Fajar baru menyentuh langit Auralis. Tapi istana tidak dalam kedamaian seperti biasanya.
Ada ketegangan di udara.
Rania tahu itu sejak ia bangun dan mendapati dua penjaga berjaga di depan kamarnya.
“Perintah Pangeran Arven,” kata salah satu. “Tidak ada yang boleh mendekat padamu tanpa izin hari ini.”
Rania mengerutkan kening. “Kenapa? Apa yang terjadi?”
Tidak ada jawaban.
Tapi beberapa menit kemudian, Lera—pelayan setianya—masuk dengan wajah pucat.
“Ada penyusup, Lady Rania. Dari celah waktu utara. Penjaga menemukannya malam tadi... membawa teknologi asing. Dan... dia menyebut-nyebut namamu.”
Rania berdiri. “Namaku?! Siapa dia?”
“Belum diketahui. Tapi katanya dia berasal dari masa depan. Dari... abadmu.”
Deg.
---
Ruang bawah tanah istana dijaga ketat. Hanya bangsawan dan penjaga waktu yang diizinkan masuk.
Namun Arven—dengan ekspresi serius dan langkah panjang—mengizinkan Rania ikut bersamanya. “Dia mencarimu. Aku tak bisa melarangmu untuk tahu kebenaran.”
Mereka melangkah ke ruang penjara waktu, di mana seorang pria muda dengan pakaian hitam modern duduk di kursi besi, tangan terikat rantai bercahaya.
Matanya tajam. Wajahnya keras. Tapi saat melihat Rania, sorot matanya berubah lembut.
“Akhirnya... kamu di sini juga.”
“Siapa kamu?” tanya Rania, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Dari mana kamu datang?”
Pria itu tertawa pelan. “Aku dari masa depanmu. Tahun 2098. Namaku Kael. Dan aku pernah mencintaimu.”
Semua orang terdiam.
Termasuk Arven.
“Apa maksudmu?” tanya Rania pelan.
Kael menatap gelang di tangan Rania. “Gelang itu... dulunya milikmu. Kau adalah bagian dari tim pelacak waktu. Kita bekerja sama. Tapi ketika kau terjebak di masa ini... kau menghilang. Kami mencarimu selama bertahun-tahun. Lalu... aku menemukan celah.”
Rania terdiam. Ia ingin percaya, tapi hatinya masih penuh kebingungan.
“Buktinya?” desak Arven tajam.
Kael mengangguk ke arah gelang. “Coba tekan bagian bawah permukaan gelangnya. Di sisi dalam. Kau akan melihat ingatan yang terprogram.”
Dengan ragu, Rania mengikuti instruksi. Begitu jari-jarinya menyentuh bagian kecil di sisi bawah gelang... cahaya biru muncul, membentuk proyeksi.
Dan di sana—di dalam cahaya itu—terlihat dirinya. Dengan rambut lebih pendek, mengenakan pakaian modern, tersenyum... di samping Kael.
> “Kita akan selamatkan waktu, Rania. Bersama.”
Gambarnya menghilang.
Rania gemetar.
Arven memalingkan wajahnya.
Kael bicara lagi. “Kau bukan hanya gadis biasa dari masa depan. Kau pernah punya kehidupan sebelum ini. Dan aku... bagian dari hidup itu.”
Rania menggigit bibir. Semua ini seperti gelombang besar yang menghantamnya bertubi-tubi. Kenangan yang tak ia ingat. Hati yang terpecah. Dua pria di masa ini… dan satu dari masa depan.
“Jika kau ingin tahu siapa dirimu sebenarnya, Rania… ikut aku. Biarkan aku membawamu kembali.”
Rania menatapnya lama. Tapi kemudian menoleh ke arah Arven… lalu teringat senyum lembut Elvaron malam sebelumnya… lalu Kael yang kini terpenjara.
Tiga dunia. Tiga hati.
Dan semuanya… berpusat padanya.
---
Malam itu, Rania kembali ke kamarnya dengan kepala penuh tanya.
Tapi sebelum ia bisa memejamkan mata… gelangnya berdetak lagi. Lebih keras.
Dan kali ini, ia mendengar suara dari dalamnya:
> “Waktu akan memilih siapa yang layak menemanimu hingga akhir. Tapi hanya kau… yang bisa memilih dengan hati.”