"Kita bebas, saking bebasnya sampai tidak memiliki apapun," lanjutnya lagi.
Kehidupan Louis memang sekilas sempurna, ia tidak pernah dikekang ataupun diberikan tugas berat. Semua perilakunya tidak pernah ditentang, selagi tidak menimbulkan masalah.
Sayangnya, kebebasan itu bukan terasa seperti anugrah, melainkan penyisihan. Ia merasa, dirinya sengaja dijauhkan dari tahta dan kekuasaan agar tidak memiliki apa-apa.
Kedua kakaknya menikah dengan gadis yang bisa memperkuat statusnya. Mengapa ia tidak menemukan yang seperti itu juga?
Giginya bergemeletuk, rahangnya mengeras. Namun dalam sekejap, sebersit cahaya melintas di matanya. Kekehan sinis terdengar, keluar dari bibirnya yang selalu tersenyum hangat.
Benar...ia masih memiliki harapan.
Pasukan terakhirnya, yang jauh lebih kuat dari semua pasukan di Kerajaan ini.
Teman-temannya tidak menghentikan itu, hanya membiarkan Louis meluapkan semua kekesalannya sambil terus bersemangat.
Mereka berempat telah berteman sejak kecil. Rasa saling percaya selama bertahun-tahun mulai tumbuh, membuat Louis tidak ragu untuk mengungkapkan masalahnya pada mereka.
Keesokan harinya, langit berubah biru. Cahaya matahari mulai menyambangi penginapan tempat Louis menghabiskan malamnya.
Pemuda itu berjalan keluar, senyum cerah yang tadi malam menghilang kini kembali lagi. Ia menatap ramah, membalas sapaan semua rakyat yang menyambutmu sembari mendengus jijik dalam hati.
Memang, ini yang ia inginkan. Pujian dan kehormatan dari semua orang. Dan yang Louis inginkan bukan sekedar pujian.... namun pengakuan.
Pemikiran itulah yang membuatnya ingin menjadi orang dengan puncak kekuasaan tertinggi. Sang Raja yang agung dan berwibawa dengan setiap kalimatnya membawa dekrit tak terbantahkan.
Pemikiran itu bertahan lama, sampai akhirnya Louis menyadari seseorang menubruk tubuhnya dengan cukup keras.
Louis melangkah mundur, hampir tersandung. Tatapannya jatuh pada orang yang menabraknya. Orang itu–seorang gadis cantik berambut merah muda sedang duduk di tanah dengan ekspresi kesakitan.
Pakaiannya lusuh, terkena noda dari tanah yang lembab. Keranjang bawaan tang berisi buah kini berhamburan tak tentu arah.
Melihat itu, Louis mengulurkan tangannya, berniat menolong. Gadis itu menyambut uluran itu kemudian mendongakkan kepala.
Ketika melihat siapa orang di depannya, gadis itu tertegun dengan wajah memerah.
Siapa yang tidak kenal dengan Pangeran ini, pangeran ketiga yang terkenal ramah dan murah hati. Hampir semua gadis menyukai dan menginginkan Pangeran seperti itu untuk menjadi suami mereka.
Tapi apa daya, mereka hanyalah gadis miskin dan tinggal di sisi ibukota yang padat. Sangat tidak pantas bagi mereka memiliki keinginan seperti itu tentang keluarga kerajaan.
Jadi beberapa gadis hanya bisa melihat dan memperhatikan pangeran itu dari jauh, termasuk dirinya.
Louis memasang senyum ramah dan lembut, ia tahu bahwa gadis muda di depannya terpesona padanya. Tangannya menarik, membuat gadis itu berdiri.
Louis menunduk, mengambil keranjang buah yang terjatuh sebelum menanyakan keadaannya.
"Apa anda tidak apa-apa Nona? Apakah ada yang terluka, jika anda terluka tolong segera diobati, mari saya antar," ucapnya perhatian, nadanya terdengar lembut dan sopan.
Gadis itu masih menatap Louis intens lalu segera tersadar. Ia buru-buru menunduk, wajahnya semakin merah, semerah tomat yang ada di keranjangnya.
Mendengar pertanyaan itu, iq segera menggeleng panik. "Ti-tidak Tuan, Ah maaf maksud saya Pangeran, Pangeran ketiga. Itu, saya tidak terluka sedikitpun."
Gadis itu kembali menunduk, sambil sesekali melirik Louis yang ada di depannya. Jantungnya berdegup kencang, rasa senang dan gugup semakin intens membuatnya berdiri gelisah.
"Syukurlah, lain kali anda harus berhati-hati, Nona. Tidak baik jika anda terluka dan membuat kulit mulus anda lecet. Seorang gadis seharusnya tidak mengerjakan pekerjaan kasar seperti ini," ucap Louis, membuat gadis itu malu karena bertemu pangeran impiannya dalam kondisi kotor seperti ini.
Ia tersenyum simpul, lalu bersuara pelan. "Ba-baik Pangeran, saya minta maaf. Saya...saya juga mengucapkan terimakasih karena Pangeran mau membantu saya."
Louis mengangguk pelan. "Baiklah, jika tidak ada yang diperlukan lagi, saya pamit."
Setelahnya, Louis bersiap pergi untuk melanjutkan perjalanan. Gadis itu mengigit kukunya panik, sebelum menarik napas dan memanggil, "Pa-pangeran! Tunggu sebentar."
Langkah Louis terhenti, ia berbalik badan mendengar gadis itu memanggilnya.
"Apa ada masalah lagi?" tanyanya.
"Tidak! Itu.." Gadis itu sempat terdiam sejenak, sempat bingung sebelum mengambil langkah berani. "Nama saya Amy Pangeran, Amy Allison. Tolong ingat nama saya."
Gadis itu berucap cepat dalam sekali napas. Setelahnya, ia berbalik dan berlari kecil meninggalkan Louis dengan malu.
Louis mengangkat alisnya sebelah dan terkekeh. "Amy..."
"Akan ku ingat," gumamnya sambil menatap punggung gadis itu yang perlahan menjauh dan hilang ke balik pohon.
Amy kabur, ia berjalan setengah berlari sebelum terdiam dengan napas gugup. Jantungnya masih berdetak kencang dengan senyum yang masih belum memudar.
Gadis itu berlindung, menyandarkan tubuhnya dibalik pohon dan menangkupkan wajahnya. Wajahnya terasa panas, ia sungguh ingin berteriak dan mengatakan kepada semua orang bahwa ia telah bertemu secara pribadi dengan Pangeran ketiga.
"Pangeran sudah tahu namaku," ucapnya pelan dengan senyum lebar kemudian berjingkrak kegirangan.
Tidak masalah jika setelahnya pangeran akan melupakannya. Yang pasti, Amy bahagia Pangeran itu sudah tahu namanya. Bahkan jika ini pertemuan terakhir mereka, ia tetap merasa senang.
Malam dan siang telah berganti beberapa kali. Selama itu pula, banyak hal terjadi di Kerajaan. Salah satunya, kabar mengenai diadakannya perjamuan ulang tahun Leonardo dan Ethan mulai tersiar.
Ulang tahun itu akan diadakan dua bulan lagi, namun beberapa persiapan telah dimulai, khususnya bagi orang yang terlibat.
Benar... Kedua pangeran itu lahir di hari yang sama. Itulah sebabnya tahta dan posisi pewaris telah lama menjadi simpang siur dalam Kerajaan.
Sebagian menilai Ethan lebih layak, karena ia satu-satunya anak yang lahir dari Ratu sah Kerajaan. Sementara yang lain berpendapat bahwa potensi Leonardo lebih tinggi karena memiliki dukungan langsung dari ibunya.
Evelyn duduk termenung di balkon kamarnya di kediaman pangeran kedua. Matanya menatap lurus pada bunga anggrek putih di depannya.
Melihat bunga itu, benaknya teringat akan Irene–Ratu sah Kerajaan yang sayangnya telah meninggal sebelum digantikan oleh Feliza.
Kata pelayan senior di Kerajaan ini, seharusnya Ethan lebih dulu lahir karena Irene lebih dulu mengandung. Namun beberapa insiden terjadi, membuat Feliza yang saat itu baru hamil tujuh bulan melahirkan lebih awal, beberapa saat sebelum Irene.
Hal itu membuat Leonardo, anak yang dilahirkannya menjadi pangeran pertama Kerajaan.
Saat itu, Feliza melahirkan ditemani tabib tersohor Kerajaan. Sementara Irene melahirkan dengan ditemani pelayan dan bidan muda lain.
Evelyn menghela napas, berdiri dan duduk di atas kasurnya. Cahaya matahari masuk, berkilau dan memantulkan sinarnya pada gelang emas di atas meja.
Melihat itu, ia akhirnya teringat bahwa hari ini adalah jadwalnya untuk pergi ke pelelangan besar. Ia bergegas bangkit, mengambil jubahnya dan penutup kepala.
"Nona, apa anda yakin akan pergi sendiri?" tanya Ginna khawatir sembari memperbaiki tudung Evelyn.
