Langkah-langkah kaki menyentuh rumput pagi yang basah. Aren berjalan berdampingan dengan Hilda menuju perbatasan selatan. Matahari baru muncul, namun udara sudah terasa hangat—tanda misi pengawalan ini tak akan berjalan damai.
“Jadi… kita ngapain sih?” gumam Hilda sambil melonggarkan ikat pinggangnya yang lebar. “Ngawal anak klan Uzumaki? Gitu doang?”
“Anaknya katanya penting,” jawab Aren datar. “Elite muda. Genius. Gak banyak bicara.”
Hilda meliriknya. “Kamu cemburu?”
“...Kenapa aku harus—”
Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, suara langkah kecil terdengar dari ujung jalan. Sosok mungil berpakaian resmi Uzumaki—jubah putih panjang dengan pola fuin di pinggirannya—berjalan menuju mereka. Rambut merah gelap, mata tajam, dan ekspresi… sangat dingin.
Dia tidak lebih tinggi dari perut Hilda.
“Uzumaki Kaito,” ucapnya, memperkenalkan diri tanpa membungkuk. “Silakan perlakukan aku seperti tamu kehormatan.”
Aren langsung menyipitkan mata. Tamu kehormatan? Ini bukan cara menyapa orang pertama kali bertemu. Tapi sebelum ia bisa membalas, Kaito menoleh ke arah Hilda… dan berhenti total.
Mata anak itu membesar.
Mulutnya sedikit terbuka.
Seolah baru saja melihat makhluk surgawi dengan tubuh raksasa dan otot idaman.
“...Kamu… tinggi,” gumam Kaito pelan.
“Dan kamu kecil,” jawab Hilda datar.
“Namamu siapa?” tanya Kaito, matanya berbinar. “Kau seperti legenda yang diceritakan dalam gulungan perang klan Uzumaki: Sang Benteng Hidup.”
Aren hampir tersedak.
“Uchiha Hilda,” jawab Hilda singkat. “Dan aku bukan benteng.”
“Bagiku, kau benteng… benteng di hatiku,” gumam Kaito lirih—nyaris seperti puisi buruk.
Aren mendecak, mulai kesal. “Kalau kau sudah selesai naksir anak orang, ayo jalan.”
Perjalanan mereka menyusuri jalur kayu di hutan berjalan cukup sunyi… sampai Kaito mulai melempar komentar.
“Kamu anak tetua klan, ya?” tanyanya pada Aren, nada bicaranya santai tapi terdengar meremehkan.
“Iya. Masalah?”
“Tak ada. Aku hanya heran… tetua klan membiarkan anaknya bertumbuh tanpa disiplin. Langkahmu berisik.”
Aren menoleh cepat. “Langkahmu terlalu ringan, seperti kucing yang belum makan seminggu.”
Hilda, yang berada di tengah mereka, mendesah panjang. “Ini misi, bukan adu lidah.”
Kaito menoleh ke Hilda dengan cepat. “Benar! Demi kamu, Hilda-sama, aku akan mengabaikan hinaan level rendah ini.”
“Jangan panggil aku ‘-sama’.”
“Baik, Hilda-chan.”
“...Malah lebih parah.”
Setelah dua jam berjalan, mereka tiba di pos pengamatan tim pengawal. Beberapa ninja Uchiha muda sedang menyusun perlengkapan. Salah satu dari mereka, shinobi berambut pendek, menghampiri.
“Laporan tadi pagi... ada gerakan aneh dari lembah timur. Kami curiga ada hewan liar masuk wilayah ini,” katanya.
“Apa jenisnya sudah diketahui?” tanya Aren.
“Belum. Tapi... ada jejak kaki sebesar roda gerobak.”
Semua mata saling bertukar pandang. Kaito mendadak angkat tangan. “Biarkan aku yang urus itu.”
“Eh?” Aren mengernyit. “Kamu mau bertarung?”
“Bukan. Aku hanya ingin memeriksa energi dan pola pergerakan binatangnya. Aku ahli dalam... makhluk.”
Hilda bersuara pelan, “Kamu gak takut kan?”
Kaito langsung kaku. “T-Tentu saja tidak! Aku bukan anak kecil.”
Namun beberapa detik kemudian, seekor burung hantu beterbangan dari atas pohon sambil mengeluarkan suara “kuh-kuh-kuh”.
Dan Kaito melonjak ke belakang Aren sambil berteriak kecil.
“APA ITU!? ARWAH PENGAWAL HUTAN!? HANTU!!!”
“Burung,” kata Aren datar. “Burung. Biasa.”
Menjelang malam, kamp dibangun sementara. Di sisi utara lembah, suara gemerisik mulai terdengar… dan tanah sedikit bergetar.
Kaito menghampiri mereka dengan cepat, wajahnya serius.
“Energi dari lembah itu tidak wajar. Binatang ini... pernah disegel sebelumnya, tapi sekarang terlepas.”
“Makhluknya besar?” tanya Aren.
Kaito mengangguk. “Sangat. Dan... tidak lagi jinak.”
Mereka semua menoleh ke arah lembah, tempat kabut mulai naik... dan suara dentuman berat terdengar sekali lagi.
THOOM.
THOOM.
CRRRKHHHH...
Siluet besar tampak bergerak di balik kabut. Empat kaki. Punggung runcing. Mata merah menyala.
Monster itu akhirnya menampakkan dirinya—dan untuk sejenak, seluruh tim membeku.