Sejak pagi, suasana hati kami terasa berbeda. Putri dan aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju masjid kampus, membicarakan segala hal yang selama ini terpendam dalam hati.
"Kadang aku merasa seperti hidup di antara dua dunia," ucap Putri pelan, matanya menerawang ke kejauhan.
"Aku ingin terus berhijrah, tapi godaan dan keraguan selalu datang menghampiri."
Aku mengangguk. "Aku juga begitu. Ada bagian dalam diri yang takut kalau-kalau aku gagal, dan bagian lain yang berharap bisa jadi lebih baik."
Putri menarik napas dalam-dalam. "Tapi kita tidak sendiri, Lia. Aku percaya Allah selalu menuntun kita, walau jalannya kadang tampak sulit."
Saat itu, kami bertemu dengan seorang wanita bercadar yang baru pertama kali aku lihat di kampus. Dia menyapa kami dengan lembut, "Assalamu'alaikum. Aku mendengar kalian sedang berjuang di jalan hijrah. Aku pun pernah berada di titik yang sama."
Putri tersenyum sambil mengangguk, "Wa'alaikum salam. Alhamdulillah, kami senang bertemu denganmu."
Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Salsabila. Ia bercerita tentang perjalanannya yang penuh lika-liku, tentang bagaimana ia hampir menyerah, tapi tetap bertahan karena niat dan dukungan sahabat-sahabatnya.
"Aku ingin kalian tahu," kata Salsabila, "bahwa dunia antara itu memang penuh ujian. Tapi juga penuh berkah bagi yang sabar."
Kami bertiga duduk di bangku taman, mendengar kisah Salsabila dengan penuh perhatian. Ada harapan yang tumbuh di hati kami — harapan untuk terus melangkah walau ragu, dan untuk selalu saling menggenggam saat salah satu dari kami terjatuh.
Malam itu, aku menulis lagi di buku harianku:
*"Di dunia antara ini, aku tidak akan berjalan sendiri. Karena ada sahabat dan Allah yang selalu mendampingi."*
Saat kami duduk bersama Salsabila di taman kampus, suasana terasa penuh semangat dan harapan. Tak lama kemudian, datang seorang pemuda yang wajahnya teduh dan penuh ketenangan. Dia mengenakan peci dan membawa tas kecil di pundaknya.
"Assalamu'alaikum, aku Muhammad Al-Hafidz Dirgantara, biasa dipanggil Al," sapa pemuda itu dengan senyum hangat.
Putri dan aku berdiri, membalas salamnya, "Wa'alaikum salam, Al."
Al duduk di sebelah kami dan mulai bercerita, "Aku mendengar perjalanan hijrah kalian dari Salsabila. Aku juga pernah berada di titik yang sama, dan aku ingin menjadi teman serta pengingat kalian di jalan ini."
Aku merasa ada ketenangan yang berbeda saat Al berbicara. Dia tidak hanya sekadar teman, tapi seperti cahaya kecil yang menuntun dalam gelapnya perjalanan hijrah kami.
"Aulia, Putri," kata Al dengan suara tulus, "kadang kita butuh seseorang yang bisa melihat dari luar, memberi nasihat, dan menguatkan ketika iman mulai goyah."
Putri mengangguk, "Benar, Al. Kadang kami merasa terombang-ambing, sulit menemukan pijakan."
Al tersenyum penuh pengertian, "Kalau begitu, mari kita saling menjaga dan saling menguatkan. Aku akan berusaha jadi jembatan untuk kalian, agar kalian tak kehilangan arah."
Malam itu, aku menulis di buku harianku:
*"Dalam perjalanan hijrah ini, aku tak hanya punya sahabat. Kini ada Al, yang hadir sebagai penjaga dan pemandu. Bersama-sama, kami akan terus melangkah, meski jalan berliku."*
Setelah perkenalan itu, Al mulai rutin mengajak kami berkumpul di taman kampus setiap sore. Dia bukan hanya teman biasa, tapi juga guru kecil yang mengingatkan kami pada tujuan hijrah yang sesungguhnya.
Suatu hari, saat kami duduk bertiga di bawah rindangnya pohon, Al berkata dengan serius, "Hijrah itu bukan hanya soal mengubah penampilan, tapi menguatkan hati. Kadang, kita harus melewati masa-masa sulit yang bikin hampir menyerah."
Putri menunduk pelan, "Aku takut kalau aku nggak kuat, Al. Kalau suatu saat aku mundur."
Aku menggenggam tangan Putri, "Aku juga takut, tapi kita nggak sendiri."
Al menatap kami penuh keyakinan, "Makanya aku di sini. Kalau kalian jatuh, aku akan bantu genggam. Kalau kalian lelah, aku akan jadi penopang."
Kata-kata itu menyentuh hati kami. Aku tahu, dengan ada Al di sisi, perjalanan hijrah kami bukan lagi sendirian dan gelap. Ada cahaya kecil yang terus menyala, menuntun kami untuk tetap istiqomah.
Malamnya, aku menulis di buku harianku:
*"Ketika langkahku mulai goyah, kehadiran Al menguatkan. Bersama dia, aku belajar bahwa hijrah bukan hanya tentang kita sendiri, tapi juga tentang siapa yang ada di samping kita."*
Hari-hari berikutnya, kehadiran Al menjadi angin segar bagi perjalanan hijrah kami. Dia bukan hanya teman bicara, tapi juga pengingat ketika hati kami mulai goyah.
Suatu sore, saat kami bertiga duduk di taman kampus, Al membuka pembicaraan dengan suara lembut, "Hijrah itu bukan perjalanan yang mudah. Banyak godaan dan rintangan yang siap menjatuhkan. Tapi ingat, setiap ujian adalah ladang pahala."
Putri menatap Al dengan mata yang mulai berkaca-kaca, "Kadang aku merasa lelah, Al. Merasa sendiri dalam perjuangan ini."
Aku menggenggam tangan Putri, mencoba memberikan kekuatan.
Al tersenyum dan berkata, "Kalian tidak sendiri. Aku di sini untuk kalian. Kita bisa saling menguatkan, saling mengingatkan. Karena hijrah itu bukan hanya tentang perubahan fisik, tapi juga perubahan hati."
Kami pun berjanji untuk terus bersama, menjalani proses ini dengan sabar dan tawakkal.
Di malam yang hening, aku menulis dalam diaryku,
*"Dengan Al di samping kami, perjalanan hijrah bukan lagi beban. Melainkan perjalanan penuh harapan, yang meski berat, kami yakin akan berbuah manis."*
Waktu terus berjalan, dan ikatan di antara kami bertiga semakin erat. Al tak hanya menjadi teman, tapi juga guru dan saudara yang menguatkan langkah hijrah kami.
Suatu sore, saat senja mulai merayap, kami duduk di sebuah bangku kayu, saling berbagi kisah.
Al membuka pembicaraan, "Kadang, hijrah itu seperti meniti jembatan rapuh di atas jurang keraguan. Tapi kalau kita berpegangan tangan, insya Allah kita akan sampai ke seberang dengan selamat."
Putri tersenyum getir, "Aku masih sering merasa takut, Al. Takut gagal, takut dihakimi."
Aku mengangguk, "Aku juga, tapi aku belajar bahwa ketakutan itu tanda kita sedang diuji."
Al menatap kami dengan penuh pengertian, "Betul. Ketika ketakutan datang, itu saatnya kita lebih mendekat pada Allah, memperbanyak doa dan istiqomah. Aku di sini bukan hanya sebagai teman, tapi sebagai perantara doa dan pengingat."
Malam itu, aku menulis di buku harianku:
*"Dalam perjalanan hijrah yang tak mudah, kehadiran Al adalah cahaya kecil yang membimbing. Bersama, kami berusaha merajut iman, walau langkah ini penuh tantangan."*
Seiring majlis online yang kami bangun mulai berkembang, muncul sosok baru yang tak diundang. Namanya Arfan El Gibran, pria yang dikenal pandai berbicara namun sering menyebar keraguan.
Awalnya, kehadirannya terlihat biasa saja saat bergabung di grup majlis. Namun perlahan, kata-kata yang ia lontarkan mulai menusuk hati kami.
"Hijrah itu gampang, tinggal bilang aja," ujarnya sinis di salah satu sesi online. "Kalau kalian masih sering gagal, mungkin karena niatnya belum tulus. Jangan cuma pamer hijrah di depan orang."
Putri terlihat tertekan, aku merasakan getaran cemas yang mulai merayap. Al yang biasanya tenang, menyela dengan tegas, "Hijrah itu perjalanan tiap orang berbeda. Jangan sampai ucapanmu malah menjatuhkan semangat saudara sendiri."
Tapi Arfan tak berhenti, malah makin menyebar keraguan lewat chat dan komentar yang nyinyir. "Kalau benar niat, pasti gak bakal ragu-ragu. Kalau masih goyah, berarti bukan hijrah beneran."
Seketika suasana hangat di majlis itu berubah menjadi penuh ketegangan. Aku dan Putri mulai merasakan beratnya mempertahankan istiqomah di tengah badai keraguan yang dibuat Arfan.
Malam itu aku menulis di buku harianku:"Hijrah bukan hanya melawan nafsu, tapi juga melawan mereka yang tak mengerti perjalanan hati. Arfan datang bukan untuk membangun, tapi untuk merobohkan harapan yang kami rajut."
Ketegangan makin terasa saat Arfan semakin gencar melontarkan komentar sinis di grup majlis online.
Al, yang biasanya pendiam dan bijak, akhirnya angkat bicara dengan suara tegas namun tenang, "Arfan, hijrah itu bukan perlombaan kesempurnaan. Setiap orang punya prosesnya masing-masing. Jika niatmu hanya untuk menjatuhkan, itu bukan bagian dari dakwah."
Namun Arfan hanya tersenyum sinis dan membalas, "Aku hanya bilang yang sebenarnya. Kalau kalian tidak kuat terima kenyataan, ya jangan ikut-ikut."
Putri yang sejak tadi diam, tiba-tiba mengangkat suara dengan sedikit gemetar, "Aku… aku mungkin belum sempurna. Tapi aku sedang berjuang, dan aku yakin Allah melihat niatku, bukan ucapanmu."
Aku pun menyahut, "Kita semua berjuang di jalan yang sama. Kalau ada yang mau meragukan, silakan. Tapi kami pilih untuk saling menguatkan, bukan saling menjatuhkan."
Al menambahkan, "Kalau Arfan punya niat baik, ayo kita bicarakan dengan baik. Tapi kalau cuma ingin merusak, kami tak akan membiarkan itu."
Suasana menjadi tegang, dan beberapa anggota majlis mulai merasa bimbang.
Aulia pun dengan suara lembut tapi tegas, "Hijrah itu perjalanan hati, bukan perlombaan untuk menilai orang lain. Kalau memang niatmu baik, buktikan dengan tindakan yang membangun, bukan meruntuhkan."
Arfan hanya terdiam sejenak, lalu meninggalkan grup tanpa sepatah kata.
Setelah itu, kami bertiga saling berpandangan, merasakan beban yang berat tapi juga keyakinan yang semakin kuat.
Aku menulis di buku harianku malam itu:
*"Konflik ini mengajarkan kami bahwa hijrah bukan hanya tentang mengalahkan diri sendiri, tapi juga menghadapi mereka yang belum mengerti. Namun bersama, kami tetap teguh, menggenggam harapan dan iman."*
