Gua hitam bergetar, dindingnya retak, dan tetesan darah jatuh dari langit-langit batu. Cahaya biru dari Keris Cahaya Sukma beradu dengan kabut pekat yang meledak dari tubuh Rangga Sakti. Suara jeritan ribuan jiwa bergema, membuat udara semakin berat dan mencekik.
Jaka berdiri di tengah lingkaran altar, napasnya terengah. Laras berada di belakangnya, mencoba tetap kuat meski wajahnya pucat. Sementara itu, Ki Samudra menancapkan tongkatnya ke tanah, mengeluarkan lingkaran cahaya pelindung yang menahan sebagian kegelapan.
Gempuran Pertama
Rangga Sakti menjelma menjadi sosok raksasa setengah kabut, setengah manusia. Matanya merah membara, mulutnya terbuka menampakkan taring hitam. Dengan sekali ayunan tangannya, badai kabut menyapu ruangan, menghantam dinding gua hingga bebatuan berjatuhan.
"Jaka!" teriak Laras, menunduk menghindari batu yang runtuh.
Jaka mengangkat keris, cahaya biru melingkupi tubuhnya. Ia menangkis badai kabut itu, meski tubuhnya terdorong mundur beberapa langkah. Kakinya goyah, namun tekadnya tak runtuh.
"Kalau kau pikir aku akan menyerah… kau salah besar, Rangga Sakti!"
Pertarungan Cahaya dan Bayangan
Jaka melompat maju, mengayunkan kerisnya. Cahaya biru memotong kabut hitam, membuat tubuh Rangga Sakti bergetar dan terbelah sebagian. Jeritan ribuan wajah di tubuh bayangan itu menggema, namun segera menyatu kembali.
"Hahaha!" Rangga Sakti tertawa menggelegar. "Kau memang punya cahaya, tapi cahaya itu hanyalah api lilin! Aku adalah kegelapan abadi!"
Ia mengangkat tangannya. Dari tanah, muncul tangan-tangan hitam panjang, meraih kaki Jaka. Jaka terjerat, tubuhnya tertarik ke tanah, seakan ditelan bumi.
"Jaka!" Laras berlari, berusaha menariknya, tapi kabut hitam menghalanginya.
Ki Samudra menghentakkan tongkatnya, cahaya biru menyebar, melemahkan genggaman tangan-tangan hitam itu."Bangkit, Jaka! Gunakan keberanianmu, jangan biarkan hatimu digenggam bayangan!"
Bisikan Kegelapan
Saat terjerat, Jaka mendengar suara-suara di kepalanya."Lepaskan… kau akan mati sia-sia… Mayang Sari tidak bisa diselamatkan… desa itu akan tetap terkutuk…"
Suara itu menekan dadanya, membuat keris di tangannya hampir terlepas. Namun, di sela bisikan itu, suara lain terdengarsuara lirih, lembut, penuh duka.
"Jaka…"Itu suara Mayang Sari.
Ia melihat sekilas sosok wanita bergaun putih berdarah, berdiri di sisi altar, air matanya jatuh."Jangan biarkan pengorbananku sia-sia… bebaskan aku…"
Cahaya keris kembali berpendar kuat. Dengan teriakan lantang, Jaka memutus belenggu bayangan itu. Tubuhnya bebas, dan cahaya biru membesar, mendorong kabut menjauh.
Benturan Kedua
Rangga Sakti meraung, lalu menghunus tombak hitam yang muncul dari pusaran kabut. Tombak itu panjang, ujungnya berapi merah. Ia melemparkannya ke arah Jaka.
Jaka berlari maju, melompat, lalu menebas tombak itu dengan keris. Ledakan cahaya dan kabut terjadi, membuat seluruh gua berguncang. Batu-batu besar jatuh, namun lingkaran pelindung Ki Samudra menahan runtuhan.
Kedua kekuatan bertemu cahaya biru murni dan kabut hitam pekat. Gua bergetar, suara jeritan jiwa semakin keras.
Kekuatan yang Membelah
Jaka menutup matanya sejenak, mengerahkan semua keberanian dan tekadnya. Ia mengingat kembali wajah Laras, pengorbanan Bima, tangisan Mayang Sari, dan penderitaan desanya. Semua itu mengalir menjadi satu kekuatan.
"Aku tidak akan menjadi sepertimu, Rangga Sakti!" teriaknya."Aku akan mengakhiri ini sekarang juga!"
Keris Cahaya Sukma menyala lebih terang, cahayanya menembus seluruh gua, hingga naskah berdarah di altar ikut bergetar hebat.
Rangga Sakti berteriak marah, tubuhnya mulai retak, kabutnya terpecah."Tidak! Kau tidak bisa memutus perjanjian yang abadi ini!"
Namun cahaya biru semakin besar, membelah tubuh bayangan itu, menjerat wajah-wajah yang tertawan di dalamnya.
Akhir Babak Pertama
Ledakan cahaya memenuhi ruangan. Laras menutup mata, Ki Samudra menancapkan tongkatnya lebih kuat ke tanah. Seluruh gua bergetar, seakan akan runtuh.
Ketika cahaya mereda, Jaka berdiri di tengah altar, tubuhnya penuh luka, napasnya tersengal. Keris Cahaya Sukma masih bersinar, tapi redup.
Di hadapannya, Rangga Sakti belum sepenuhnya hancur. Sosok kabutnya mengecil, namun matanya tetap merah menyala, penuh kebencian.
"Kau memang kuat, Jaka…" suaranya parau. "Tapi perjanjian ini belum berakhir. Selama naskah berdarah itu masih utuh… aku akan selalu kembali."
Jaka menatap naskah itu berdenyut seperti jantung, mengalirkan kabut hitam. Ia tahu, pertarungan belum selesai. Untuk mengakhiri semua ini, ia harus menghancurkan naskah itu.