Bab 5: Saat Yang Mengejar Justru Tertinggal
Sejak Vera mundur dari kepanitiaan, suasana kampus jadi… tenang. Terlalu tenang.Seperti setelah badai, tapi langitnya masih mengancam.
Dan Davin mulai gelisah.
Sudah tiga hari Alya tidak menghubunginya duluan. Tidak menanyakan kabar, tidak mengirimkan stiker lucu seperti biasanya. Bahkan saat mereka berpapasan di koridor kampus, Alya hanya menyapa sekilas—datar, sopan, tapi dingin.
"Ly, kamu kenapa sih akhir-akhir ini?"
Alya menoleh pelan, wajahnya tenang.
"Aku cuma gak mau ganggu kamu. Kamu kelihatan sibuk."
"Jangan gitu dong. Aku kangen ngobrol kayak dulu…"
Alya tersenyum kecil.
"Kamu bisa ngobrol sama Vera. Katanya kalian nyambung banget."
Davin diam.Untuk pertama kalinya… ia tidak punya jawaban.
Di sisi lain, Alya sudah mulai bergerak ke fase berikutnya. Ia tak lagi hanya menyudutkan Vera. Kini, ia menciptakan jarak dengan Davin—membuat pria itu merasakan kehilangan tanpa benar-benar ditinggalkan.
"Orang yang paling takut kehilangan bukan yang ditinggalkan.""Tapi yang merasa segalanya sudah miliknya… lalu perlahan disadarkan bahwa semua itu bisa menghilang kapan saja."
Alya tahu betul, Davin benci ketidakpastian.
Dan itulah yang kini ia tanam: keheningan, ambigu, dan tanda tanya.
Suatu malam, Davin nekat datang ke kosan Alya.
Ia membawa makanan kesukaan Alya—nasi ayam geprek level 3 dan es teh tarik. Ia mengetuk pintu pelan.
Alya membukanya, masih mengenakan pakaian tidur dan wajah polos.
"Oh… kamu?""Ya, aku… aku bawa makanan. Aku tahu kamu lagi sibuk skripsi…"
"Terima kasih," ujar Alya, menerima makanan itu dengan sopan."Tapi… maaf, aku lagi gak pengen ngobrol panjang. Lagi mau revisi Bab 3."
"Alya…""Hmm?"
"Kamu marah ya?""Enggak.""Tapi kamu beda."
Alya mengangguk.
"Mungkin aku baru sadar... selama ini aku terlalu banyak ngasih."
"Dan kamu terlalu nyaman nerima, tanpa sadar kamu udah kehilangan aku…bahkan sebelum aku benar-benar pergi."
Davin terdiam di ambang pintu.
Alya menutupnya perlahan… tanpa membanting.
Malam itu, Alya duduk di depan laptopnya. Menulis satu kalimat di file yang sama, berjudul "Langkah".
Langkah 3: Bukan dia yang pergi. Tapi aku yang pelan-pelan membuatnya merasa ditinggalkan. Tanpa pernah benar-benar bilang 'selamat tinggal'.
Itu yang paling menyakitkan.