Sejak insiden surat tanpa nama itu, Tara tahu kehidupannya tak akan kembali normal seperti sebelumnya. Tapi yang tak ia duga adalah… bagaimana Rayhan perlahan masuk ke dalam hari-harinya—dengan cara yang begitu halus, tapi nyata.
Semuanya dimulai dari sebuah permintaan sederhana.
"Kamu punya waktu setelah sekolah hari ini?"tanya Rayhan saat mereka bertemu di perpustakaan, seperti sudah jadi rutinitas tidak tertulis.
"Kenapa?"Tara mengerutkan kening, setengah waspada, setengah penasaran.
"OSIS lagi ngerjain program donasi buku untuk sekolah-sekolah pelosok. Kita kekurangan orang buat sortir dan data-in buku-buku bekas. Kamu kan suka buku. Mau bantu?"
Tara sempat ragu. Tapi akhirnya mengangguk.
"Oke. Tapi aku nggak janji bisa bantu banyak."
"Bisa bantu dengan niat aja udah cukup, kok."
Dan begitu saja, Tara resmi terlibat dalam kegiatan OSIS—walau hanya di balik layar.
Sore itu, ruang OSIS terasa berbeda dari yang ia bayangkan. Tidak seserius rumor yang selama ini beredar. Tak ada politik antar pengurus, tak ada teriakan. Yang ada justru gelak tawa, tumpukan kardus, dan remaja-remaja yang sebenarnya sama kacau dan berisiknya dengan kelas lain.
"Tara, ini kamu yang dari kelas 11 IPA, ya?"sapa Dito, sekretaris OSIS, sambil menyerahkan buku catatan inventaris.
"Iya."jawab Tara singkat, masih canggung.
"Tenang aja. Kita semua juga manusia, kok. Walau Rayhan sok cool begitu."godanya, membuat Rayhan yang duduk di pojokan hanya mengangkat alis sambil pura-pura tak dengar.
Tara tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, ia merasa... diterima.
Malam harinya, Tara membuka media sosialnya. Ada mention tak dikenal di InstaStory teman sekolah.
📸 "Ketua OSIS bareng siapa tuh sorting buku sampe sore? Gak biasanya 😏"
Fotonya blur, tapi cukup jelas menampilkan sosok Rayhan dan Tara duduk bersebelahan di ruang OSIS, sedang tertawa ringan.
Tara menelan ludah. Jari-jarinya gemetar saat mengetik balasan untuk Rika.
"Siapa yang nyebarin itu?"
"Nggak tau. Tapi kamu sekarang udah viral, Ta. Hati-hati ya~"
Tara meletakkan ponselnya. Dadanya sesak. Ini yang ia khawatirkan: menjadi sorotan.
Keesokan harinya, bisik-bisik mulai terdengar sejak ia masuk gerbang sekolah.
"Itu yang deket sama Rayhan, kan?""Cewek kutu buku dari IPA?""Beruntung banget sih... atau ada main?"
Tara menunduk sepanjang jalan menuju kelas. Tapi sebelum ia sempat duduk, sebuah pesan WhatsApp masuk.
Rayhan:
"Jangan ambil hati omongan mereka. Fokus aja sama tujuan kita. You're doing great."
Tara menatap layar ponselnya beberapa detik.
Ia membalas singkat:
"Thanks. Aku belum terbiasa."
Rayhan hanya membalas dengan emoji jempol 👍 dan satu kalimat:
"Tapi kamu nggak sendiri."
Dan entah kenapa… satu kalimat itu cukup untuk membuat hati Tara sedikit lebih tenang.