Pagi itu, Tara datang lebih awal ke sekolah.
Ia membawa sebuah amplop kecil berisi surat yang ia tulis semalam. Isinya bukan sekadar kata-kata, tapi suara hati yang selama ini hanya berani berbisik dalam diam.
Ia menyelipkan surat itu ke dalam laci meja kerja di ruang OSIS—tempat Rayhan biasa duduk setiap rapat. Ia tak tahu pasti apakah Rayhan akan datang hari ini, tapi ia yakin, surat itu akan sampai.
[Isi Surat]
Untuk Rayhan,
Aku tahu kamu ingin melindungi semua orang. Tapi kamu lupa satu hal—kamu juga butuh dilindungi.
Aku memang mendengar rahasiamu tanpa sengaja. Tapi sejak saat itu, aku juga menyimpan rasa yang tidak bisa lagi kusebut sebagai simpati. Mungkin ini keterikatan. Mungkin juga... cinta.
Tapi lebih dari itu, aku ingin kamu tahu—aku bukan hanya pendengar rahasia. Aku juga ingin jadi bagian dari penyembuhannya.
Kamu bilang kamu gagal melindungi adikmu. Tapi kamu juga sedang mencoba memperbaiki dunia yang membuatnya terluka. Itu bukan kegagalan, Han. Itu keberanian.
Dan aku di sini. Kalau kamu masih mau, aku akan tetap ada. Bukan sebagai pelarian, bukan sebagai pelindung. Tapi sebagai seseorang... yang percaya padamu.
—Tara
Rayhan masuk ke ruang OSIS saat jam istirahat. Ia sendirian.
Saat membuka laci mejanya, ia menemukan amplop putih itu. Ia membaca surat itu perlahan. Tangannya sempat bergetar. Di akhir surat, ia diam cukup lama—tak berkata apa pun.
Lalu ia menunduk. Untuk pertama kalinya, Rayhan menangis. Bukan karena kalah, bukan karena takut—tapi karena akhirnya... ada seseorang yang benar-benar mengerti.
Sore harinya, Tara sedang membaca buku di perpustakaan saat seseorang duduk di depannya. Tanpa suara. Tanpa aba-aba.
Rayhan.
"Aku baca suratmu," katanya.
Tara menutup bukunya. Tak berkata apa pun.
"Dan aku mau bilang sesuatu. Tapi aku takut nanti kamu mundur."
Tara menatap mata Rayhan.
"Coba saja dulu. Aku nggak akan pergi."
Rayhan menarik napas panjang.
"Dulu, waktu adikku dibully, aku tahu. Tapi aku diam. Aku kira dia bisa tahan. Aku kira itu cuma fase. Tapi ternyata... dia trauma seumur hidupnya."
Tara mendengarkan. Tak ada interupsi.
"Sejak itu, aku janji ke diri sendiri: aku nggak akan diam lagi. Tapi aku juga tahu... aku nggak bisa sendirian."
Ia menatap Tara.
"Kamu bikin aku sadar... bahwa aku nggak harus kuat terus. Bahwa ada yang bisa aku percaya."
Tara tersenyum tipis.
"Aku di sini bukan untuk menyelamatkanmu. Aku cuma... pengen ada di sisimu."
Rayhan tertawa kecil, getir.
"Itu lebih dari cukup."
Dan untuk pertama kalinya, mereka tak lagi bicara soal rahasia. Tidak juga tentang luka.
Mereka bicara sebagai dua manusia yang akhirnya menemukan seseorang yang tidak hanya hadir… tapi juga bertahan.