Chapter 13: Ketika Arvin Kembali
Kalya duduk di meja kerja kecilnya, menatap layar laptop yang memuat draft novel barunya. Ia baru saja menyelesaikan bab terakhir dan merasa seolah semua kepingan yang hilang dalam hidupnya kini akhirnya terhubung dengan sempurna. Hidupnya tidak lagi berputar di sekitar Arvin. Ia tidak lagi menunggu, tidak lagi berharap. Ia menjalani hari-harinya dengan kebebasan yang baru ditemukan—bahagia dalam kesendiriannya, berdamai dengan masa lalu, dan merencanakan masa depannya.
Namun, takdir sering kali datang dengan cara yang tak terduga.
Suatu sore yang cerah, pintu rumah Kalya diketuk. Ia membuka pintu, dan di depan sana berdiri Arvin. Wajahnya tampak lebih kurus, matanya lelah, tapi ada sesuatu yang berbeda di sana—sebuah ketulusan yang tidak ia lihat sebelumnya.
"Aku... bisa masuk?" tanya Arvin pelan, suaranya serak.
Kalya terdiam, sejenak merasakan detak jantungnya yang mempercepat. Namun, setelah beberapa detik, ia mengangguk. "Masuklah."
Arvin melangkah masuk dengan ragu. Mereka duduk di ruang tamu, berjarak beberapa langkah, seperti dua orang asing yang pernah saling mengenal dengan begitu dalam.
"Aku tidak tahu harus mulai dari mana," kata Arvin, menundukkan kepala. "Aku tahu aku telah membuat kesalahan besar dengan membiarkan kita berjalan begitu jauh tanpa mendengarkanmu, tanpa benar-benar ada untukmu."
Kalya mengamati Arvin, dan meskipun hatinya berdebar, ia tetap menjaga ketenangannya. "Kenapa sekarang, Arvin? Kenapa setelah semua yang terjadi?"
Arvin menatapnya, dan Kalya bisa melihat ketulusan di matanya—bukan sekadar penyesalan, tapi juga kesadaran yang datang terlambat.
"Aku sudah jauh pergi dari kamu, Kalya. Aku takut aku akan kehilangan diri sendiri dalam prosesnya, tapi aku akhirnya sadar... aku kehilangan kamu dalam diam kita. Aku kehilangan kita dalam keheningan."
Kalya menunduk. Ia memikirkan semua waktu yang telah berlalu. Waktu yang ia habiskan untuk menunggu Arvin kembali, untuk mencari jawaban yang tidak pernah datang.
"Aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi," lanjut Arvin. "Aku hanya ingin kamu tahu, Kalya, aku menyesal. Dan aku... aku ingin memperbaikinya. Aku ingin mulai dari awal, tapi kali ini dengan kesadaran bahwa kamu layak mendapatkan lebih dari sekadar kata-kata kosong."
Kalya merasa sakit di dadanya. Kata-kata itu, meskipun tulus, tidak bisa menghapus masa lalu. Ia tidak tahu apakah ia bisa kembali kepada Arvin, apakah mereka bisa memperbaiki apa yang telah retak.
"Aku sudah belajar banyak," ucap Kalya, suara serak. "Aku telah menemukan jalan baru tanpa kamu. Aku tahu aku tidak akan pernah bisa kembali ke tempat yang dulu. Mungkin itu adalah bagian dari perjalanan ini—untuk melepaskan apa yang sudah hilang."
Arvin menatapnya dengan penuh harap. "Kalya, aku tidak mengharapkanmu untuk memaafkan semuanya, atau bahkan kembali seperti dulu. Aku hanya ingin kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi lebih baik. Untukmu. Untuk kita."
Kalya menarik napas dalam-dalam, merasakan beban itu di hatinya. Ia tahu, mungkin ia tidak bisa memberi Arvin kesempatan kedua. Bukan karena ia tidak mencintainya lagi, tetapi karena ia telah menemukan dirinya sendiri dalam kesendirian, dan kadang, kita harus belajar untuk melepaskan sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan.
"Aku tidak bisa memberimu apa yang kamu inginkan, Arvin," jawab Kalya, "tapi aku bisa memberimu penghargaan untuk keberanianmu datang ke sini. Aku bisa menghargai usaha yang kamu lakukan. Itu sudah cukup."
Arvin terdiam, dan dalam keheningan itu, Kalya tahu satu hal yang pasti: ia tidak perlu Arvin untuk merasa lengkap. Ia sudah cukup dengan dirinya sendiri.
Kalya memandangi Arvin yang duduk dengan kepala tertunduk. Ia tahu, bahwa ini mungkin adalah perpisahan terakhir mereka—bukan dalam bentuk pertengkaran atau permusuhan, tetapi dalam bentuk sebuah pemahaman yang tulus: kadang, cinta harus membiarkan orang pergi untuk menemukan jalan mereka sendiri.
"Aku akan tetap mendukungmu, Arvin. Aku harap kamu menemukan jalanmu. Seperti yang aku temukan." Kalya berdiri, memberi ruang bagi Arvin untuk pergi dengan damai.
Arvin menatap Kalya dengan air mata di matanya, namun ia mengangguk dan berjalan keluar, meninggalkan Kalya dengan satu senyuman yang sangat berarti—senyuman yang mengandung kedamaian, bukan penyesalan.
Kalya menutup pintu dan berdiri di sana, di ruang yang kini lebih penuh, lebih hidup. Ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama, tetapi ia sudah siap untuk menyambut setiap langkah yang baru.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak hanya bebas, tetapi juga lengkap.