petir sesekali menyinari wajah Rian yang penuh konsentrasi. Soran hanya berdiri diam di bawah naungan tebing, memperhatikan muridnya tanpa memberikan bantuan sedikit pun. Sifat konyolnya benar-benar telah hilang; ia kini bertindak sebagai pengawas yang kejam.
Rian berhenti sejenak. Ia membiarkan air hujan mengalir di wajahnya. Ia menutup matanya, membiarkan Mastery 100%-nya mengambil alih seluruh fungsi sensoriknya. Ia mulai mendengarkan suara dari dalam tubuhnya sendiri. Ia merasakan rotasi bintang pertama, diikuti bintang kedua, ketiga, dan keempat. Ia menunggu hingga keempat bintang itu berada dalam satu garis vertikal di dalam Dantiannya.
Deg... Deg...
Detak jantungnya melambat. Ia merasakan getaran frekuensi tinggi yang muncul dari empat bintang tersebut. Inilah yang dimaksud Soran dengan sinkronisasi.
Rian membuka matanya. Dunia di depannya menjadi sangat sunyi. Ia melihat titik rasio 7:3 pada pilar batu di depannya. Ia tidak hanya melihat titiknya, ia melihat struktur atom batu tersebut yang sedang bergetar akibat hujan.
Ia mengayunkan pedang kayu hitamnya. Kali ini, tidak ada aura yang meluap keluar dari tubuhnya. Semuanya terfokus di satu garis tipis pada mata pedang kayunya.
"Soran Archive: Deviant Strike!"
SLASH!
Kali ini, suaranya sangat berbeda. Bukan benturan keras, melainkan suara udara yang terbelah dengan tajam. Pedang kayu Iron-Bark itu meluncur menembus pilar batu granit tersebut seolah-olah batu itu terbuat dari tanah liat yang empuk. Pilar raksasa itu bergeser perlahan, lalu bagian atasnya jatuh ke tanah dengan dentuman keras, terbelah menjadi dua dengan potongan yang sempurna.
Rian terengah-engah, namun kali ini ia tidak terpental. Ia menatap tangannya yang masih memegang pedang dengan stabil. Ia bisa merasakan sisa tekanan dari empat core-nya yang baru saja dilepaskan secara serentak. Kekuatannya benar-benar terasa empat kali lebih dahsyat dari sebelumnya.
Soran berjalan mendekat, menatap pilar yang hancur itu dengan tatapan datar. Ia tidak memberikan pujian yang berlebihan.
"Berhasil. Tapi kau masih butuh waktu tiga detik untuk mengumpulkan energinya. Di medan perang yang sesungguhnya, tiga detik adalah waktu yang cukup bagi musuh untuk memenggal kepalamu sepuluh kali."
Soran menatap Rian, dan untuk sesaat, Rian melihat ada secercah kebanggaan di mata gurunya yang dingin itu. "Namun, untuk percobaan hari pertama, kau tidak memalukan. Kau telah menguasai dasar teknik pertama. Besok, aku akan mengajarimu cara melakukan serangan area. Bersiaplah, karena Starfall Cascade akan menguras manamu lebih cepat daripada yang bisa kau bayangkan."
Rian menyeka air hujan dari wajahnya. Ia merasa sebuah kepuasan yang mendalam. Ia telah melangkah lebih dekat menuju warisan Soran yang legendaris. Namun, di balik keberhasilan ini, ia juga merasakan sebuah beban berat. Ia menyadari bahwa teknik-teknik ini bukan diciptakan untuk keadilan, melainkan untuk efisiensi pembunuhan yang absolut.
"Guru," panggil Rian saat Soran mulai berjalan pergi.
Soran berhenti namun tidak menoleh. "Apa?"
"Luka di perutmu... apa masih sakit?"
Soran terdiam sejenak. Ia menyentuh perban di perutnya melalui zirahnya. "Luka ini adalah pengingat bahwa kau sudah dewasa, Rian. Dan pengingat bahwa aku sudah mulai menua. Jangan cemaskan aku. Cemaskan dirimu sendiri, karena setelah kau menguasai keenam teknik ini, tidak akan ada lagi tempat untuk kembali."
Rian menatap punggung Soran yang menjauh di tengah hujan lebat. Drama perpisahan yang akan datang mulai terasa bayangannya di hati Rian. Selama delapan tahun, Soran adalah dunianya. Dan sebentar lagi, dunia itu akan menghilang, digantikan oleh benua luas yang penuh dengan musuh yang memiliki jumlah Star Core lebih banyak darinya.
Namun, dengan Deviant Strike yang baru saja ia pelajari, Rian tidak lagi merasa takut. Jika musuhnya memiliki delapan bintang, ia akan memastikan empat bintangnya bekerja delapan kali lebih keras.
Bab ditutup dengan Rian yang kembali berlatih di bawah hujan deras, menebas pilar-pilar batu di lembah itu berkali-kali hingga tangannya berdarah. Di dalam kegelapan Lembah Reruntuhan, kilatan mana safir gelap terus memancar, menandakan bahwa sang Outsider Knight sedang mengasah taring pertamanya dengan sempurna.
