Matahari tepat berada di puncak zenit, memancarkan cahaya putih yang menyilaukan dan membakar di atas padang rumput kering Silvaris Aeterna yang terpencil. Di tempat ini, hukum alam seolah-olah tunduk pada kehendak dua manusia yang berdiri di sana; udara berhenti bergerak, tidak ada desis angin yang biasanya menyapu rumput, tidak ada kicau burung, bahkan serangga yang paling berisik sekalipun seolah-olah lenyap ditelan oleh atmosfer yang begitu menekan dan mencekam. Di tengah lapangan terbuka yang luas itu, dikelilingi oleh barisan pepohonan raksasa yang sudah mati dan menghitam, dua sosok berdiri berhadapan dalam jarak tepat dua puluh meter.
Soran, yang selama delapan tahun ini lebih sering terlihat seperti pria pemabuk yang ceroboh dengan pakaian kumal, kini tampil dengan wibawa purba yang mampu menghentikan detak jantung ksatria paling berani sekalipun. Ia tidak lagi mengenakan pakaian tidurnya; ia memakai zirah kulit tempur hitam yang kokoh, dihiasi dengan goresan-goresan lama dari pertempuran masa lalu yang tak terhitung jumlahnya. Tangan kanannya menggenggam gagang pedang aslinya—sebilah baja yang ditempa dari meteorit jatuh, yang memancarkan aura dingin yang mematikan dan haus darah. Di seberangnya, Rian berdiri dengan posisi yang sangat tegap, menggenggam pedang kayu hitam yang kini kondisinya sudah sangat mengenaskan, dipenuhi retakan-retakan yang siap pecah kapan saja. Keringat mengalir deras dari pelipis pemuda itu, membasahi pakaian tempurnya, namun sepasang matanya yang berwarna biru samudra menatap lurus ke depan tanpa berkedip sedikit pun, mengunci sosok gurunya sebagai target tunggal.
"Ulang tahun yang kedelapan belas bagi kebanyakan pemuda di benua ini biasanya dirayakan dengan pesta meriah, pelukan hangat keluarga, dan tegukan arak pertama mereka," suara Soran memecah keheningan yang menyesakkan itu, terdengar sangat dingin, tajam, dan sama sekali tidak menyisakan ruang untuk belas kasihan. "Tapi bagimu, Rian, hadiah ulang tahunmu adalah sebuah kesempatan tunggal untuk tetap bernapas. Aturannya sangat sederhana dan brutal: serang aku seolah-olah kau ingin mencabik jiwaku dari raga ini. Jika kau tidak sanggup melukaiku, maka hari ini bukan hanya hari ulang tahunmu, tapi juga hari peringatan kematianmu di tanah Silvaris ini."
Tanpa memberikan aba-aba atau peringatan satu detik pun, Soran menghilang dari pandangan.
Ia tidak berlari dan tidak melompat. Ia menghilang begitu saja dari persepsi visual manusia biasa, seolah-olah ia telah melebur menjadi satu dengan partikel udara. Rian, yang sudah memiliki Mastery 90% selama masa persiapannya, bereaksi murni berdasarkan insting yang telah ditempa selama delapan tahun neraka. Ia tidak lagi mengandalkan penglihatan mata telanjangnya; ia merasakan riak Mana yang terdistorsi secara ekstrem di sisi kirinya, sebuah gelombang kejut yang datang dengan kecepatan supersonik.
KLANG!
Benturan pertama terjadi dengan kekuatan yang begitu dahsyat hingga menciptakan gelombang kejut fisik yang meratakan rumput di sekitar mereka dalam radius sepuluh meter. Pedang kayu hitam Rian berhasil menahan tebasan baja meteorit Soran tepat di depan lehernya. Namun, harga yang harus dibayar sangat mahal. Kekuatan murni dari benturan itu begitu besar hingga tanah di bawah kaki Rian retak seribu dan amblas sedalam sepuluh sentimeter secara instan. Getaran energinya menjalar dengan sangat menyakitkan melalui pergelangan tangan, lengan, hingga masuk ke tulang belikat Rian, membuat sendi-sendinya berderit dan terasa seperti akan remuk menjadi bubuk.
"Terlalu lambat! Kau masih bertarung dengan pola pikir seorang bocah!" teriak Soran dengan nada menghina.
Soran tidak memberikan waktu satu milidetik pun bagi Rian untuk mengatur napas. Ia terus menghujani Rian dengan serangkaian tebasan yang merupakan definisi dari kesempurnaan ilmu pedang seorang ksatria bintang sebelas. Setiap gerakan Soran sangat efisien; ia tidak membuang satu gram pun tenaga yang tidak perlu, dan ia tidak melakukan satu pun gerakan tambahan yang sia-sia. Rian dipaksa mundur dengan sangat cepat, setiap langkah mundurnya meninggalkan jejak kaki yang dalam di tanah yang kering. Mastery 90% miliknya bekerja di ambang batas maksimal yang bisa ditanggung oleh otaknya, memproses ribuan kemungkinan lintasan serangan dalam sekejap, namun kecepatan dan teknik Soran tetap berada satu langkah besar di depan segala perhitungan Rian.
Rian terengah-engah, dadanya naik turun dengan tidak beraturan. Di dalam Dantiannya, tiga bintang safir gelap berputar dengan frekuensi yang sangat menyakitkan, menciptakan suara berdenging yang hanya bisa didengar olehnya. Tekanan internalnya kini sudah mencapai titik didih yang tak tertahankan. Rasanya seperti ada sebuah matahari mini yang sedang mencoba meledak di dalam perut bawahnya, mencari jalan keluar melalui jalur Mana-nya yang sudah membara. Sementara dari luar, Soran terus memberikan tekanan fisik dan aura yang tak henti-hentinya, memaksa Rian untuk terus memeras setiap tetes energinya hanya untuk tetap berdiri.
"Mana teknik Septem yang kau bangga-banggakan itu? Mana penglihatan sombongmu yang katanya bisa melihat segala struktur dunia ini?" provokasi Soran sambil melancarkan sebuah tendangan keras ke ulu hati Rian.
Rian terlempar ke belakang, tubuhnya meluncur di atas tanah sebelum menabrak batang pohon mati raksasa hingga pohon itu hancur berkeping-keping. Rian berusaha bangkit dengan gemetar, darah segar mulai mengalir deras dari sudut bibirnya yang pecah. Pandangannya sempat mengabur, dunianya berputar dengan kacau. Ia merasakan denyutan di dalam perutnya semakin tidak terkendali, seolah-olah jantungnya telah berpindah ke Dantiannya. Tiga bintang itu mulai bergesekan secara kasar, menciptakan panas yang membuat kulit Rian memerah menyerupai besi yang baru saja dikeluarkan dari tungku api, dan tubuhnya mulai mengeluarkan uap panas yang terlihat jelas di udara dingin Silvaris.
"Aku... belum selesai... aku belum mati!" desis Rian dengan suara parau yang penuh dengan tekad gila.
Ia memejamkan matanya sejenak, sengaja memasuki kondisi Abyssal Silence yang paling dalam dan gelap yang pernah ia capai. Ia tidak lagi mencoba menghindar dari rasa sakit yang menyiksa; ia justru merangkul rasa sakit itu sebagai bahan bakar. Ia membiarkan tekanan maut dari aura perak Soran yang menghimpitnya masuk ke dalam sistem sarafnya, membiarkannya menghantam dinding Dantiannya yang sudah dipenuhi retakan saturasi.
Soran melesat maju kembali, pedang meteoritnya kini diselimuti cahaya perak yang menyilaukan untuk tebasan terakhir yang mengarah tepat ke leher Rian tanpa sedikit pun niat untuk menahan diri. "Matilah sebagai sampah yang berangan-angan tinggi!"
Pada detik yang sangat kritis itu, waktu seolah-olah berhenti berputar bagi Rian. Tekanan eksternal dari ujung pedang Soran yang hampir menyentuh kulit lehernya dan tekanan internal dari saturasi energinya yang meluap bertemu di satu titik pusat yang sama. Terjadi sebuah anomali energi di ruang tersebut.
BOOOOOOM!
Bukan suara ledakan fisik yang memekakkan telinga, melainkan sebuah ledakan Mana murni yang sangat dahsyat dan berwibawa. Sebuah pilar cahaya biru tua yang sangat pekat melesat dari tubuh Rian menuju langit, membelah kumpulan awan di atas hutan Silvaris Aeterna hingga menciptakan lubang raksasa di angkasa. Tekanan energinya begitu masif dan berat hingga Soran pun, ksatria bintang sebelas, terpaksa melompat mundur sejauh lima belas meter untuk melindungi organ dalamnya dari guncangan Mana tersebut.
Di dalam tubuh Rian, dinding saturasi yang telah mengurungnya selama bertahun-tahun hancur berkeping-keping. Dari serpihan energi yang padat dan panas itu, sebuah bintang baru mulai mengkristal dengan kecepatan luar biasa. Bintang ini lebih kecil dari tiga saudaranya, namun ia jauh lebih gelap, lebih padat, dan memancarkan gravitasi energi yang jauh lebih kuat. Star Core Keempat resmi lahir.
Seketika itu juga, Cadar Samudra yang menyelimuti saraf penglihatan Rian mengalami evolusi terakhirnya. Ia tidak lagi hanya menyelimuti mata, melainkan menyatu sepenuhnya dengan seluruh sistem saraf pusat dan setiap sel di tubuh Rian. Tidak ada lagi jarak antara mata, otak, dan Mana. Dunia di depan Rian berubah secara permanen. Semuanya menjadi transparan, segalanya bergerak dalam gerak lambat, dan setiap objek di alam semesta ini kini memiliki garis-garis struktur merah yang menunjukkan di mana kelemahan rasionya berada.
Mastery 100% Tercapai.
Rian membuka matanya kembali. Tidak ada lagi cahaya biru yang meluap keluar dengan sia-sia ke udara. Seluruh energi dahsyat itu kini tersedot kembali ke dalam tubuhnya dengan sistem efisiensi yang mengerikan dan sempurna. Penghematan Mana sebesar 50% membuatnya merasa seolah-olah ia baru saja lahir kembali dengan cadangan energi yang tak terbatas. Ia merasa sangat ringan, sangat tenang, dan sangat mematikan.
Soran menyeringai lebar, meskipun sorot matanya kini menunjukkan kewaspadaan yang belum pernah ia tunjukkan kepada siapa pun selama puluhan tahun. "Jadi, kau benar-benar berhasil menembus dinding itu di saat terakhir. Ksatria empat bintang dengan Mastery seratus persen... pencapaian yang bahkan tidak bisa dilakukan oleh para jenius di istana kekaisaran. Mari kita lihat, apakah semua drama ini cukup untuk sekadar menggores kulitku!"
Rian tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya maju satu langkah, dan dalam sekejap mata, ia sudah berada tepat di hadapan Soran. Kecepatannya kini bukan lagi sekadar hasil dari kekuatan otot, melainkan sebuah perpindahan massa yang sangat efisien dalam ruang.
Rian mengayunkan pedang kayunya yang sudah sekarat. Soran mencoba menangkis dengan pedang meteoritnya, namun ia terkejut setengah mati. Rian tidak menyerang ke arah pedang Soran. Rian justru menyerang celah udara di samping pedang tersebut dengan sudut yang tidak masuk akal.
Menggunakan teknik Septem yang kini didukung Mastery 100%, Rian melihat titik rasio 7:3 pada zirah kulit Soran di bagian perut kiri bawah. Titik itu berdenyut dengan warna merah gelap di mata Rian, seolah-olah mengundang jarum untuk menusuknya.
SRAAAAK!
Pedang kayu Rian meluncur dengan presisi yang melampaui logika ilmu pedang manusia. Ia melewati pertahanan pedang Soran yang rapat dan menghantam titik rasio tersebut dengan telak. Meskipun itu hanya potongan kayu, namun karena kecepatan yang dikombinasikan dengan kepadatan Mana dari empat core yang bekerja serentak, dampak serangannya sangat menghancurkan secara struktural. Zirah kulit ksatria bintang sebelas yang legendaris itu pecah berkeping-keping seolah terbuat dari kaca tipis, dan ujung pedang kayu Rian merobek dalam kulit di perut Soran, menciptakan luka goresan horizontal yang menyemburkan darah segar ke tanah.
Soran terhuyung mundur, matanya terbelalak lebar karena rasa sakit dan keterkejutan yang luar biasa. Ia memegangi perutnya yang kini terluka parah. Luka itu tidak mau menutup; Mana safir gelap Rian yang sangat pekat dan "menyimpang" mulai mengikis kemampuan regenerasi Mana Soran, menciptakan rasa terbakar yang dingin di dalam luka tersebut.
"Kau... kau benar-benar berhasil melukaiku secara fisik," bisik Soran dengan suara bergetar, lalu ia tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Tawa itu penuh dengan kegilaan, kelegaan, dan kebanggaan yang meluap-luap. "Luar biasa! Kau benar-benar telah menjadi monster yang melampaui imajinasiku, Rian!"
Soran kemudian berdiri tegak kembali dengan susah payah, wajahnya memucat namun auranya justru meluap hingga mencapai puncaknya yang paling mengerikan. Kesebelas bintang di dalam Dantiannya berputar dengan kecepatan penuh di balik zirahnya yang hancur. "Tapi duel kelulusan ini belum berakhir sampai di sini. Untuk benar-benar dianggap lulus, kau harus mampu menatap teknik yang akan menjadi mimpi burukmu di masa depan dan menjadi dasar dari kekuatanmu yang sebenarnya."
Soran mengangkat pedang meteoritnya tinggi-tinggi ke langit yang kini mulai meredup warnanya. Seluruh aura peraknya yang luas seperti samudra mulai tersedot masuk ke dalam bilah pedang tersebut, hingga pedang itu bercahaya dengan intensitas yang mampu membutakan mata.
"Soran Archive: Deviant Strike," gumam Soran dengan suara yang mengguncang udara.
Ini adalah teknik terlarang yang mengumpulkan seluruh aura dari star core hingga titik maksimal, membuat kekuatan tebasan berlipat ganda sesuai dengan jumlah core yang dimiliki pengguna. Bagi Soran, kekuatan tebasan ini dikali sebelas kali lipat dari kekuatan maksimalnya.
Udara di sekitar mereka seolah-olah tersedot masuk ke dalam vakum yang diciptakan oleh pedang itu. Rian menyadari sepenuhnya bahwa ia tidak bisa menghindar dengan cara apa pun. Ruang di sekelilingnya sudah dikunci rapat oleh aura ksatria bintang sebelas milik Soran. Tidak ada tempat untuk lari, tidak ada tempat untuk sembunyi. Hanya ada satu pilihan: beradu kekuatan murni.
Rian memegang pedang kayu hitamnya yang sudah penuh retakan dengan kedua tangan, mengabaikan fakta bahwa tangannya sendiri sudah bersimbah darah. Ia mengumpulkan seluruh sisa energinya, memeras keempat bintang safir gelapnya hingga batas terakhir yang bisa ditanggung oleh fisiknya. Ia memusatkan semuanya—semua kebencian, semua harapan, dan semua tahun latihannya—pada satu garis tipis di ujung pedang kayunya.
DUUUUUMMMMM!
Dua kekuatan dahsyat itu bertabrakan tepat di tengah-tengah lapangan terbuka tersebut. Gelombang kejut yang dihasilkan begitu kuat hingga mampu meratakan seluruh barisan pohon mati dalam radius seratus meter menjadi debu. Tanah di bawah mereka berdua hancur berkeping-keping, menciptakan kawah besar yang dalam. Debu, kerikil, dan uap Mana beterbangan menciptakan badai sesaat yang menutup pandangan.
Ketika badai debu mulai mereda perlahan, terlihat sosok Rian berdiri mematung di tengah kawah dengan posisi tangan yang masih menebas. Pedang kayu hitamnya kini benar-benar telah sirna, hancur menjadi serpihan debu kayu yang sangat halus yang beterbangan tertiup angin sepoi-sepoi pagi. Tangan Rian gemetar dengan hebat, dan darah segar terus mengucur dari sela-sela jarinya yang retak. Ia pingsan dalam kondisi tetap berdiri tegak, matanya masih terbuka lebar namun kesadarannya telah lenyap sepenuhnya karena kelelahan fisik dan mental yang ekstrem.
Di hadapannya, Soran berdiri dengan napas yang sangat berat dan terputus-putus. Ia terpaksa berlutut dengan satu kaki, menggunakan pedang meteoritnya yang tertancap di tanah sebagai penopang agar tubuhnya tidak ambruk ke tanah. Luka di perutnya kini terlihat semakin parah, dan baju zirahnya sudah basah kuyup oleh darahnya sendiri. Ia menatap muridnya yang sudah pingsan itu dengan tatapan yang dipenuhi rasa hormat yang mendalam, sebuah tatapan yang diberikan dari satu ksatria kepada ksatria lainnya.
"Delapan tahun... dan kau adalah orang pertama yang berhasil membuatku berlutut dengan satu kaki dalam kondisi seperti ini," bisik Soran sambil tersenyum tipis yang penuh kemenangan sekaligus kelelahan. Ia memuntahkan gumpalan darah hitam, tanda bahwa bentrokan terakhir tadi juga memberikan kerusakan internal yang sangat signifikan pada organ dalamnya.
Soran bangkit dengan sangat susah payah dan mendekati tubuh Rian yang masih berdiri kaku. Ia menyentuh lembut dahi muridnya, mengalirkan sedikit Mana peraknya yang hangat untuk menstabilkan kondisi jantung dan sistem saraf Rian yang hampir hancur. "Kau lulus ujian transisi ini dengan sangat gemilang, Bocah. Kau bukan lagi sekadar murid yang hanya tahu cara mengayunkan kayu. Kau adalah seorang ksatria sejati sekarang."
Soran menatap ke arah langit Silvaris yang kini mulai berubah menjadi senja yang damai. "Beristirahatlah, anakku. Besok, latihan yang sesungguhnya akan dimulai kembali. Aku akan mewariskan enam teknik utama dari Soran Archive padamu sebelum kau benar-benar siap untuk pergi meninggalkan hutan ini dan menghadapi dunia yang sebenarnya."
Bab ditutup dengan Soran yang menggendong tubuh Rian yang tak sadarkan diri kembali menuju gubuk tua mereka dengan langkah kaki yang tertatih namun penuh kebanggaan. Di padang rumput yang kini telah berubah menjadi kawah kehancuran itu, sebuah legenda baru telah benar-benar lahir. Sang Outsider Knight kini telah memiliki empat bintang di perutnya, dan keheningan samudranya telah mencapai titik kesempurnaan mutlak. Dunia di luar perbatasan Silvaris Aeterna belum menyadari bahwa seorang ksatria penyimpang baru saja menyelesaikan tahap pertama dari transformasinya untuk menjadi badai yang akan menghancurkan tatanan benua.
