Cherreads

Chapter 2 - Chapter 2 – Embers of Will

Chapter 2 – Embers of Will (Percikan Kehendak)

Fajar menyapu Desa Yunboa dengan cahaya lembut keemasan. Embun pagi masih menggantung di ujung dedaunan, dan suara kaki kecil berderak di antara semak basah. Di tepi hutan kecil sebelah timur desa, Lawzi Zienxi dan Lawzi Vuyei berdiri berhadapan sambil memegang tongkat kayu yang dipotong dan dihaluskan sendiri.

“Siap?” tanya Vuyei, matanya menyipit menantang.

Zienxi mengangguk, mengangkat tongkatnya. “Jangan menyesal kalau menangis.”

Mereka saling menyerang perlahan. Gerakan belum rapi, tapi penuh semangat dan tekad. Dari kejauhan, Lawzi Jeu dan Lawzi Kunren mengamati dengan tangan menyilang di dada. Kunren bersiul pelan.

“Mereka sudah bisa jaga keseimbangan lebih baik dari bulan lalu,” katanya sambil mengusap janggut pendeknya.

Jeu mengangguk. “Itu karena mereka mulai percaya pada langkah mereka sendiri. Tidak semua anak seusia mereka punya itu.”

Kunren menoleh pada Jeu. “Kau tahu, Jeu... aku lihat percikanmu di mata Zienxi. Tapi Vuyei, dia mewarisi nyaliku yang tak bisa diam.” Ia tersenyum kecil. “Kalau mereka terus seperti ini... bisa jadi pasangan kultivator sejati.”

Jeu tertawa pelan. “Jangan terlalu jauh, Kunren. Mereka bahkan belum bisa menangkap ayam.”

Setelah beberapa waktu, latihan diakhiri dengan peluh dan tawa.

“Bagus,” kata Jeu saat mereka duduk di bawah pohon beringin tua. “Tapi keberanian bukan hanya soal menangkis dan menyerang. Kadang, keberanian adalah saat kau tetap berdiri meski tubuhmu ingin rebah.”

Zienxi menghela napas, menyeka keringat. “Kenapa kita harus latihan seperti ini, Ayah? Bukannya kita sudah cukup aman di desa?”

Jeu menatap langit sebentar sebelum menjawab.

“Dunia di luar Yunboa... luas. Ada tempat-tempat yang tak bisa kau bayangkan sekarang. Gunung terapung, hutan yang bicara, sungai yang alirannya berlawanan dengan waktu. Dan di tempat-tempat itu, para kultivator melatih kekuatan mereka. Menyatu dengan alam, memahami energi kehidupan Qi.”

Vuyei mencondongkan tubuh ke depan, matanya berbinar. “Apa mereka bisa terbang?”

Kunren tertawa. “Beberapa. Tapi mereka yang bisa terbang... juga bisa membuat tanah terbelah. Dahulu, ada sekte besar hampir merebut seluruh wilayah utara, tapi dihentikan oleh sekte bernama Daun 7 Sisi. Mereka tak terkenal, tapi kekuatannya seperti bisikan yang bisa merobek langit.”

Zienxi mendesah. “Kedengarannya melelahkan.”

Semua tertawa.

“Aku mau belajar lebih banyak,” ujar Vuyei lirih, tapi penuh tekad.

Jeu memandang keponakannya, lalu tersenyum. “Mungkin suatu hari kau akan menemukan jalanmu sendiri.”

Sore harinya, aroma manis kue ketan dan wangi dupa memenuhi udara. Di pelataran rumah keluarga Lawzi, para wanita menata hiasan bunga, para pria menggantung lentera. Anak-anak berlarian dengan riang.

Quim Zunxi dan Tsai Mianzu sibuk menyusun minuman buah dan makanan. Zienxi dan Vuyei membantu mereka.

“Pastikan potongan buah tidak tumpah,” ujar Mianzu pada Zienxi.

“Ia memotongnya lebih rapi dari Vuyei, Kak. Jangan khawatir,” timpal Quim sambil tersenyum.

“Hmph! Aku cuma kurang fokus, bukan kurang terampil!” protes Vuyei.

Mianzu tersenyum sambil mencubit pelan pipi putrinya. “Sifat keras kepala itu dari ayahmu. Tapi tekadmu… itu dari garis ibu.”

Beberapa kereta sederhana tiba dari selatan. Tawa dan langkah kaki memenuhi pelataran.

“Wafei!” seru Zienxi begitu melihat sepupunya, anak laki-laki tinggi dengan rambut diikat ke belakang.

“Masih ingat caramu kalah lomba lari dariku?” seru Wafei.

Zienxi menyeringai. “Hari ini aku menang.”

Jian Sixie turun dari kereta dengan anggun, didampingi Defei Sixie dan Jian Lode. Mereka disambut hangat oleh Defei Heifei.

“Sudah lama tak melihatmu, Sixie!” sapa Vuyei.

Sixie tersenyum. “Aku bawa teh dari barat. Kita bisa menyeduhnya nanti.”

Malamnya, lentera-lentera menggantung di sepanjang halaman. Meja-meja penuh makanan. Tawa dan musik mengisi udara.

Zienxi duduk di tangga, menatap keramaian dengan hati hangat. Di sampingnya, Vuyei menulis di buku kecil.

“Menulis apa?”

“Nama-nama yang datang hari ini. Aku tak ingin melupakan satu pun dari mereka.”

Zienxi memandang bintang. “Semoga malam seperti ini... bisa terus ada.”

Pagi berikutnya, mereka bermain di sungai belakang rumah. Jeu, Kunren, Gue dan Lode duduk di teras dengan teh hangat.

“Kita dulu juga suka main di sungai itu,” gumam Kunren. “Sekarang anak-anak kita. Waktu benar-benar berputar cepat.”

Jeu mengangguk. “Semoga mereka bisa menikmati masa kecil ini selama mungkin.”

“Dunia luar tak pernah tidur,” timpal Gue.

Di dapur, Quim, Mianzu, dan Heifei menyiapkan camilan.

“Zienxi keras kepala,” kata Quim geli.

“Vuyei terlalu berani. Kadang aku khawatir dia akan nekat pergi ke gunung sendirian,” kata Mianzu sambil tertawa kecil.

“Wafei... terlalu suka tidur. Sampai aku ragu dia bisa bangun untuk jadi kultivator,” ujar Heifei.

Tawa meledak dari dapur kecil itu.

Defei Sixie tiba-tiba datang membawa kantung kulit.

“Aku ingin menunjukkan sesuatu.”

Anak-anak mendekat. Para orang dewasa saling menoleh. Sixie membuka kantung, mengeluarkan cincin coklat kehitaman dengan motif akar halus bercahaya samar.

“Ini... Cincin Akar Roh.”

“Spirit Root Ring...” bisik Zienxi.

Jeu berdiri. “Kau bilang... Cincin Akar Roh?”

Semua terdiam. Tsai Mianzu melangkah mendekat.

“Dari mana kau mendapatkannya?” tanyanya, suaranya pelan tapi tajam.

Sixie menatap Mianzu. “Dari lembah Dewa Senyap. Kami jatuh ke gua tua. Cincin ini berada di tengah akar pohon mati... tapi seperti masih hidup.”

Jian Lode melanjutkan, “Ada aliran energi dalam akar-akar itu. Dan cincin ini... terasa seolah sedang tidur.”

Kunren menatap dalam ke arah cincin. “Cincin yang tidur... berarti menunggu pemiliknya. Tapi tak semua pemilik... bisa mengendalikannya.”

Mianzu menyipitkan mata. “Aku pernah melihat simbol ini... di gulungan lama di Paviliun Gunung Jing. Itu bukan cincin biasa. Itu... bisa membuka sesuatu.”

Semua saling pandang.

“Apakah itu berbahaya?” tanya Kunren.

“Entahlah,” jawab Sixie. “Tapi takdir mungkin sudah menaruh perhatian ke tempat ini.”

Zienxi memandangi cincin itu sekali lagi. Kali ini, dalam hatinya muncul rasa… yang belum bisa ia jelaskan.

More Chapters