Udara di dalam gua terasa berat, lembap, dan berbau anyir. Setiap langkah kaki Jaka, Laras, dan Ki Samudra bergema panjang, seolah gua itu tak berujung. Dinding-dindingnya hitam pekat, berlumur lumut merah yang meneteskan cairan mirip darah.
Keris Cahaya Sukma memancarkan cahaya samar, menjadi satu-satunya penerang di tengah kegelapan pekat. Namun, semakin dalam mereka masuk, semakin kuat pula bisikan-bisikan asing terdengar di telinga mereka.
"Selamat datang…" suara berat itu bergaung."Selamat datang ke jantung kekekalan… tempat darah tak pernah kering…"
Laras memegang lengan Jaka erat-erat. "Jaka… aku merasa kita sedang diperhatikan."
Ki Samudra mengetukkan tongkatnya. Cahaya biru menyebar, menepis sebagian kabut yang merayap di lantai gua. "Benar. Roh Rangga Sakti bersemayam di sini. Dan dia tahu kita datang untuk menghancurkan perjanjiannya."
Simbol-Simbol Kuno
Di dinding gua, mereka menemukan pahatan aneh berbentuk lingkaran dan garis-garis rumit, seperti mantra kuno. Semakin dalam, simbol itu semakin banyak, dan dari celah-celahnya mengalir cairan merah pekat, menetes ke tanah, membentuk aliran kecil menuju pusat gua.
"Ini…" bisik Jaka, "apakah ini darah korban dulu?"
Ki Samudra mengangguk pelan. "Ya. Inilah bukti bahwa perjanjian itu masih hidup. Darah mereka mengalir abadi, memberi makan pada kegelapan."
Naskah Terkutuk
Akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan luas di dalam gua. Di tengahnya berdiri sebuah altar batu hitam, dan di atasnya terletak sebuah gulungan naskah besar. Naskah itu tidak ditulis dengan tinta, melainkan dengan darah kental yang masih tampak basah meski berusia ratusan tahun.
Naskah itu berdenyut perlahan, seakan hidup. Dari permukaannya, kabut hitam menari, membentuk wajah-wajah yang berteriak tanpa suara.
"Di sanalah… naskah perjanjian Rangga Sakti," kata Ki Samudra dengan wajah tegang. "Jika naskah itu dihancurkan dengan Cahaya Sukma, maka perjanjian akan terputus. Tapi…"
Ia berhenti, menelan ludah.
"Tapi apa, Ki?" tanya Jaka.
Ki Samudra menatap lurus ke altar. "Rangga Sakti pasti akan menampakkan dirinya. Dia tak akan membiarkan perjanjiannya berakhir."
Bisikan Rangga Sakti
Seketika, udara di ruangan itu berubah semakin dingin. Api biru kecil menyala di sekeliling altar, membentuk lingkaran. Dari balik bayangan gua, muncul siluet seorang pria tinggi dengan jubah hitam, matanya merah menyala, wajahnya penuh luka, namun auranya memancarkan kekuasaan yang luar biasa.
Itulah Rangga Sakti.
"Jadi ini pewaris yang berani menantangku…" suaranya berat, bergema di seluruh gua."Jaka… kau tak berbeda denganku. Aku pun dulu hanyalah pemuda yang ingin membuktikan diri. Lihatlah sekarang, aku abadi, kuat, ditakuti. Mengapa kau memilih menjadi pahlawan tanpa nama, jika kau bisa memiliki segalanya?"
Jaka maju selangkah, keris di tangannya menyala terang. "Aku bukan kau, Rangga Sakti. Aku tak butuh kekuasaan untuk diingat. Aku hanya ingin desa ini bebas dari kutukanmu."
Rangga Sakti tertawa keras, suaranya membuat dinding gua bergetar."Desa? Rakyat? Mereka hanyalah pion. Cepat atau lambat, mereka akan melupakanmu. Tapi jika kau bergabung denganku, kita bisa menguasai segalanya. Dunia ini akan berlutut!"
Godaan Kegelapan
Tiba-tiba, bayangan pekat menyelimuti Jaka. Dalam sekejap, ia melihat dirinya duduk di atas singgasana emas, dikelilingi prajurit, rakyat yang berlutut, dan Laras yang mengenakan pakaian ratu di sisinya.
"Lihatlah masa depanmu, Jaka…" bisik Rangga Sakti. "Hanya dengan menyentuh naskah itu dan meneteskan setetes darahmu, kau akan mewarisi kekuatanku. Kau bisa melindungi semua orang yang kau cintai. Kau bisa abadi."
Jaka gemetar. Gambaran itu begitu nyata, begitu menggoda. Ia menoleh ke Laras dan dalam ilusi itu, Laras tersenyum padanya, seakan merestui pilihannya.
Namun suara asli Laras menembus ilusi itu. "Jaka! Jangan dengarkan! Semua itu bohong! Kau bukan Rangga Sakti! Kau berbeda!"
Keris di tangan Jaka bergetar. Cahaya biru dan bayangan hitam saling berebut di sekelilingnya.
Ki Samudra menghentakkan tongkatnya, suaranya menggelegar."Jaka! Ingat siapa dirimu! Ingat pengorbanan Mayang Sari! Ingat desa yang bergantung padamu! Jangan biarkan kegelapan menelanmu!"
Pertarungan Jiwa
Rangga Sakti maju, matanya menyala. "Pilih, Jaka! Bergabung denganku, atau hancur bersama naskah ini!"
Jaka berteriak, menepis ilusi singgasana."Tidak! Aku tidak ingin kejayaan atau kekuasaan. Aku hanya ingin mengakhiri penderitaan ini!"
Ia mengangkat keris tinggi, cahaya biru menyala semakin terang, menerangi seluruh gua. Wajah-wajah di naskah berdarah itu berteriak, seolah merasakan ancaman nyata.
Rangga Sakti mengaum, tubuhnya berubah menjadi kabut hitam raksasa yang melingkupi ruangan."Kalau begitu, kau akan mati di sini, Jaka!"
Dan di saat itulah, pertarungan antara cahaya dan kegelapan benar-benar dimulai.