Cherreads

Chapter 54 - Ruang racun

Daging yang sudah matang menarik Evelyn dari lamunannya. Ia mengambil beberapa tusuk, membaginya menjadi beberapa bagian untuk dimakan. Sementara sisanya, ia tinggalkan untuk diberikan kepada para tentara lain.

Ethan melihat pergerakan Evelyn dalam diam dan memakan bekal yang telah dimasak Evelyn. Masakan gadis ini sangat enak dan kaya akan bumbu, Ethan sudah merasa puas memikirkan Evelyn membuat makanan ini khusus untuknya.

"Ini untukmu." Ethan memotong daging dengan ukuran lebih kecil dan memberikannya pada Evelyn.

"Terimakasih." Evelyn segera mengambil alih piring itu, ujung jari mereka sedikit bersentuhan namun tak ada yang merasa terganggu.

Keduanya makan dalam suasana yang damai. Tidak ada percakapan lain setelah pembahasan tadi, mereka hanya makan dengan suasana hangat ditemani api unggun.

Malam berangsur-angsur semakin gelap, keduanya bergegas bersiap dan membawa perlengkapan untuk menyusup. Sengaja memilih malam hari agar suasana menjadi lebih sepi dan mereka lebih bebas bergerak.

Kediaman Hubert tidak jauh dari barak, hanya beberapa kilometer. Mereka bisa mencapainya dengan kuda ataupun berjalan kaki jika mau.

"Sepertinya akan lebih baik memakai satu kuda agar tidak menimbulkan banyak suara." Ethan mengusulkan pada Evelyn.

Gadis itu terdiam sebentar, tampak berpikir sebelum akhirnya mengangguk singkat. Ia merasa sedikit canggung, namun demi tujuan mereka, ia berusaha menepis perasaan itu.

Mereka berjalan pelan menuju gerbang utama yang telah dijaga oleh Kane, satu-satunya orang yang mengetahui tentang rencana mereka.

Tanpa membuang waktu, Evelyn naik kuda terlebih dahulu dan disusul Ethan. Mereka memakai Polis malam ini, kuda gagah itu dapat berjalan pelan tanpa banyak menimbulkan suara.

Setelah naik, Ethan mengerutkan kening bingung. Dimana ia harus meletakkan tangannya?

Evelyn ada di depannya, punggung gadis itu sedikit menempel padanya yang menimbulkan hawa panas dan canggung.

Setelah berpikir sejenak, Ethan mencondongkan tubuh ke depan dan meletakkan kedua tangannya di tali kendali kuda, sepenuhnya menenggelamkan Evelyn dalam pelukannya.

Evelyn menunduk dalam dengan gugup, menahan rasa malu dan berusaha meminimalisir pergerakan. Namun tak ayak, kehangatan dan rasa aman dibelakangnya sangat cocok untuk udara dingin di sekitar mereka.

Kuda itu berjalan pelan menyusuri jalan setapak yang diterangi cahaya bulan itu. Ketika medan menjadi sedikit rusak dan tidak terkendali, Evelyn sedikit oleng karena tidak berpegangan dengan tepat.

"Hati-hati."

Suara rendah pria terdengar tepat di telinganya. Tak lama kemudian, Evelyn merasakan pelukan di pinggang rampingnya. Ethan meletakkan satu tangannya disana untuk mencegahnya jatuh sementara tangan lainnya memegang kendali.

Evelyn duduk diam dengan jantung yang berdetak lebih kencang, tidak berani bergerak. Tingkat kehadiran pria di belakangnya benar-benar mendominasi semua pikiran Evelyn, membuatnya semakin gugup.

Ethan melihat gadis di depannya yang tertunduk dalam dan tersenyum kecil. Apapun itu, ia akan berusaha membuat kenangan baik dengan Evelyn sebisa mungkin.

Tanpa mengatakan apapun, ia mengeratkan pelukannya di perut ramping Evelyn agar tidak terjatuh dan berkuda dengan hati-hati.

Tidak lama, mereka sampai di dekat kediaman keluarga Hubert berada. Ethan turun lebih dulu, ia berniat membantu Evelyn turun tapi gadis itu sudah turun dengan cepat.

Ia meletakkan Polis di dekat sebuah pohon yang sedikit gelap agar menyamarkan keberadaan kuda itu. Mereka akan berjalan kaki saja menuju ke kediaman itu.

"Tunggu disini," ucap Ethan kepada Polis. Entah kuda itu mengerti atau tidak, tapi dapat diyakini Polis tidak akan kabur.

Suasana hening dan tenang, kediaman Hubert diterangi lampu sorot yang menyinari gerbang depan dan tamannya. Sementara di sisi mereka berada, jauh lebih gelap dan tidak banyak penjaga yang berpatroli.

Keduanya berjalan pelan, menginjak daun kering menimbulkan suara gemerisik samar. Disana ada tembok besar yang terbuat dari bahan kokoh dan pagar besi yang tinggi.

Ethan tidak keberatan, sudah biasa baginya untuk melewati banyak rintangan. Pria itu menoleh pada Evelyn, tidak tahu apakah Evelyn membutuhkan bantuannya untuk memanjat tembok tinggi itu.

Namun kekhawatiran Ethan tidak berarti. Evelyn telah lebih dulu berjalan, memanjat pohon yang berada di samping tembok dan menaikinya.

Memang sulit bagi Evelyn melompat langsung melewati tembok setinggi itu, namun bukan berarti tidak ada cara. Sekarang gadis itu sudah berdiri di tembok dan melompat turun ke seberang.

Mengetahui hal itu, Ethan terkekeh kecil dan ikut melompat, mendarat dengan akurat. Suara langkah keduanya cukup keras di malam yang sunyi itu, membuat dua orang penjaga datang.

Ethan berlari ke sisi tembok depan kediaman, bersembunyi sampai langkah kaki terdengar lebih jelas. Segera, ia melumpuhkan dua orang itu bahkan sebelum mereka sempat berteriak.

Evelyn memperhatikan kecepatan pria itu dalam menghadapi lawan lalu beralih. Gadis itu menatap bangunan tinggi dua lantai yang bergaya klasik di depannya.

Jendelanya banyak namun kecil, kalau dimasuki, hanya muat satu orang itupun sulit karena tidak banyak balkon.

Ethan berjalan menghampiri Evelyn lalu berkata pelan. "Kau mengamati di sekitar sini saja, aku akan ke arah belakang."

Tempat mereka berada dekat dengan ruang kerja Count Hubert dan kamar pribadi Dyana. Tidak ada gunanya bagi Ethan untuk mengamati putri bungsu Hubert itu, hanya akan menyakiti mata dengan tingkah laku gadis itu.

"Ya." Evelyn mengangguk.

Ethan menatapnya sedikit lama kemudian berbalik dan segera pergi dengan cepat. Jubah hitam legamnya berkibar samar ketika Ethan melompat dan masuk ke lantai atas ruangan.

Evelyn beralih, menuju ruang kerja Count Hubert berada. Sayangnya, tidak ada seorangpun disana, kemungkinan Count itu sekarang berada di ruangan lain.

Evelyn mendekat, menatap jendela ruang kerja yang tertutup teralis besi rapat. Tidak mungkin baginya untuk masuk kesana.

Pandangan Evelyn beralih pada jendela di ruang sebelahnya lagi dan berjalan mengendap. Samar-samar, dari ruangan itu terdengar suara manja seorang gadis.

Di sana terlihat Dyana Hubert, sedang duduk di kursi santai sambil bersantai. Kakinya terangkat ke meja rias, wajahnya penuh dengan berbagai produk kecantikan alami. Sementara rambutnya disisir lembut oleh pelayan.

Benar... dia gadis muda manja yang hanya tahu berdandan.

Merasa tidak ada gunanya mengamati Dyana, Evelyn mundur. Ia menatap ke atas pada jendela kecil yang terbuka. Tempat itu ada di lantai dua, tepat di atas ruang kerja Count Hubert.

Evelyn mendekati tembok menonjol yang sekiranya bisa ia naiki. Tanpa basa-basi, Evelyn menarik napas dan mulai memanjat hati-hati menuju balkon kecil disana.

Jendela terbuka itu mempermudah Evelyn masuk. Dan betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa itu bukan ruang kosong ataupun gudang, melainkan ruang dengan berbagai barang terlarang.

Terdapat banyak rak yang di setiap sisinya tersusun berbagai jenis ramuan dan obat. Warnanya bermacam-macam, ada kuning, putih dan merah. Sebagian besar dalam bentuk cairan.

Cahaya kuning remang-remang semakin menambah aura mistis di ruangan itu. Mata Evelyn menjelajah sampai matanya tertuju pada satu titik.

Disana... sebuah botol kecil dengan cairan berwarna hijau pekat. Tersimpan rapi dan bersih di rak paling tinggi.

Itu... racun Lican?

Evelyn menatap terkejut namun tak bisa memastikan secara langsung. Mengapa racun itu berada di kediaman Hubert? Apa Count Hubert juga terlibat?

Sebenarnya... Count Hubert adalah kambing hitam atau mungkin, mereka dalangnya?

Evelyn melangkah lebih dekat, tangannya terulur menjangkau botol hijau itu. Kecil dan ringan... namun aura gelap yang seolah menyelimuti membuat tangan Evelyn bergetar halus.

More Chapters