Cherreads

Chapter 6 - Bab 6 : Di Sekitar Api, Di Tengah Bahaya

Langit senja dunia pembuangan sampah berwarna abu-abu keunguan yang pudar.

Di pinggiran timur kota reruntuhan, empat siluet remaja duduk melingkari api unggun kecil yang nyaris tidak cukup menghangatkan mereka.

Ini adalah keanehan di dunia pembuangan sampah, di mana remaja harusnya bergerak soliter dan berpindah-pindah mengutamakan penyembunyian, bukan bergerak dalam kelompok dan menyalakan api unggun yang akan mengundang perhatian perampok.

Ini seperti menyampaikan pesan pada orang lain "Aku mangsa empuk" atau "Tolong rampok aku".

Postur mereka juga aneh, sepasang remaja kembar yang seakan dicetak dari cetakan yang sama, duduk berdampingan cukup rapat dan dekat dengan api unggun.

Sebaliknya, dua remaja yang lebih kecil, seorang remaja laki-laki duduk bersila dan menutup matanya, namun dia menjaga jarak dari api unggun dari sisi berlawanan dari saudara kembar sembari memegang belati berkarat di tangan kanannya.

Selama kultivasi, untaian Qi yang melimpah mengalir dari segala arah ke dalam tubuhnya.

Ketika ia menjalankan seni putaran api penempaan tubuh, Fajar merasakan teknik ini tidak dapat mengendalikan laju Qi spiritual ganas yang membawa atribut petir di dalam tubuh, menyebabkan gangguan ketika dialirkan melalui sekujur tubuh. Akibatnya, Fajar harus menahan rasa sakit akibat penumpukan Qi.

Untungnya, energi roh murni yang telah di bersihkan oleh atribut petir, lebih murni ketika terserap pada setiap bagian tubuh. Ini menyebabkan suara letupan terdengar dari tubuh Fajar.

Saat dia asyik menyerap energi spiritual, tiba-tiba simbol matahari berwarna biru di dalam ruang jiwanya berpendar memancarkan cahaya semakin intens, menyebabkan Qi spiritual yang sudah melimpah kini mengalir lebih cepat, seolah ada arus yang mendorong Qi spiritual ke dalam tubuh Fajar.

Anak perempuan itu meringkuk di sudut berbeda, di sisi berlawanan dengan saudara kembar, namun juga ada jarak dengan anak laki-laki yang sedang berkultivasi.

Api bergejolak memantul dari pupil mata gadis itu yang berwarna ungu gelap, melamun, menatap nyala api.

Saat mata anak laki-laki terbuka, dia menghembuskan nafas, mengeluarkan udara kotor dan tercemar dari kota pembuangan sampah.

Untaian energi spiritual perlahan surut ketika dia menghentikan kultivasinya.

"Kultivasi ratusan kali lebih mudah dan cepat sekarang, selain itu Simbol Matahari Biru yang menyatu ke dalam ruang jiwaku bisa meningkatkan intensitas pengumpulan dan pemurnian Qi!", pikir Fajar.

"Jika semuanya berjalan lancar aku akan mencapai tahap pemurnian kulit dalam beberapa hari".

"Sayang sekali teknik putaran api penempaan tubuh kurang cocok dengan atribut petir". Mata Fajar berkilat.

Fajar memandang api yang menari-nari, matanya menangkap partikel-partikel merah dalam nyala api.

Sejak kebangkitan konstitusi petir birunya, penglihatannya semakin tajam terhadap segala sesuatu yang mengandung energi spiritual.

Draven membolak-balik Kelinci hitam yang dia panggang di atas api, mengeluarkan aroma daging yang membuat perut mereka keroncongan.

Mereka sudah terlalu lama memakan daging mentah, air liur Draven hampir menetes, mulutnya penuh, dan jari jari nya menggenggam daging kelinci.

"Bukankah tadi sudah kubilang, biar aku saja yang memanggang! Lihat, sekarang daging itu gosong.” Vaskar tampak muram.

"Kak, kau bilang mau buang air besar, tapi sudah setengah jam kau belum muncul, apa boleh buat aku yang memanggang, kita semua kelaparan disini". Bantah Draven.

"Perutku sembelit, bagaimana aku tahu kalau ada masalah dengan saluran pencernaan ku, yang pasti jika kau memanggang, hasilnya pasti gosong".

Mereka mulai berdebat dari soal daging gosong, dan mulai melebar kemana-mana.

Fajar mengamati mereka, setelah hampir setengah hari bersama, Fajar mendapat pemahaman baru tentang mereka.

Walau tampak kompak, mereka bertengkar bahkan pada hal-hal kecil yang remeh, Vaskar yang tampak tenang dan logis sebenarnya kontras ketika dia memarahi adiknya.

Lelah berargumen dengan kakaknya, Draven memutar tusukan daging kelinci hitam dan merpati darah yang di tangkap Fajar di atas api.

Wajahnya berkerut, bingung menatap Fajar dan Azelyn yang duduk berjauhan, seolah siap menghilang ke dalam bayangan kapan saja.

"Huhh... bocah kurus, gadis racun. Apa kalian tidak makan?"

Fajar tidak menjawab. Tangannya refleks menyentuh lehernya, tempat kalung matahari biru dulu tergantung.

Sekarang benda itu menyatu dengan jiwanya, tapi kebiasaan itu tetap ada, seperti bekas luka yang gatal.

Azelyn memutar tusuk daging, matanya menyipit saat mencium aroma daging itu.

"Tidak ada racun" Tegasnya.

"Astaga, apa kalian perlu begitu waspada, aku tidak meracuni makanan kalian, sekarang makan" Ucap Draven meninggikan suaranya.

Vaskar menimpali "Kita perlu membahas hal penting setelah ini, waktu terbatas dan saatnya makan".

Setelah sejenak terdiam, Fajar menatap pada Vaskar dan Draven.

"Terima kasih"

Vaskar mengangguk sementara Draven tidak mengatakan apa-apa dan kembali memakan kelinci gosong dari api unggun.

Fajar dan Azelyn saling berpandangan dan mengambil sepotong daging hampir gosong dan mulai makan.

Selama proses makan, keempatnya tidak lagi berbicara. Ada perbedaan mencolok ketika mereka makan.

Azelyn mengambil sepotong daging kecil dan melahapnya dalam dua atau tiga potong, Fajar dan Vaskar memiliki nafsu makan yang lebih besar, namun tidak terlalu cepat, tampak menikmati potongan demi potongan.

Adapun Draven, seolah mulutnya tidak cukup besar untuk melahap seluruh kelinci dengan rakus, kedua tangannya berminyak, dan dia sesekali bersendawa.

Vaskar hanya bisa berpura-pura tidak melihatnya.

Waktu berlalu, kini kelinci dan merpati darah hanya tersisa tulang belulang.

"Burp, braaap," Draven bersendawa dan memegang perutnya.

"Apa kau belum cukup melakukan hal menjijikkan ?" Wajah Vaskar memerah entah karena marah atau malu.

"Siapa namamu?", tanya Vaskar dengan santai, menatap

"Dia hanya bocah kurus, panggil saja ia bocah", ucap Draven yang berbaring.

"Fajar."

"Azelyn."

Keduanya menyebutkan nama kompak pada waktu yang bersamaan. Setelah itu keduanya kembali diam.

Azelyn yang sejak tadi meringkuk, memperbaiki posisi duduknya, lalu menatap Fajar. Banyak pertanyaan muncul dibenaknya.

"Sekarang, mari berbicara rencana memasuki zona beracun, melewatinya, dan menemukan kapal roh tua."

Melihat ini Vaskar dan Draven memandang Fajar menunggu jawabannya.

Fajar membuka kantung kulitnya dan mengambil peta compang camping. Kemudian melebarkan peta itu di tanah.

"Kemarilah, kalian harus melihatnya!". Fajar memanggil Vaskar, Draven, dan Azelyn ke sisinya.

Mereka bangkit dari posisi masing-masing dan duduk bersila mengelilingi peta.

Fajar mengerutkan kening, namun dia mengabaikan sedikit ketidaknyamanan yang dia rasakan. Dia menunjuk beberapa lokasi di peta.

"Saat aku bilang ada kapal roh di zona beracun, itu bukan aku dengan naif percaya rumor acak, lihat gambar kapal di sudut paling timur".

Melihat mereka tetap terdiam Fajar melanjutkan penjelasannya "Jaraknya kira-kira setengah bulan dengan kecepatan kita. Ada beberapa mata air dan sungai kecil sepanjang perjalanan, ada padang rumput luas, beberapa hutan, dan tebing batu". Ujarnya sambil menunjuk beberapa lokasi yang tercoret.

"Berdasarkan peta, tingkat bahaya pada area padang rumput dan dua hutan cukup tinggi, padang rumput harus dihuni oleh anjing neraka, adapun bahaya pada dua hutan, tidak ada informasi yang tercantum di peta. Namun bila kita melewati tebing batu kita dapat mencapai bangkai kapal roh itu".

"Aku pernah mendengar dari pemulung yang telah menjelajahi hutan itu bahwa ada kelompok Giant Baboon yang sangat agresif di hutan pertama" Ucap Azelyn agak ragu.

"Aku juga pernah mendengarnya dari orang buangan yang kami rampok, wilayah itu di kenal sebagai hutan Giant Baboon, sudah menjadi rahasia umum di kota pembuangan timur", Sambung Vaskar.

Draven mengerutkan kening seolah mengingat sesuatu. "Kak, apakah yang orang-orang katakan juga benar, kalau ada batas waktu untuk menjelajahi zona beracun ?"

Mendengar itu, Fajar melihat pupil mata Vaskar menyempit, tangannya sedikit gemetar sejenak sebelum kembali tenang.

"Ada batas waktu satu bulan di dalam zona beracun, hukuman bagi pelanggar adalah kematian!." Vaskar menatap Fajar dalam-dalam.

"Dengar, jika kita tidak dapat menemukan kapal Roh itu dalam setengah bulan, apapun yang terjadi batalkan perjalanan dan keluar dari zona beracun!", tegasnya tanpa kompromi.

Fajar mengusap dahi, melirik salah satu area peta yang tercoret, "kalau begitu ini sulit, ada rute aman melewati sisi utara hutan Giant Baboon tapi memerlukan waktu beberapa hari, menunda perjalanan kita cukup banyak".

"Maka kita harus melewati nya, tergantung jumlahnya, jika terlalu banyak maka fokus untuk menerobos hutan Giant Baboon. Jangan terjerat terlalu lama, aku akan melemahkan mereka dengan racun dari waktu ke waktu." Saran Azelyn.

Draven tertawa, "bukankah tadi siang kita sudah melakukan itu, menghadapi sekelompok monyet yang dipimpin monyet tua jelek ?".

Vaskar tersenyum, namun mengabaikan saudaranya. Fajar dan Azelyn mengabaikannya sejak tadi.

Mereka berbincang-bincang sebentar hingga tanpa terasa malam semakin larut.

Langit hitam di penuhi lautan bintang, bulan purnama bagaikan primadona di langit.

"Auuuuuuuuuuuuuu!"

"Owooooooo!"

Suara lolongan itu bersahut-sahutan, berirama dengan serangga malam yang beraktivitas.

Dengan suasana malam sebagai latarnya, Api unggun menyala di kelilingi oleh empat remaja yang menjadikan alam sebagai rumahnya.

Vaskar dan Draven tertidur dalam posisi saling membelakangi dengan memegang kapak mereka, dan kelopak mata yang terus bergetar. Tidur mereka tampak tidak nyenyak.

Dua remaja laki-laki dan perempuan duduk menyamping menjaga jarak yang agak jauh, menatap rembulan di antara lautan bintang.

Merasa suasananya canggung, Fajar hendak memulai percakapan.

"Mengapa kau belum tidur?" tanya Fajar, jantung Fajar berdegup tidak teratur ketika memulai pembicaraan. Sudah sangat lama sejak Fajar memulai obrolan dengan gadis seusianya.

Azelyn menatap Fajar dengan mata yang tak berkedip, sinar rembulan memantul di irisnya yang hitam keunguan.

"Mengapa", tanyanya dengan suara nyaris tak terdengar.

"Dan mengapa kamu ikut campur saat aku melawan Vaskar dan Draven", tanyanya lagi, seolah memastikan Fajar mendengarnya.

"Kau tahu betapa berbahayanya orang lain."

Fajar menarik napas pelan, matanya menatap langit berbintang. "Mungkin karena kamu mirip dengan orang kurindukan."

"Dulu aku tidak punya banyak teman, dia adalah salah satu dari sedikit orang yang sangat kupercaya."

"Apa kau memiliki orang yang sangat kamu rindukan?"

Azelyn melihat keseriusan di mata Fajar. Karena itu dia memgangguk, setelah merenung sejenak, dia menggelengkan kepala.

Angin malam menyapu rambut panjangnya yang kusut dan berdebu.

Dia mendongak menatap lautan bintang, pupilnya berhenti pada salah satu bintang paling terang. Dia ingat...Sosok itu.

Lima tahun lalu

Langit hancur. Bumi retak.

Tangan kegelapan menjulur dari ruang angkasa, auranya begitu tak terkalahkan, seolah segudang makhluk hanya debu di hadapan kekuatan ini. Dan tangan itu memusnahkan miliaran makhluk di bawahnya.

Samar-samar suara itu mencapai telinganya, berdengung di kepalanya, dan menetap hatinya.

"Pergilah, anakku, dan jangan kembali, lupakan segala hal tentang tanah ini, ras ini, dan orang-orangnya!"

Sosok wanita itu yang biasanya sekuat dewa dan sekokoh gunung, untuk pertama kalinya nampak cemas dan sedih. Tangan wanita itu yang menepuk kepalanya terasa dingin.

Lamunan Azelyn terhenti saat angin dingin meniup lembut rambutnya.

"Tidak ada lagi yang tersisa untuk dirindukan," bisik Azelyn, menggenggam tongkatnya hingga buku-buku jarinya memutih.

"Lain kali jangan dengan mudah menyelamatkan orang lain, kecuali jika kamu mempunyai kekuatan absolut." Ucapnya mengalihkan pembicaraan.

Untuk argumen terakhir Fajar tidak menjawab, karena dia sepenuhnya setuju.

Namun untuk argumen pertama, untuk pertama kalinya Fajar melihat kesedihan yang teramat sangat di mata anak perempuan itu yang biasanya keras kepala.

Hening kembali menyelimuti mereka.

Azelyn bersandar ringan ke pohon di belakangnya, napasnya melambat. "Tidurlah. Giliranku berjaga."

"Baiklah, bangunkan aku dalam satu jam agar aku bisa menggantikanmu berjaga." sahut Fajar.

Api unggun padam, meninggalkan mereka dalam kegelapan.

Azelyn menyandarkan tubuhnya di pohon, matanya bagai elang mengawasi horizon.

Vaskar dan Draven tertidur saling melindungi punggung dan memegang kapak, sementara belati Fajar tersembunyi di balik pakaiannya.

---

More Chapters