Kicauan burung pagi menyelinap lembut di antara dedaunan yang masih basah oleh embun, membentuk simfoni halus menyongsong matahari terbit. Butiran air menetes dari ujung daun alang-alang, menyatu dengan aroma tajam logam lembap yang menggantung di udara.
Matahari memunculkan sinarnya di balik siluet pepohonan Hutan Giant Baboon, tinggi menjulang bak penjaga raksasa.
Tidak seperti hutan biasa, sebagian besar daun di pepohonan ini berwarna hitam tinta, seolah iblis yang menakutkan bersarang disana. Memancarkan intimidasi pada para pemulung.
Namun ketika cahaya keemasan mentari mulai menyusup di antara celah-celah kanopi hutan yang rapat, Kilau hangat memercik di permukaan daun gelap, menciptakan ilusi seolah cahaya surgawi menjamah dunia bawah.
Hutan ini, yang menjadi pintu masuk zona beracun dunia pembuangan. Terkenal dengan predator Giant Babon pemakan manusia.
Setiap bulan secara berkala ada banyak pemulung yang menghilang setelah memasuki hutan, sebagian akibat perampokan, namun lebih banyak akibat pemangsaan Giant Babon.
Area peralihan antara pinggiran kota pembuangan dan batas zona terlarang inilah yang kini dilalui Fajar dan tiga rekannya.
Sejak fajar menyingsing, para buangan berkeliaran, memulung sisa-sisa sampah, mencari sumber air dan makanan.
Tak ada lagi binatang buas di pinggiran ini; yang tersisa hanya para pemburu manusia yang berkelompok memasuki Hutan Giant Baboon.
Banyak kelompok pemulung yang sibuk saling bertukar informasi tentang kota pembuangan, zona beracun, atau kabar terbaru seputar invasi binatang. Namun, hari ini mereka punya satu topik yang sama: pembantaian para pemulung dewasa yang terjadi kemarin.
“Apakah kalian mendengar tentang kelompok empat bocah iblis yang mengalahkan puluhan pemulung dewasa di kota bagian timur kemarin?” tanya seorang pemulung muda dengan antusias.
“Ah, itu pasti cerita yang dibesar-besarkan,” jawab seorang pria tua berpengalaman. “Apakah kalian benar-benar percaya ada empat ‘bocah iblis’?”
“Berita ini bahkan sudah disebarluaskan oleh kelompok Penunjuk Bintang,” timpal pemulung lain sambil mengusap janggutnya. “Reputasi mereka sudah tersebar luas. Kapan mereka berbohong?”
“Mereka memang tidak berbohong, tetapi informasinya sering kali setengah jadi,” sahut pemuda yang lain.
Di sela perbincangan itu, empat remaja—tampak tak berbahaya—melintas di antara gerombolan pemulung dewasa yang berbadan besar. Dari kejauhan, mata-mata mengintai, penuh kilatan keserakahan.
“Kekeke, anak sapi yang tak takut harimau.”
“Aku penasaran, bagaimana bocah-bocah ini bisa bertahan hidup hingga detik ini?”
“Apakah rumor ‘empat bocah iblis’ itu yang memberi mereka keberanian?”
Bisikan-bisikan itu terdengar jelas di telinga Fajar, yang segera menyadari bahwa niat membunuh terbentuk di antara para pemulung.
Meski demikian, tak satu pun yang berani bergerak terlebih dahulu. Mereka tahu, siapa pun yang bertindak dulu akan jadi incaran.
Fajar menilai kerumunan itu dengan cepat dan menganalisis situasinya. Ia paham bahwa meski di tempat ini kelompoknya relatif aman, begitu memasuki Hutan Giant Baboon, mereka akan diburu.
Walau demikian, Fajar mempercepat langkah, berusaha menjauh.
“Huh, kalau mereka tahu kita ini empat bocah iblis, aku ingin tahu bagaimana ekspresi mereka,” bisik Draven, hampir tak terdengar.
“Ssstt… diam, Draven!” geram Vaskar.
Draven mengabaikan teguran kakaknya, malah mengejek dengan nada tinggi, “Bocah kurus... sepertinya mereka menganggap kita mangsa yang mudah.” Ucapannya membuat semua niat membunuh terfokus padanya.
Vaskar mengepalkan tangan, ingin memukul Draven yang masih tertawa, tetapi tiba-tiba Fajar menghentikan langkahnya.
“Ada apa?” tanya Vaskar, tapi segera terdiam saat melihat gerombolan baru. Sekitar dua puluh hingga tiga puluh meter di depan, enam orang bergerak mendekat.
Mereka mengenakan mantel kulit abu-abu, banyak kantong kulit terikat di pinggang, dan membawa kapak, lembing, palu besi, serta pisau.
Tiap sosok adalah pria dan wanita dewasa dengan kultivasi Alam Tubuh Fondasi.
Fajar mengaktifkan penglihatan ajaibnya dan menahan napas. “Untungnya…” ucapnya dalam hati.
Hanya satu dari enam orang itu yang mencapai tahap penyempurnaan tulang. Jadi, meski mereka tak boleh diremehkan, peluang kelompok Fajar masih lebih baik.
Seorang pria berjanggut lebat dan bertubuh kekar berdiri di posisi tengah kelompok berjalan ke arah mereka, lalu mencaci, “Sial, sejak beberapa hari lalu kami tak menemukan binatang buas yang cukup besar—cuma beberapa merpati iblis. Apa gunanya?”
“Ohh, lihat, ada beberapa bocah ingusan di depan,” ujarnya sambil menyeringai menakutkan.
“Anak-anak, jangan takut. Ikut dengan paman untuk berburu binatang buas,” katanya pelan mencoba tersenyum.
Walau senyum itu lebih mirip seringai binatang buas, dikombinasikan dengan postur tubuhnya yang besar dan berotot, menimbulkan efek intimidasi pada lawan.
Draven menatap ke arah janggut Molgar dan menyeringai. “Orang tua, apakah kau pikir kami ini bodoh?”
Yang menjawab Draven bukan pria berjanggut itu, melainkan tawa menawan disertai harum bunga.
“Hehe, Molgar, sepertinya anak-anak ini takut dengan wajahmu.”
Melihat wanita itu, mata Draven seketika berbinar cerah. Apalagi saat wanita itu mengedipkan matanya yang bulat dengan bulu mata panjang. Membuat wajah Draven memerah.
Namun, dia mengurungkan niatnya untuk menggoda wanita itu setelah menerima tatapan tajam dari Vaskar.
“Tuan, kami akan pergi ke depan. Tolong minggir,” ujar Vaskar sambil menangkupkan telapak tangannya.
Namun, Molgar dan kelompoknya tidak minggir atau mempersilakan mereka lewat.
Dia dan grup berdiri diam, menghalangi sepenuhnya jalur Fajar. Ia menatap Draven dalam-dalam, urat-urat di lehernya terlihat dan tangannya mengepal.
“Bocah kurang ajar!”
“Serahkan semua kantung kulit kalian jika ingin melewatiku!” Akhirnya Molgar mengungkapkan niatnya yang sebenarnya.
“Tuan, kami tidak memiliki barang-barang berharga,” ujar Vaskar. Kerutan muncul di wajahnya.
Belum sempat Molgar menjawab, sebuah suara mengalihkan fokus mereka.
“Hahaha, pertunjukan yang bagus.” Suara tepuk tangan datang dari arah belakang kelompok Fajar.
“Molgar, temanku, kau belum mengubah kebiasaanmu,” kata seorang pria berpakaian biru datang dengan senyum di wajahnya.
Di belakangnya ada dua wanita dan satu remaja. Wanita yang lebih tua mengenakan tudung, matanya bersinar di balik tirai kain saat menatap Azelyn.
Wanita yang lebih muda menahan napas saat memandangi Azelyn. Mulutnya sedikit terbuka dan matanya tak berkedip, namun ia dengan cepat tersenyum ramah saat Azelyn melihatnya.
“Molgar, apa yang kau lakukan? Apakah kau benar-benar ingin menghabiskan stamina untuk berkelahi dengan anak-anak ini?”
“Kau tahu akibat dari cedera sekecil apa pun,” tegur pria berjubah biru itu dengan wajah serius.
“Hanya domba yang menunggu disembelih. Aku bisa menebas mereka dengan mudah! Rakael, jangan ikut campur…” geram Molgar.
Rakael tersenyum. “Kau yakin?... Bahkan jika aku mengatakan mereka adalah empat bocah iblis?”
Pupil mata Molgar menyusut, wajahnya tegang, dan dia mundur selangkah. Bahkan mata wanita memesona itu menjadi waspada. Matanya menyipit, melirik Azelyn.
“Ayo pergi!” Molgar akhirnya memerintahkan kelompoknya untuk berbalik dan menelusuri jalan setapak masuk Hutan Giant Baboon.
Fajar bisa merasakan dengan jelas, pandangan was-was ketika Molgar melihatnya sekarang. Ia tidak lagi menganggap kelompok empat bocah terlalu muda sehingga menjadi target empuk.
Bisa dibilang Molgar benar-benar orang penakut pada yang kuat, dan penindas bagi yang lemah.
Di Dunia Pembuangan Sampah, hukum rimba menentukan status sosial dan martabat seseorang.
Namun, sebelum sepenuhnya hilang di balik pepohonan, ia menoleh sekilas. Suaranya bergema rendah, “Jangan percaya sepenuhnya pada Penunjuk Bintang, terutama Rakael itu.”
Tanpa menunggu respons, Molgar dan rombongannya menghilang di balik rimbunnya pepohonan. Rakael menatap kepergian mereka dengan senyum penuh arti.
"Huh, Molgar selalu berbicara omong kosong, jangan pedulikan orang itu", ucap Rakael pelan.
“Teman kecil, apa kalian pernah mendengar legenda tentang Giant Baboon?” tanya Rakael tiba-tiba. Namun, ia tidak menatap satu pun dari mereka—ia menatap pepohonan tinggi hutan itu.
“Dulu, orang-orang buangan tidak dijatuhkan secara langsung dari ketinggian ke kota pembuangan sampah,” Rakael berhenti sejenak, seolah berpikir.
“Mereka dikutuk oleh seni kultivasi peringkat tinggi, menjadi baboon berukuran raksasa—buas, dengan kecerdasan primata, namun tidak mampu keluar dari Hutan Giant Baboon.”
“Lalu kenapa tak ada pemulung yang membicarakannya?” sela Fajar.
Rasa penasaran menggelitik hati Fajar, apakah warna daun yang gelap dan suram ini akibat dari kutukan yang dulu menjatuhkan para buangan menjadi makhluk liar?.
“Hehe, itu cuma cerita karangan bos,” timpal Serina, gadis muda yang selalu tersenyum. “Kenapa kalian menganggapnya serius?”
Draven mendengus kecil. “Brengsek, apakah mereka benar-benar anggota Penunjuk Bintang?”
Rakael lalu menawarkan, “Apakah kalian ingin membeli informasi kami?”
Vaskar mengambil pisau tajam dari kantung kulit dan melemparkannya kepada Rakael. “Kami tidak mengambil jalan memutar ke utara. Ceritakan rute terbaik Hutan Giant Baboon.”
Whoosh! Pisau itu terlempar dengan cepat dan dampaknya kuat.
Rakael tidak panik. Ia menangkap gagang pisau dengan tenang, tangannya tampak stabil tanpa gemetar sedikit pun.
Melihat aksi itu, Fajar mengaktifkan mata petirnya. Kini ia dapat mendeteksi kultivasi Rakael lebih akurat. Setelah pengamatan, ekspresinya berubah muram.
"Tahap Penyelesaian sumsum!".
Ia terkecoh dengan sikap nya yang riang, mengira kekuatannya setara dengan Molgar, namun faktanya, Rakael dua tingkat lebih tinggi.
Tahap Penyelesaian Sumsum hanya satu tingkat di bawah Alam Bawaan.
“Dengarkan baik-baik.” Wanita bertudung yang sejak tadi diam akhirnya berbicara dengan suara dingin. “Teruslah berjalan lurus, lalu belok kiri di persimpangan pertama dan kedua. Jika kalian sampai di sungai, ikuti arusnya. Di sana, populasi baboon paling sedikit.”
Rakael kembali berbicara, “Oh ya, jika memilih belokan kiri, percepat langkah kalian dan sering-seringlah menengadah. Amati kanopi hutan dengan seksama.”
“Baiklah. Semoga beruntung. Sampai jumpa,” ucap Rakael sambil berbalik menuju kota pembuangan.
Draven mendengus hina. “Sok misterius.”
Fajar memandang Serina yang berhenti sejenak, serina membuka mulut namun menutupnya kembali, akhirnya ia berdiri dan ikut berjalan.
Vaskar bergumam, “Jangan percaya sepenuhnya. Mungkin populasi baboon memang lebih sedikit di sana, tapi dia juga tidak berbicara tentang ukuran, keganasan, dan indra penciuman Giant Baboon, yang bisa jadi lebih berbahaya.”
“Apa kita tetap menuju area itu?” tanya Fajar, mengerutkan alis.
“Ya, tapi kita harus ekstra waspada. Mungkin ada bahaya lain di sepanjang jalan,” jawab Vaskar.
Mereka lalu menapaki jejak setapak yang kian gelap saat kanopi lebat menutup langit. Kabut tipis menyapu setiap sudut, dan meski Fajar mengerahkan Penglihatan Petirnya, bayangan pohon-pohon raksasa tetap menari-nari di kegelapan.
Draven, yang biasanya nyaring, kini terpaku dalam hening, seolah ada aura menindas yang terus-menerus menahan langkah mereka.
“Jangan berisik,” bisik Azelyn. “Ingat pesan Rakael tentang kanopi hutan.”
“Kanopi hutan?” Fajar menyipit curiga dan lagi-lagi mengaktifkan Qi di matanya, namun tak ada yang terdeteksi.
Tanpa mereka sadari, pada jarak yang kurang dari setengah hari jauhnya di balik kegelapan pepohonan, suara kunyahan dan tulang patah memecah keheningan hutan, genangan darah yang pekat mengalir di bawahnya.
Krek-krek… kruk.
---
