Cherreads

Chapter 13 - BAB 13 — Keputusan yang Mengguncang Kota, dan Bayangan yang Tidak Lagi Seperti Manusia

Pagi itu kota masih setengah mengantuk.

Kabut turun rendah, membungkus bangunan kumuh, ruko tua, dan gang-gang sempit yang menjadi nafas dunia gelap.

Di salah satu ujung kota, di sebuah gedung tua bekas kantor koperasi, Lingkar Atas sudah menunggu.

Di sisi lain kota, di sebuah gudang tua penuh coretan dan bau oli, Anak Barat juga bersiap.

Keduanya yakin Surya akan datang pada salah satu dari mereka.

Dan siapa pun yang ia datangi… dialah pemenangnya.

Tapi Surya?

Ia tak menuju ke salah satu tempat itu.

Ia berjalan ke tengah kota, ke sebuah taman kumuh yang hanya dihuni pedagang bubur dan kakek-kakek yang memberi makan burung.

Tempat netral.

Tempat yang tidak punya sejarah apa pun.

Tempat yang tak pernah dipilih siapa pun—kecuali orang yang berniat mengubah permainan.

Surya duduk di bangku beton retak, menunggu.

Tak lama, dua mobil hitam milik Lingkar Atas berhenti di sisi kiri taman.

Di sisi kanan, lima motor besar Anak Barat berbaris seperti kawanan serigala.

Mereka datang bersamaan.

Tidak disengaja.

Tapi terasa seperti ditarik oleh sesuatu.

Utusan Brahma turun lebih dulu.

"Mas Surya, ini bukan tempat—"

Rango langsung memotong dengan tawa kasar,

"Anak ini tahu apa yang dia lakukan. Wong cilik tapi licik, aku suka."

Kedua kubu saling menatap panas, siap adu jotos kapan saja.

Surya hanya menunduk sebentar.

Menghirup udara.

Seolah mendengarkan sesuatu yang tak bisa didengar manusia lain.

Lalu ia berdiri.

"Dengarkan baik-baik," katanya pelan.

Tapi suaranya menusuk seperti logam dingin.

"Aku tidak akan masuk ke salah satu dari kalian."

Hening.

Tajam.

Semua menegang.

"Aku akan membuat jalanku sendiri."

Utusan Brahma kehilangan senyum diplomatisnya.

"Mas Surya… apa maksud Anda?"

Surya menatap semua orang dengan mata hitam kelelahan—tapi ada sesuatu di baliknya.

Sesuatu yang gelap, dalam, seperti arus sungai bawah tanah.

"Aku tidak mau jadi pion. Tidak mau diatur. Tidak mau jadi alat."

Rango maju dua langkah, suaranya berat:

"Kamu main api, Dik. Dunia ini cuma punya dua sisi. Kamu harus pilih salah satu."

Surya menggeleng.

"Tidak. Mulai hari ini, ada sisi ketiga."

Lalu terjadi sesuatu yang membuat semua orang gemetar.

Seekor burung yang sejak tadi hinggap di atas bangku tiba-tiba terjatuh.

Mati begitu saja.

Udara terasa lebih dingin, seperti ada sesuatu yang merayap keluar dari tanah.

Surya menutup matanya sebentar.

Dan ketika ia membuka lagi, tatapannya berbeda:

lebih dalam,

lebih gelap,

lebih… tidak manusia.

Beberapa orang Anak Barat mundur setapak.

Seorang dari mereka berbisik,

"Bos… matanya… kok kayak… bukan orang?"

Rango merasakan bulu kuduknya berdiri.

Ia pernah melihat tatapan begini pada beberapa orang paling berbahaya di hidupnya.

Tapi pada Surya?

Tidak.

Ini lebih parah.

Lebih… tua.

Lebih… sunyi.

Seperti sesuatu yang lama tidur di dalam diri Surya akhirnya bangun.

Utusan Brahma mencoba menenangkan situasi.

"Mas Surya, Lingkar Atas bisa mendukung Anda. Kalau ingin jalur sendiri, kami—"

"Aku tidak butuh dukungan," Surya memotong.

"Aku butuh… ketakutan kalian."

Kata-katanya menggema seperti suara dari balik sumur gelap.

Rango mengepal.

"Jadi kamu mau tantang kami semua?"

Surya menatapnya tanpa berkedip.

"Aku tidak menantang kalian.

Aku hanya menempatkan kalian… di bawahku."

Itu bukan kalimat sombong.

Bukan ancaman.

Lebih mirip pengumuman.

Seperti ia hanya menyatakan apa yang sudah ditulis di batu sebelum mereka lahir.

Dan saat itulah dunia gelap kota itu bergetar—

Karena untuk pertama kalinya, baik Lingkar Atas maupun Anak Barat melihat sesuatu yang tak mereka pahami:

Seorang pemuda kurus dari kampung,

berdiri sendirian,

tanpa pasukan, tanpa dukungan, tanpa bendera…

tapi ditatap seperti sebuah bencana yang sedang berjalan,

bukan manusia.

Utusan Brahma menelan ludah.

Rango tak berkutik.

Dan Surya menambahkan, pelan tetapi pasti:

"Mulai sekarang, kalau kalian mau perang…

Peranglah di bawah namaku."

Ia berbalik, berjalan pergi.

Tenang.

Tidak tergesa.

Bukan lari dari bahaya—

tapi seperti menciptakan bahaya itu sendiri.

Malam itu, rumor mulai menyebar cepat:

"Surya bukan orang."

"Dia itu… ada sesuatu di dalamnya."

"Bukan manusia biasa."

Dan untuk pertama kalinya,

dua kelompok besar yang biasa menguasai kota

merasa seperti hanya berdiri di tepi bayangan yang lebih kelam.

Bayangan bernama Surya.

More Chapters