Bab 4: Suara di Dalam Kepala
Malam itu Nayla menatap langit-langit kamarnya. Hujan belum turun, tapi awan kelabu menggantung di pikirannya.
Di meja belajarnya, surat beasiswa dan surat untuk Ibu masih tergeletak. Diam. Tapi di kepalanya, semuanya bersuara.
"Kalau kamu pergi, siapa yang jaga adikmu?""Ibu capek, kamu anak pertama. Kamu harus ngerti.""Anak durhaka, pergi ninggalin keluarga."
Suara-suara itu tidak datang dari luar. Tapi dari dalam dirinya sendiri. Suara yang dibentuk oleh tahun-tahun perlakuan yang ia anggap biasa. Suara yang tumbuh dari luka-luka kecil yang tak pernah ia obati.
Nayla menutup telinganya, berharap semuanya diam. Tapi justru, satu suara baru muncul—lembut, kecil, nyaris tenggelam.
"Tapi aku juga ingin hidup…""Aku ingin bahagia, walau sekali."
Nayla terbangun dari lamunannya ketika Ibu masuk ke kamarnya tanpa mengetuk.
"Ngapain kamu dari tadi bengong aja? Udah disuruh nyapu belum?"
"Bu…" Nayla mencoba bicara. Tangannya gemetar. "Aku… aku dapet beasiswa. Keluar negeri. Jepang."
Ibunya terdiam. Lalu tertawa pendek.
"Kamu serius? Siapa yang mau biayain kamu hidup di sana? Ngurus surat ini itu? Lagian, adikmu siapa yang ngurus? Kamu kira ini rumah hotel?"
Suara-suara itu kembali. Mendera. Menampar. Memojokkan.
Nayla mengepal tangannya kuat-kuat. Ia ingin teriak. Tapi seperti biasa... ia hanya diam.
Tapi saat ibunya berbalik hendak pergi, Nayla bersuara—untuk pertama kalinya dengan nada yang tidak gemetar.
"Kalau aku terus tinggal, aku akan mati, Bu."
Langkah ibu terhenti. Menoleh. Wajahnya terkejut. Tapi Nayla sudah kembali duduk. Tenang. Tapi matanya penuh luka.
"Aku capek... Tapi aku selalu diem. Aku selalu ngerti. Aku selalu ngalah.""Tapi kali ini... aku mau ngerti diriku sendiri."
Ibunya tak menjawab. Diam itu lebih menyesakkan dari marah.