Kalimat itu menghantam titik terlemah Feliza, membuatnya melayangkan tatapan tajam pada Hans. Dirinya paling tidak suka dengan kalimat yang mengingatkannya pada Irene-orang yang seumur hidup ingin ia singkirkan beserta keturunannya.
Irene menempati posisi tertinggi di kerajaan ini, bahkan di hati Raja Philip. Keberadaannya selalu dikenang indah dan secara bersamaan, membuatnya terlihat seperti bayangan.
Sekeras apapun usahanya untuk tampil sempurna, semua orang pasti selalu membandingkannya dengan Irene-yang memang lebih baik darinya. Feliza membenci Irene sampai ke tulang dan tetesan darah terakhir.
Oleh karena itu, ia tidak akan membiarkan sekecil apapun kehadiran Irene dalam hidupnya, bahkan keberadaan Ethan juga akan ia musnahkan.
Hans terkekeh licik dan berkata dengan nada main-main, "baiklah baiklah, anda tenang saja. Tidak baik seorang Ratu bertingkah dengan didasari emosi pribadinya."
Feliza diam saja, enggan menanggapi kalimat sarkas itu. Setelah dirasa cukup, Hans bangkit dan melakukan penghormatan selayaknya kepada Ratu untuk pamit.
Wanita itu terdiam lama, bibirnya naik dan menyeringai penuh arti, entah apa yang ada dalam pikirannya.
Sementara jauh dari jangkauan keduanya, seseorang memperhatikan dengan tatapan penuh dendam. Amarah menyelimuti hatinya dan sekian detik kemudian, dia berbalik pergi.
Malam harinya, setelah makan malam Ethan meminta Evelyn untuk menemuinya di ruang kerja. Ia ingin membicarakan rencana mereka yang kemungkinan akan sedikit tertunda karena masalah baru baru ini.
Evelyn masuk dengan tenang, tanpa kata ia segera duduk di sofa kesukaannya, gadis itu sedikit penasaran dengan jawaban Raja. Kapan mereka bisa mengungkapkan sesuatu tentang racun Lican, juga agar ia dapat segera menyelesaikan misi.
Kane yang selalu mendampingi Ethan pun segera pamit keluar untuk mengawasi keadaan.
Tanpa menunggu Ethan berbicara, ia langsung bertanya, "Bagaimana?"
Ethan sedikit menghela napas. "Ada sedikit masalah sekarang, Raja menyuruh kita tidak pergi untuk sementara waktu sambil menunggu keadaan membaik."
Evelyn mengerutkan kening bingung, masalah apa lagi yang ditimbulkan oleh orang-orang itu. "Mengapa? Apa yang terjadi?"
"Marquess sepertinya menggunakan ini untuk menyerang kita balik. Dia menyebarkan spekulasi bahwa penyerangan di hari perburuan kemungkinan dilakukan oleh musuh. Karena racun itu hanya ditemukan di Kerajaan ini, banyak orang berasumsi bahwa seseorang dari Kerajaan inilah yang telah bekerjasama dengan musuh."
Evelyn terdiam berpikir kemudian mengangguk paham. "Lalu, kaulah yang telah dicurigai sebagai kaki tangan musuh?"
"Ya, karena hanya akulah yang paling sering keluar masuk di Kerajaan ini. Kemungkinan besar itulah yang diinginkan Marquess, membuat reputasiku semakin hancur dan rakyat tidak akan percaya padaku."
Walaupun biasanya rakyat memang tidak pernah berada di pihaknya, tapi mereka masih terbilang menghormatinya karena status dan prestasinya di Kerajaan ini.
Evelyn berdecak sambil menghela napas kesal, Marquess itu benar-benar pria yang menjijikkan dan tidak punya hati nurani. Bagaimana bisa Ethan yang bertahun-tahun keluar masuk di kerajaan karena perang ini menjadi sasaran fitnah dan dimanfaatkan.
"Dan apa sekarang rumor itu sudah disebarkan?"
"Belum, Simon telah memblokirnya. Dan kemungkinan juga pria itu menunggu waktu yang tepat untuk menyebarkannya kepada publik. Atau mungkin juga, mereka menunggu kita membuat gerakan. "
Di ruang rapat kerajaan tadi, ia melihat bahwa Marquess itu sempat ingin menyenggolnya dengan pertanyaan menyudutkan.
Tapi sebelum itu terjadi, Simon telah lebih dulu maju dan membeberkan beberapa fakta yang mengarah kepada bukti adanya keterlibatan seorang bangsawan di kerajaan ini, bukan musuh.
Analisis itu langsung membuat diskusi memanas dan masing-masing membuat beberapa kesimpulan dalam hati.
Keduanya terlarut dalam pikiran masing-masing, "Hal itulah yang membuat Raja meminta kita untuk tidak bepergian atau pergi keluar istana selama beberapa waktu. Jadi kita tidak bisa keluar, kau juga bisa menyelesaikan masalah tokomu dulu sebelum kita pergi."
"Baik," balas Evelyn singkat, kemudian ia berdiri. "Kalau begitu selamat malam."
"Ya." Jawab Ethan dengan senyum tipis.
Sementara di sudut lain ibukota, sebuah penginapan dengan cahaya samar. Cahaya bulan remang-remang masuk melalui jendela, menerangi beberapa orang yang sedang duduk di depan meja bundar ditemani botol minuman.
"Louis, apa rencanamu sekarang." Seseorang berkata, memulai percakapan sembari melempar kartu yang ada di tangannya.
Suara lemparan itu terdengar keras, memecah keheningan malam. Louis, orang itu duduk bersandar pada sofa sambil menegak minumannya.
Ekspresinya dingin, keras sampai temannya yang duduk disamping merasakan hawa dingin menusuk tulang.
Bibir Louis mengeluarkan seringai dingin, benaknya kembali teringat saat ibu dan ayahnya yang tak pernah melibatkannya pada urusan kerajaan.
"Apa lagi, Louis pasti akan merebut semuanya." Pertanyaan tadi dijawab oleh pria lainnya. Hal itu menimbulkan tawa yang menggema di ruangan gelap tertutup itu.
Tak lama, cangkir minuman di tangannya diletakkan kasar, menginterupsi permainan kartu teman-temannya membuat mereka berhenti sejenak.
Tawa ejekan itu berhenti di udara, mereka saling melempar pandangannya dalam dia. Ketiga orang itu tahu perangai Louis, pangeran ketiga itu pasti sedang dalam masalah.
"Brengsek! Bajingan! Leonardo itu, dan Ethan. Mereka berdua tidak boleh berhasil." Mata Louis berkilat dendam, nadanya dingin, membuat hawa di sekitar berubah semakin menusuk.
Cangkir di tangannya terlempar, pecah berkeping-keping namun tidak ada yang berniat menyelanya. "Aku yang seharusnya menjadi Raja, aku! Rakyat lebih memperdulikan aku, rakyat lebih menyukaiku, aku yang seharusnya naik tahta!"
"Aku yang lebih banyak bekerja keras dari dulu, tapi mengapa hanya Leonardo saja yang layak dijadikan sebagai Pangeran Mahkota. Mengapa semua orang tidak pernah mempertimbangkan aku!"
Memang.... Louis begitu membenci fakta bahwa Leonardo yang menjadi pangeran mahkota, bahkan disaat orang itu hanya berdiam di istana. Ditambah lagi, Emely yang selama ini diincarnya justru dijodohkan dengan kakaknya.
Kemudian Ethan, yang telah lama absen dari Kerajaan justru kembali bahkan lebih kuat lagi. Jalan Louis dalam mengambil tahta menjadi semakin sempit, ditambah ia tidak mempunyai banyak pendukung di pihak bangsawan.
Mengapa hanya keduanya yang diperdulikan dan didukung? Mengapa bukan dia? Mengapa hanya mereka yang dibanggakan dan diberi kepercayaan.
Sementara ia justru berusaha keras membangun citranya sendiri. Ia berpura-pura ramah pada semua orang, ikut kegiatan sosial bahkan mengajari mereka pelajaran pengetahuan.
Itu semua Louis lakukan, bahkan disaat ia begitu membenci berdekatan dengan rakyat miskin yang bau itu. Ia melakukan semuanya selama bertahun-tahun, namun tidak ada yang meliriknya.
Apa mereka pikir semua kerja kerasnya selama ini hanya sukarela?
Pangeran itu terus meracau keras, kalimatnya padat membuat teman-temannya paham apa yang terjadi padanya.
Mereka mengangguk beberapa kali, lalu melanjutkan bermain kartu dan minum diselingi suara Louis yang memenuhi ruangan.
Gerald–salah satu bangsawan yang menjadi temannya menghela napas. Ia menggelengkan kepala lelah melihat tingkah dan kebiasaan buruk temannya.
"Sudahlah Louis, lupakan saja rencanamu itu. Mari kita hidup seperti ini, bebas dan bisa melakukan apapun tanpa terikat aturan kerajaan yang membosankan itu." Gerald menasehati, yang bahkan tidak terdengar baik.
Louis mendengus dingin. "Bebas?" celetuknya.
