Cherreads

Chapter 7 - Malam Ketika Desa Mengambil Nafas

Pagi belum datang ketika suara teriakan terdengar dari halaman rumah besar. Para penjaga menyalakan obor, mempersiapkan senjata, dan membuat lingkaran perlindungan. Warga desa berdiri di luar pagar, membawa cangkul, parang, kayu, bahkan batu—senjata seadanya.

Tidak ada yang berani menyerang, tetapi tidak ada yang mau mundur.

Kali ini yang mereka lawan bukan penjajah…melainkan takdir yang mendekat.

"Serahkan Tuan Van Goor," teriak salah satu pria. "Atau desa ini akan terus mati satu per satu!"

Penjaga membalas dengan senjata diarahkan ke massa.Gertakan itu biasanya membuat warga mundur.

Namun bukan hari ini.

Ketakutan pada Silvana lebih besar daripada ketakutan pada peluru.

Tetua desa berjalan ke depan, menatap para penjaga dengan suara parau namun tegas:"Semua ini terjadi bukan karena kami memberontak… tapi karena kalian menyembunyikan orang yang paling dicari oleh kematian itu."

Para penjaga saling pandang, wajah pucat. Bahkan mereka pun merasakan sesuatu yang tidak terlihat kini menguasai udara.

Tiba-tiba pintu rumah besar terbuka.

Van Goor keluar.

Rambutnya acak-acakan, matanya merah, wajahnya seperti pria yang tidak tidur selama berhari-hari. Namun geraknya penuh wibawa seperti seorang kolonel yang baru saja memenangkan perang.

"Siapa yang berani menuntut aku keluar dari rumahku?" suaranya menggelegar.

Warga jelas ketakutan. Tetapi tidak satu pun mundur.

Tetua maju selangkah. "Kami tidak datang membunuh. Kami datang karena dia ada di sini."

Mata Van Goor menyempit.Dia tidak perlu bertanya siapa dia.

Namun ia mulai tertawa kecil.

"Dia akan datang kepadaku, bukan pada kalian. Kalian semua hanya — saksi. Kalian pikir kematian Silvana terjadi karena aku seorang? Tidak."

Tetua menunduk, wajahnya berat. "Kami tahu. Kami bersalah karena diam. Tapi ini bukan lagi tentang siapa yang memegang tali dan siapa yang melihat."

Van Goor menatap massa dengan sorot tajam.

"Kalian ingin aku mati? Silahkan coba."

Dan dengan dingin, ia berjalan kembali masuk rumah.

Para penjaga bersiap menutup gerbang…Namun sebelum mereka melakukannya — angin dari ladang tebu berhembus kencang, meniup obor hingga padam serentak.

PLAAGHH.

Gelap kembali.

Tidak ada suara selama beberapa detik.Bahkan jangkrik berhenti.

Lalu terdengar sesuatu — nyanyian lembut, dari arah ladang.

Bukan nyanyian yang indah.Nyanyian yang patah. Yang pernah dipaksa bungkam.

Anak-anak di antara kerumunan mulai menangis. Para ibu memeluk mereka erat-erat. Para pria berpegangan pada senjata, bukan untuk menyerang, tapi untuk bertahan dari rasa takut yang datang dari dalam kepala.

Semua orang tahu suara itu.Semua orang pernah mendengarnya… di malam Silvana dibunuh.

Mereka tidak tahan lagi.

Seorang pria muda berteriak:"Aku tidak ikut waktu itu! Kenapa aku dihantui?!"

Suara nyanyian berhenti.

Suara Silvana — pelan, dekat sekali, seolah berdiri tepat di antara mereka — menjawab:

"Yang tidak bersalah tidak akan ditarik.Yang tidak ikut… tidak akan dipaksa mengingat."

Semua orang membeku.

Di antara massa, seorang wanita tua berlutut sambil menangis keras.

"Aku… aku tahu kau tidak bersalah, Silvana… tapi aku diam… aku tidak menyelamatkanmu… aku pengecut…"

Wanita itu menangis seperti anak kecil.

Dan hal aneh terjadi.

Udara di sekitar wanita tua menjadi hangat. Rasa sakit di kepala massa menghilang.Ketakutan berganti ketenangan.

Silvana telah memisahkan yang merasa bersalah karena menyakiti dan yang merasa bersalah karena takut menyelamatkan.

Dendamnya tidak buta.

Di dalam rumah besar, Van Goor duduk sendiri.

Ia menutup telinga, memejamkan mata — namun suara Silvana ada di dalam kepalanya, bukan di luar.

"Aku tidak kembali untuk membunuhmu. Aku kembali untuk menagih."

"Menagih apa?!" Van Goor membentak pada ruang kosong.

Keheningan sebagai jawaban.

Ia menjambak rambutnya, tubuhnya bergetar seperti orang sakit jiwa.Bayangan Silvana muncul di setiap sudut ruangan — kadang sebagai wanita, kadang sebagai sosok pucat, kadang sebagai gaun lusuh yang berdiri tanpa tubuh.

Yang paling menyiksa bukan penampakan fisiknya.

Yang menyiksa adalah kenangan.

Ingatan yang ia kubur paksa mulai kembali.

Ingatan tentang malam ketika ia memaksa Silvana menjadi miliknya — bukan karena cinta, tetapi karena ia tidak tahan dicintai oleh orang lain.

Ingatan ketika ia membunuh Silvana bukan karena ingin, tetapi karena lebih baik memusnahkan cinta daripada melihat cinta itu lepas dari genggaman.

Setiap kenangan menabrak seperti badai.

Akhirnya, Van Goor jatuh tersungkur ke lantai.Ia menangis seperti orang yang seluruh hidupnya berputar menjadi racun.

Pada saat itulah—Silvana muncul lagi.

Ia tidak seperti sebelumnya. Kali ini ia tidak berwujud penuh.Ia tampak seperti kabut yang perlahan membentuk wajah dan tubuh.

Silvana menatapnya tanpa kata.

Van Goor memaksakan tawa — tawa gila.

"Kau ingin aku meminta maaf? Kau ingin aku merasa bersalah? Kau ingin aku menyesal? Tidak akan pernah! Aku—"

Ia berhenti.

Karena Silvana tidak datang menuntut maaf.

Silvana datang menuntut kebenaran.

Dan kebenaran jauh lebih mematikan daripada penyesalan.

Ia perlahan menunduk, mata berlinang.Untuk pertama kalinya, ia mendengar dirinya sendiri mengucapkan apa yang tak pernah ia akui:

"Aku membunuhmu… karena aku tidak bisa membuatmu mencintaiku."

Silvana menutup mata — bukan karena sedih, tapi karena beban itu akhirnya diucapkan.Separuh tujuan dendamnya tercapai: kebenaran tidak lagi terkubur.

Namun Van Goor belum selesai ditebus.

Ia berdiri perlahan seperti orang yang kehilangan kekuatan.

"Kalau kau ingin aku mati," katanya dengan suara pecah, "ambil aku."

Silvana mendekat. Tapi saat jarak tinggal sejengkal, ia berkata:

"Aku tidak datang untuk mengambil hidupmu.Aku datang untuk mengambil… dirimu."

Dan itu jauh lebih menakutkan bagi Van Goor daripada kematian.

Wajahnya memucat, napasnya tercekat.

"Tidak… aku tidak akan menjadi milikmu dalam kematian… kau tidak boleh…"

Tapi Silvana hanya tersenyum pahit.

"Aku tidak pernah ingin kau menjadi milikku."

Dan dengan itu — Silvana menghilang.

Bukan sebagai tanda kemenangan,melainkan tanda perburuan baru dimulai.

Di luar, warga masih berkerumun.

Tiba-tiba langit pagi mulai memerah — namun bukan merah matahari, melainkan cahaya seperti bara yang datang dari arah ladang tebu.

Api?Bukan.

Cahaya itu seperti gema dunia lain.

Tetua desa menatap dengan ngeri.

"Silvana… membuka jalan untuk keadilan."

Orang-orang bergidik.

Yang bersalah akan dipanggil.Yang bersalah akan ditarik.

Dan Van Goor tahu…

Giliran berikutnya bukan kematian.Giliran berikutnya adalah pengadilan — yang tidak mengenal belas kasih.

Di dalam rumah besar, Van Goor berteriak pada malam yang meradang:

"Kalau kau ingin aku, Silvana — AKU AKAN DATANG KEPADAMU!"

Dan ia berlari keluar rumah.

Ke mana?

Ke ladang tebu.Ke tempat Silvana mati.Ke tempat semuanya dimulai.Ke tempat semuanya akan berakhir.

Dan ketika ia berlari ke jantung kegelapan itu…

Seluruh desa tahu:

Balas dendam Silvana baru saja dimulai — bukan berakhir.

More Chapters