Cherreads

Chapter 5 - Bab 3

Hari-hari berjalan dengan tantangan yang semakin nyata. Aku merasa berat menjalani semuanya. Dunia terasa semakin penuh godaan, bisikan-bisikan ragu, dan kadang suara hati sendiri yang melawan.

Suatu malam, aku duduk termenung di balkon kamar, menatap bintang yang samar di balik awan. Rasanya ingin menyerah. Ingin berhenti berusaha karena lelah yang tak tertahankan.

Putri datang membawa segelas teh hangat. "Kamu kenapa, Lia? Kayak lagi jauh banget," katanya lembut.

Aku menghela napas panjang. "Kadang aku merasa… aku nggak kuat. Aku takut gagal, takut kecewa, takut kehilangan semuanya."

Putri duduk di sampingku, menggenggam tanganku. "Kita memang sering diuji, Lia. Tapi ujian itu bukan buat menghukum kita. Dia buat menguatkan kita, walau terasa seperti melemahkan."

Aku menatap matanya. "Tapi aku nggak ingin kau capek dengan aku yang suka jatuh dan bangun terus."

Putri tersenyum pahit. "Kamu bukan beban, Lia. Kamu sahabatku. Kita sama-sama belajar untuk tetap jalan walau kadang tergelincir. Bukankah Rasul juga diuji? Tapi beliau tidak pernah berhenti."

Malam itu, kami berdoa bersama. Aku memohon pada Allah agar diberi kekuatan, agar setiap langkah yang goyah bisa kembali tegak.

Hari berikutnya, di tengah riuh dunia dan kebisingan hati, aku belajar satu hal penting: Istiqomah bukan soal sempurna tanpa jatuh, tapi tentang terus bangkit dan kembali melangkah walau ribuan kali tersungkur.

Putri memandangku penuh harap, "Kalau kamu jatuh, aku akan selalu genggam tanganmu, Lia. Kita jalani ini bersama."

Aku tahu… aku tidak sendiri.

Dan selama ada tangan yang menggenggam,

aku akan terus berjuang.

Hari-hari berlalu dengan ujian yang tak berhenti datang. Setelah malam itu, aku berusaha lebih kuat, tapi hati ini masih sering dilanda keraguan. Kadang aku bertanya pada diri sendiri, apakah aku benar-benar siap menghadapi semua ini?

Di sekolah, teman-teman mulai bertanya, "Kenapa kamu sekarang berubah? Kok jadi jarang ikut nongkrong, malah sering ke masjid?" Suaranya bukan sinis, tapi membuatku merasa asing di antara mereka.

Suatu sore, aku dan Putri duduk di taman pesantren. "Kadang aku merasa sendiri, Lia," ucapku lirih. "Seperti aku yang memilih jalan ini malah menjauh dari mereka yang dulu dekat."

Putri menggenggam tanganku erat. "Aku juga begitu. Tapi ingat, kita bukan sendiri. Ada Allah yang selalu bersama kita, dan ada aku. Kalau kamu jatuh, jangan diam sendiri. Genggam tanganku, aku genggam kamu."

Aku tersenyum, tapi dalam hati ada kesedihan yang tak mudah hilang.

Tak lama setelah itu, cobaan datang dari arah yang tak terduga. Beberapa bisik-bisik mulai terdengar—tentang cara aku dan Putri menjalani hijrah yang dianggap 'berlebihan'. Beberapa teman bahkan menjauh.

Hatiku perih, tapi aku tahu, ini bukan waktu untuk menyerah. Aku belajar bahwa istiqomah itu bukan hanya soal kekuatan di depan umum, tapi juga bagaimana kita bertahan saat dunia membelakangi.

Malam itu aku menulis di buku harian:

*Jika aku jatuh, genggam aku kembali. Jangan biarkan aku terluka sendirian. Karena di jalan ini, aku tak ingin sendiri.*

Aku duduk sendiri di sudut mushola, mencoba meredam gundah yang bergejolak. Hati ini seperti dilanda badai, antara ingin menyerah dan berjuang. Suara doa yang terlantun dari pengeras suara seolah menenangkan, tapi tidak sepenuhnya menghilangkan rasa gelisah.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Pesan dari Putri:

*"Lia, kamu kuat. Ingat, Allah tidak akan memberi ujian di luar batas kemampuan kita."*

Aku membalas dengan singkat, tapi penuh haru:

*"Kadang aku merasa kalah, Putri."*

Dia membalas,

*"Kalau kamu jatuh, aku akan selalu ada untuk genggam tanganmu. Kita jalani ini bersama."*

Air mata mulai mengalir tanpa bisa ku tahan. Aku sadar, dalam perjalanan hijrah ini, aku tidak boleh lelah berharap, meski langkah ini kadang berat dan sunyi.

Malam itu, aku menulis di buku harian:

*"Jika aku jatuh, genggam aku kembali. Jangan biarkan aku terluka sendirian."*

Aku berjanji pada diri sendiri,

bahwa meski berat, aku harus terus bangkit—karena ada tangan yang selalu siap menggenggam.

Hari itu, beban di dada semakin berat. Aku merasa seolah kehilangan arah, seperti terombang-ambing di lautan yang luas tanpa nakhoda. Setiap kali ku coba tegar, bisikan keraguan datang menyergap.

"Apa aku sudah memilih jalan yang benar?" gumamku dalam hati.

Saat aku duduk termenung di sudut perpustakaan, Aulia datang mendekat dengan wajah penuh perhatian. "Lia, kamu terlihat berbeda hari ini. Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya lembut.

Aku terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Aku takut, Aulia. Takut jika perjuangan ini sia-sia. Takut jika aku gagal menjaga istiqomahku."

Aulia tersenyum penuh pengertian. "Aku juga pernah merasa seperti itu. Tapi ingat, hijrah bukan soal sempurna dalam sekali langkah. Ini tentang berusaha terus, walau kadang jatuh."

Aku menatap matanya, merasakan kekuatan yang mengalir dari kata-katanya. "Kalau aku jatuh, bisakah kau genggam tanganku? Agar aku tak tenggelam dalam keraguan ini."

Dia mengangguk mantap. "Selalu, Lia. Kita jalani ini bersama, sampai kita benar-benar kuat."

Malam itu, aku menulis di buku harianku:

*"Perjuangan ini berat, tapi aku tak sendiri. Selama ada teman sejati, aku yakin bisa bangkit dan terus melangkah."*

More Chapters