Chapter 11: Menemukan Diri yang Hilang
Pagi pertama setelah Kalya memutuskan untuk sepenuhnya melepaskan Arvin, ia bangun dengan perasaan yang berbeda. Udara terasa lebih segar, dan cahaya matahari yang masuk melalui jendela tidak lagi menyengat, tetapi menenangkan.
Ia berjalan ke dapur dan memulai rutinitas baru—menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, dengan tidak terburu-buru. Tidak ada lagi perasaan cemas tentang apakah Arvin akan pulang terlambat atau apakah mereka akan berbicara di meja makan. Kali ini, ia hanya memikirkan dirinya sendiri.
Di pagi hari itu juga, Kalya memutuskan untuk melanjutkan impian yang dulu ia tinggalkan: kembali menulis. Ia membuka laptopnya, dan mulai menulis di halaman kosong itu, tidak tahu pasti apa yang akan keluar, tapi merasakannya di dalam hati.
"Aku menulis bukan untuk melupakanmu, Arvin. Aku menulis untuk mengingat diriku yang pernah hilang di antara kita. Aku menulis untuk menemukan kembali siapa aku."
Setiap kata yang terketik di layar membuat Kalya merasa lebih ringan. Ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang perlahan kembali utuh. Tidak lagi terjebak dalam kenangan, tetapi bebas untuk mengarahkan hidupnya ke tempat yang lebih baik.
Beberapa hari kemudian, Kalya pergi ke taman yang dekat dengan rumahnya. Ia duduk di bangku panjang, menghirup udara segar, dan menikmati ketenangan. Tanpa gangguan, tanpa pertanyaan. Ia merasa hidupnya kini lebih teratur, lebih terarah.
Di sana, ia bertemu dengan seorang wanita tua yang duduk di sebelahnya. Wanita itu tersenyum dan memulai percakapan ringan.
"Anak muda," katanya, "terkadang, kita harus kehilangan diri kita dulu untuk bisa menemukannya kembali. Tapi ingat, kita tidak pernah benar-benar kehilangan, kita hanya lupa sementara."
Kalya menatap wanita itu dengan mata penuh rasa terima kasih. "Benar," jawabnya pelan. "Aku baru saja menemukannya."
Sementara itu, Arvin merasa bingung. Hari-hari yang dilaluinya sejak Kalya pergi terasa hampa. Meskipun ia tidak ingin mengakui bahwa ia merasa kehilangan, kenyataan itu semakin jelas saat malam datang dan apartemen itu terasa begitu sunyi.
Ia terus memikirkan Kalya—tentang kebisuan mereka, tentang hari-hari yang dihabiskan tanpa berbicara, tanpa mencintai. Ia tahu bahwa hubungan mereka telah berakhir karena kesalahan-kesalahan kecil yang ia abaikan, dan kini ia merasakannya. Namun, ia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya, atau bahkan jika ada kesempatan kedua.
Kalya sudah pergi, dan Arvin harus menghadapi kenyataan itu. Namun di dalam hatinya, ia tahu ia harus berubah. Mungkin, ini adalah pelajaran yang harus ia ambil—bahwa tanpa usaha, tanpa perhatian, cinta bisa hilang tanpa disadari.
Malam itu, Kalya menatap bintang-bintang dari balkon rumah barunya. Ia merasakan ketenangan yang datang dengan kebebasan. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi penyesalan. Ia merasa hidupnya kini miliknya sendiri, dan ia siap menjalani masa depan dengan penuh keyakinan.
"Terima kasih, Arvin," bisiknya pelan, meskipun ia tahu Arvin tidak mendengarnya. "Terima kasih karena telah mengajarkan aku untuk mencintai diriku sendiri terlebih dahulu."
Kalya menutup mata, menarik napas panjang, dan tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa seperti dirinya yang sejati. Tidak terikat, tidak terkekang. Hanya dirinya, dengan semua potensi yang belum tergali, siap untuk memulai babak baru.