Cherreads

Chapter 3 - Chapter  2 – Retakan Pertama

Malam di Marevia tak pernah gelap.

Langit tetap biru pucat, diterangi oleh lampu-lampu sistemik yang tak pernah padam. Bintang tak terlihat—mungkin karena dianggap tidak perlu. Atau mungkin… mereka juga telah disensor.

Auren berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit yang tadi pagi terasa biasa, kini terasa terlalu bersih. Terlalu sunyi.

Semenjak kejadian di taman, pikirannya gelisah. Wanita tua itu—cara matanya kosong tapi berbicara, suaranya yang nyaris bukan suara, kalimat-kalimatnya yang terdengar seperti retakan dari balik tirai yang rapuh—semuanya berputar seperti gema di dalam kepalanya.

"Mereka hapus semua rasa…"

Auren menutup matanya, mencoba tidur seperti biasa. Tapi sesuatu berdenyut di pelipisnya—sebuah rasa asing yang tak pernah diajarkan: cemas.

Ia tidak tahu harus memberi nama apa pada perasaan itu.

Tidak tenang. Tidak nyaman. Seperti ada yang salah.

Lalu, mimpi itu datang.

Ia berdiri di padang kosong, tidak ada bangunan kaca, tidak ada taman. Hanya tanah retak dan langit gelap. Angin kencang menerbangkan serpihan suara—teriakan, tangisan, tawa yang berubah menjadi jerit. Auren melihat wajah-wajah yang ia kenal… tapi mata mereka tak bersinar. Mereka memanggilnya tanpa suara.

Tiba-tiba langit terbuka—bukan karena cahaya, tapi karena terbelah oleh sesuatu yang tak terlihat. Dari celah itu, jatuh serpihan kaca… ribuan, berjuta. Dan di setiap potongan kaca, Auren melihat wajahnya sendiri. Tapi wajah yang berbeda.

Wajah yang tahu terlalu banyak.

Ia terbangun mendadak.

Nafasnya tersengal. Tangan gemetar. Detak jantungnya tidak teratur—dan untuk pertama kalinya, NeuroLens tidak memberikan peringatan apa pun. Sistem… diam.

Di luar, langit masih pucat.

Tapi Auren tahu—ada yang tidak beres.

Ia bangkit dari tempat tidur. Tak bisa lagi berpura-pura. Pagi belum datang, tapi ia ingin berjalan. Mungkin mencari udara. Mungkin mencari jawaban. Atau… hanya ingin tahu apakah ia satu-satunya yang merasa seperti ini.

 

Langkahnya membawanya ke tepian Marevia, ke zona yang tidak banyak dilalui warga. Di sana, ia menemukan pagar—dan di baliknya, lorong servis kuno yang jarang digunakan. Tidak ada pengawasan di sini. Tidak ada suara.

Dan di ujung lorong, berdiri seorang gadis.

Rambutnya gelap, pakaiannya kusam, wajahnya tidak pernah Auren lihat di katalog warga.

Ia menatap Auren tanpa senyum, tanpa basa-basi.

"Aku tahu kamu lihat mimpi itu," katanya.

Auren membeku.

"Siapa kamu?"

"Namaku Kalea," jawab gadis itu. "Dan kamu… kamu baru saja membuka mata."

More Chapters