Istana Auralis di waktu senja tampak seperti lukisan yang hidup. Langit berwarna keemasan, menciptakan bayangan indah di atas menara-menara batu, dan angin membawa aroma manis dari taman bunga kerajaan.
Rania berdiri di balkon kamar yang baru diberikan padanya—kamarnya sendiri di istana. Sesuatu yang bahkan di dunianya dulu tidak pernah ia bayangkan.
Ruangannya luas, dihiasi perabotan kayu ukir, jendela besar dengan tirai berwarna ungu tua, dan cermin perak yang memantulkan wajahnya… wajah yang kini terlihat lebih lelah, tapi juga lebih… berani.
“Ini gila,” gumam Rania. “Aku tinggal di kerajaan. Di masa lalu. Dengan pangeran pemarah, monster waktu, dan gelang antik yang bisa nyetrum orang…”
Ketukan pelan di pintu memecah lamunannya.
“Masuk,” sahut Rania, lalu menyesal sendiri—karena belum terbiasa dengan tata krama kerajaan.
Yang masuk ternyata bukan pelayan, melainkan Arven.
Jubah biru tuanya sudah diganti dengan pakaian dalam istana yang lebih santai, tapi tetap elegan. Ia terlihat lebih muda tanpa baju kebesaran itu, dan untuk pertama kalinya… Rania menyadari sesuatu:
Arven tidak hanya misterius. Dia juga sangat tampan.
“Ini belum waktumu keluar dari kamar,” katanya tegas.
Rania memutar bola matanya. “Apa ini bentuk halus dari ‘jangan berkeliaran’? Tenang aja, aku nggak akan kabur. Aku bahkan nggak tahu ke mana arah timur di tempat ini.”
Arven mendekat pelan, tangannya membawa nampan berisi secangkir teh dan sepotong roti hangat.
“Belum ada yang bisa menjawab darimana kau berasal. Tapi para Penjaga Detik tidak datang tanpa alasan.”
“Jadi sekarang aku tahanan kerajaan atau… tamu kehormatan?” tanya Rania, mengambil roti itu.
“Perempuan dalam ramalan,” balas Arven, duduk di kursi di dekat jendela. “Bisa jadi penyelamat. Bisa jadi pembawa malapetaka.”
Rania duduk di ranjangnya, menatap langit di luar. “Aku nggak pernah merasa sepenting ini seumur hidup. Di rumah, aku cuma mahasiswi biasa. Sering telat bangun, suka drama Korea, dan gagal diet berkali-kali.”
Arven mengangkat alis. “Drama… Korea?”
Rania tertawa pelan. “Lupakan. Bukan dari zamanmu.”
Hening mengisi ruangan sebentar. Tapi tidak canggung. Justru seperti ada sesuatu yang tumbuh pelan di antara mereka.
“Aku tidak tahu kenapa kau dipilih oleh waktu,” ujar Arven akhirnya. “Tapi kalau kau memang perempuan itu… maka kita harus melindungimu.”
“Maksudmu... kita? Kau juga?”
Mata Arven menatap langsung ke matanya. Dalam. Penuh rahasia.
“Aku pangeran. Tapi di balik semua itu, aku juga manusia. Dan manusia... bisa mempercayai seseorang. Atau mencintai.”
Deg.
Kata itu meluncur begitu saja. Tapi bagi Rania, seperti satu dunia berubah.
Arven berdiri. “Kau butuh istirahat. Besok, kau akan mulai belajar tentang Auralis.”
“Belajar?” Rania mengerutkan kening. “Jadi aku juga ikut sekolah waktu?”
Arven hanya tersenyum tipis, untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu. “Kalau kau ingin bertahan hidup di istana ini, kau harus tahu mana yang nyata… dan mana yang hanya bayangan waktu.”
Dan sebelum ia melangkah keluar, Arven menoleh sekali lagi.
“Jangan terlalu mempercayai semua yang kau rasakan di tempat ini, Rania. Karena di istana… bahkan perasaan bisa dimanipulasi oleh waktu.”
Pintu tertutup.
Rania menatap ke arah pintu itu lama. Detak jantungnya belum tenang.
Malam itu, ia tidur dengan pikiran yang kacau: antara takut, penasaran, dan… entah kenapa, ingin melihat Arven lagi.