Bab 1: Nafas Terakhir
Hujan rintik turun di Desa Kalibiru malam itu. Angin berembus pelan namun menusuk, membawa aroma tanah basah dan dupa yang terbakar di sudut-sudut rumah. Langit gelap tanpa bintang.Malam Satu Suro.
Raka—pemuda 23 tahun, baru saja kembali dari kota untuk menjenguk neneknya yang sakit. Ia bukan orang yang percaya takhayul. Tapi sejak kecil, ia tahu satu hal: malam Satu Suro bukan malam biasa.
"Jangan keluar rumah malam ini," pesan neneknya siang tadi. "Kalau kau mendengar suara yang memanggil dari luar… jangan jawab."
Tapi Raka tetap keluar.
Ia menyusuri jalan setapak di belakang rumah, menuju sumur tua di dekat pematang sawah. Air galon habis, dan ia ingin membantu. Lampu senter ponselnya bergetar.Sinyal hilang.Udara tiba-tiba dingin. Teramat dingin.
Dan saat dia menoleh, ia melihat sesuatu berdiri di tepi sumur.
Seorang wanita. Rambut panjang menutupi wajah. Badannya setengah membelakangi, mengenakan kebaya putih usang. Kakinya… tidak menyentuh tanah.
Raka terpaku. Suaranya tercekat.
Lalu, tanpa aba-aba, tubuh wanita itu melompat ke arahnya.
Esoknya, warga menemukan Raka tergeletak di samping sumur.
Nafasnya tak ada.Nadinya diam.Matanya terbuka… menatap kosong ke langit.
Ia dinyatakan meninggal.
Tiga hari kemudian...
Tengah malam. Hujan kembali turun.Suara gamelan mengalun samar dari kejauhan—padahal tidak ada yang menggelar hajatan.
Dan tiba-tiba…
Raka membuka mata.
Tubuhnya bangkit perlahan dari pembaringan. Tidak ada yang tahu.Di kamar itu, hanya ada dirinya… dan bayangan yang tak sesuai arah cahaya.
Ia menggenggam lehernya sendiri, seperti mencoba mengingat bagaimana rasanya bernapas.
Kemudian terdengar suara dari sudut kamar:
"Kau kembali... tapi bukan sendiri."