Chapter 6: Hari Saat Kamu Lupa Aku Ada
Hari itu hari Minggu. Hujan tak turun, langit terang, dan udara sejuk. Tapi tak ada percakapan hangat di meja makan, tak ada rencana spontan ke luar kota seperti dulu.
Kalya bangun lebih dulu. Ia memasak sarapan—dua piring nasi goreng, telur mata sapi, dan teh hangat, persis seperti yang dulu Arvin sukai.
Pukul delapan pagi, Arvin belum juga keluar dari kamar.
Kalya duduk sendiri di meja, menatap piring yang tetap penuh. Tehnya mulai dingin. Dan begitu waktu menunjukkan pukul sembilan, ia mengangkat piring itu, menyimpannya kembali ke kulkas.
Seolah tak pernah ada yang disiapkan.
Siang hari, Kalya melihat notifikasi dari Instagram.
Sebuah foto baru dari akun Arvin:
"Brunch with the team. Healing after long deadlines. #grateful"
Di foto itu, Arvin tampak duduk di restoran mewah bersama rekan-rekannya. Tertawa. Ceria.
Tanpa sepatah kata pun tentang Kalya. Tanpa pesan bahwa ia akan pergi. Tanpa pamit.
Kalya menggulir ponsel pelan. Tak ada rasa marah yang meledak. Hanya sunyi. Hanya sebuah kesadaran:
Hari ini, suamiku lupa bahwa aku ada.
Malamnya, Arvin pulang seperti biasa. Tidak terlambat. Tidak terlalu cepat. Ia membuka pintu, mengganti baju, dan duduk di sofa menonton TV tanpa kata.
Kalya duduk di sampingnya. Membisu. Tapi dalam hati, sebuah dialog tak terdengar terus mengalir:
"Apakah kamu masih tahu rasanya mencintaiku?Apakah kamu sadar... kamu lupa memberitahuku ke mana kamu pergi?Atau... apakah kamu hanya lupa bahwa aku masih di sini, menunggumu?"
Arvin menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke TV.
Dan Kalya tahu, bukan Arvin yang berubah dalam semalam. Tapi cinta itu... sudah lama bergeser, hanya saja ia terlalu lama menutup mata.
Hari ini bukan tentang pengkhianatan. Bukan tentang kebohongan.
Tapi tentang satu kebenaran paling sunyi dalam sebuah hubungan:
Bahwa seseorang bisa hadir setiap hari dalam hidup kita... dan tetap hilang tanpa kita sadari.