Malam turun pelan di langit Auralis, menyelimuti istana dengan cahaya bulan pucat yang menembus jendela-jendela kaca patri. Namun langit malam itu tak sepenuhnya tenang.
Langit bagian utara bergetar. Retak.
Seolah ada sesuatu dari luar dimensi… memaksa masuk ke dunia ini.
Rania terbangun dari tidurnya, napasnya terengah. Mimpi barusan begitu nyata. Ia berada di tengah hutan waktu yang tak pernah ia kenali, tapi sosok lelaki bermata perak memanggilnya dari kejauhan, menyebut namanya dengan nada lirih tapi dalam:
> “Rania... aku menunggumu.”
Dan saat ia membuka matanya, gelang di tangannya kembali bersinar merah lembut. Jamnya berdetak... terbalik.
Tik... tak... tik... tak...
Tak lama, suara ledakan terdengar dari arah luar istana. Dentuman keras, disusul kilatan cahaya seperti petir, membuat tanah bergetar. Rania berdiri dan membuka jendela kamar dengan panik. Langit... terbuka. Di bagian utara, seperti luka besar di antara bintang.
“Celah waktu...” bisiknya.
Tak butuh waktu lama sebelum pintu kamarnya diketuk keras.
“Lady Rania! Anda harus ikut kami ke menara pengawas! Sekarang!” suara prajurit menggema.
Rania berlari mengikuti mereka, gaun malamnya terangkat sedikit saat ia menuruni anak tangga menuju balkon utama istana. Di sana, Arven berdiri tegap dengan wajah tegang. Tangannya mengepal, matanya mengarah ke titik cahaya di kejauhan.
“Apa yang terjadi?” tanya Rania cepat.
“Celah terbuka. Seseorang... jatuh dari langit.”
“Siapa?”
“Belum ada yang tahu.” Suara Arven terdengar tajam, tapi getarannya tak bisa disembunyikan.
Beberapa penjaga membawa tandu dari arah pelataran utara. Di atasnya... seorang pria muda dengan tubuh tinggi, rambut cokelat gelap panjang terurai, wajah tampan dan tenang, meski dalam keadaan pingsan. Wajah yang sama persis seperti...
“Elvaron…” Arven membisikkan nama itu, nyaris tak terdengar.
Rania mematung. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
Itu... dia. Pria dari lukisan. Pria dari mimpinya.
Pria yang entah mengapa... terasa familiar, bahkan sebelum mereka bertemu.
---
Beberapa jam kemudian, Rania duduk sendiri di ruang perawatan kerajaan, menatap pria yang kini berbaring di ranjang emas dengan jubah putih yang asing. Tangannya bergerak pelan. Matanya masih tertutup.
Namun gelang di tangan Rania berdetak semakin kencang.
Tik... tak... tik... tak...
Dan tiba-tiba, pria itu membuka matanya.
Mata perak. Seperti embun di atas pedang.
Perlahan, bibirnya bergerak.
> “Rania... akhirnya kita bertemu.”
Rania mundur satu langkah. “Kau... tahu namaku?”
Elvaron tersenyum samar. “Tentu saja. Aku mencarimu… melintasi waktu.”
Arven berdiri di pintu. Wajahnya tegang. Matanya menatap lurus ke arah saudaranya, lalu ke arah Rania… yang kini seolah berdiri di antara dua pusat gravitasi.
Satu yang menjaga.
Dan satu yang datang membawa teka-teki.
---
Malam itu menjadi awal dari segala hal yang tak bisa dihindari.
Rania tak lagi hanya gadis dari masa depan.
Ia adalah titik temu dua takdir.
Dan dua hati.