Cherreads

Chapter 6 - Obsesi Dari Sebuah Kutukan

Lonceng gereja desa berbunyi pukul tujuh malam, namun tidak ada seorang pun yang datang untuk berdoa. Pintu-pintu rumah terkunci rapat, jendela ditutup kain tebal, dan setiap suara kecil membuat seluruh desa menegang. Tidak ada yang berani keluar setelah matahari tenggelam — bukan lagi karena takut gelap, tetapi karena gelap tidak lagi sendirian.

Malam itu desa bernafas gelisah.

Di rumah besar, Van Goor memandangi liontin emas Silvana yang kini tergeletak di lantai. Lampu minyak di ruangan bergoyang pelan, bayang-bayang menari di dinding seolah ada banyak orang yang bergerak — padahal hanya ada dia seorang.

Van Goor memungut liontin itu dengan jari gemetar.Selama bertahun-tahun ia menyimpannya sebagai kenangan… tapi sebenarnya itu bukan kenangan. Itu penguasaan.

"Silvana… milikku," bisiknya lirih.

Ia membuka liontin itu perlahan, memperlihatkan potret mini Silvana yang dilukis tangan. Mata wanita di lukisan itu dahulu tampak lembut. Kini — entah karena cahaya atau pikirannya — tampak seperti menatapnya dengan kemarahan dingin.

Van Goor tidak memalingkan pandangan. Ia tersenyum samar, seperti orang yang senang ditakuti.

Namun sesuatu terjadi.

Udara mendadak sangat dingin. Api lampu minyak mengecil.Cermin besar di dinding mulai berkabut — padahal tidak ada uap.

Kabut semakin tebal, lalu membentuk sidik jari tipis di permukaan kaca… seperti ada yang menempelkan tangan dari sisi lain.

Van Goor menegang, tapi ia tidak mundur.

"Aku tidak takut padamu."

Napas hangat — namun sebenarnya dingin — menyentuh tengkuknya dari belakang.

Hembusan, sangat jelas.

Wajahnya pucat, namun ia tetap tegap. Terlalu banyak pria yang gemetar padanya semasa hidup hingga ia yakin dirinya di atas rasa takut.

"Aku tidak takut padamu…" ia ulang lagi — namun kali ini suaranya pecah.

Lalu terdengar suara pelan di dekat telinganya:"Harusnya kau takut."

Van Goor memutar tubuh dengan cepat dan menembak sekali — DOR!!!.Kacanya retak, potongan kristal berhamburan.

Tidak ada siapa pun.

Namun kali ini Van Goor bukan menang —Silvana bermain dengan pikirannya, dan dia mulai goyah.

Di desa, beberapa lelaki berkumpul dekat rumah tetua.Mereka tidak lagi membicarakan pekerjaan, pajak, atau perintah kolonial. Kini hanya satu hal yang memenuhi percakapan:

"Apa yang kau lihat semalam?"

"Apa yang kau dengar dari tebu?"

"Apakah dia datang ke rumahmu?"

Para istri memeluk anak-anak, mata mereka sembab.Kabar tentang Johan menyebar cepat — mandor kuat itu kini hanya meracau nama Silvana tanpa bisa bicara normal.

"Itu bukan hantu," bisik seorang lelaki tua. "Itu arwah dendam."

"Kalau begitu kita harus memanggil pendeta," sahut seorang pemuda.

Tetua desa menggeleng pelan. "Pendeta tidak bisa menghentikan apa yang bukan kutukan… tapi penagihan."

Semua diam. Mereka tahu apa maksudnya.

Silvana tidak menakuti sembarang orang.Silvana hanya menuntut mereka yang terlibat dalam kematiannya — atau yang diam membiarkan.

Beberapa orang di antara mereka menunduk, wajah penuh rasa bersalah.Tidak semua orang memegang tali atau mengangkat kaki Silvana waktu itu… tetapi banyak yang menyaksikan, hanya melihat, hanya membiarkan.

Dan Silvana tidak membedakan pelaku dan pembiarkan.

"Kalau dia datang untuk memaksa kita mengingat," kata tetua desa lirih, "berarti dia ingin seseorang membayar."

Semua mata perlahan terarah pada satu rumah:rumah besar milik Tuan Van Goor.

Malam semakin larut.

Feldmann, sang asisten, berusaha menjaga ketenangan di rumah besar. Ia memeriksa semua pintu dan jendela, memastikan penjagaan lengkap. Ia menyuruh penjaga berkeliling setiap lima menit.

Namun tidak ada penjagaan yang bisa menghentikan sesuatu yang tidak berjalan dengan kaki.

Saat ia menelusuri lorong lantai atas, ia menemukan seseorang berdiri di ujung lorong — Van Goor.

"Tu–Tuan?" Feldmann terkejut. "Apa Anda baik-baik saja?"

Van Goor tidak menjawab. Ia memandangi jendela kaca buram yang menghadap ke ladang tebu. Pandangannya kosong, namun penuh murka.

Akhirnya ia berbicara — suara sangat pelan namun tajam:"Dia menunggu di luar."

"Siapa?"

"Kau tahu siapa."

Feldmann menelan ludah, berusaha rasional. "Tidak ada siapa pun di luar. Para penjaga telah memeriksa—"

"Penjaga?" Van Goor tertawa kecil, sinis. "Penjaga untuk apa? Dia bukan pencuri yang memanjat tembok. Dia… adalah seseorang yang mati di tanganku."

Feldmann mundur setengah langkah. Ia takut, tapi ia tidak bisa lari."Apa yang Tuan lihat?"

Van Goor memejamkan mata. "Sesuatu yang tidak bisa lupa."

Ia menoleh ke Feldmann — matanya merah karena kurang tidur.

"Dia tidak akan berhenti sampai aku datang kepadanya… atau sampai aku memanggilnya."

Feldmann berbisik, hampir menangis: "Tuan, Anda bicara seolah—"

"Seolah dia pernah menjadi milikku," Van Goor memotong. "Karena memang begitu."

Ada hening panjang.Tidak ada yang berani berbicara lebih jauh.

Di desa, malam makin mencekam.Angin dari ladang tebu mulai membawa suara samar — kadang terdengar seperti tangis tertahan, kadang seperti nyanyian anak kecil, kadang seperti seseorang menyebut nama-nama dengan jelas.

Nama-nama itu… nama para saksi hari kematian Silvana.

Anak-anak dipaksa menutup telinga.Orang dewasa memegang kepala mereka sendiri seakan suara itu menusuk langsung ke pikiran.

Salah satu pria berteriak: "Hentikan suara itu!!!"

Namun suara itu justru semakin keras.

Di balik suara-suara tersebut, terdengar satu kalimat paling jelas:

"Aku menagih apa yang kalian biarkan terjadi."

Dan seluruh desa mulai menyadari — ini bukan sekadar balas dendam.Ini penghakiman.

Sementara itu di rumah besar, Van Goor duduk di meja kerjanya. Pistol di tangan, liontin di meja, syal Silvana di pangkuan.

Dia terlihat seperti pria yang siap perang… atau siap mati.

Pintu terbuka keras — Feldmann berlari masuk, napas terengah.

"Tuan!! Warga desa berkumpul di luar! Mereka memprotes! Mereka memaksa Tuan keluar!"

Van Goor bangkit perlahan.

"Mereka pikir ini tentang pemerintahan?" ia tertawa kecil. "Tidak. Mereka ingin aku dibawa ke ladang."

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Feldmann ketakutan.

Van Goor memandang pistolnya."Mereka ingin mengantar seekor domba untuk dikorbankan. Tapi mereka lupa sesuatu tentang aku…"

Ia memasukkan peluru ke pistol satu per satu.

"…domba itu bukan aku."

Feldmann tercekat. "Tuan—"

Kalimatnya tidak selesai karena semua lampu di rumah besar padam sekaligus.

BLAAK.

Gelap total.

Feldmann ketakutan. "Tuan?? Tuan di mana?!"

Van Goor tidak menjawab.

Lalu — suara perempuan berbisik sangat dekat dari segala arah:

"Ayo… lihat aku."

Seperti pintu neraka terbuka di dalam pikiran, Feldmann menjerit.Ia menutupi telinga dan berlari tanpa arah.

Namun Van Goor berdiri tenang di tengah gelap.

Wajahnya berubah — bukan takut, bukan menyesal… tetapi marah.

"Silvana…" katanya pelan, penuh ganas.

"Kalau kau ingin aku melihatmu, tunjukkan dirimu."

Keheningan panjang.

Lalu perlahan — api lilin menyala satu per satu sendiri, menerangi ruangan.Dan di tengah cahaya itu…

Silvana muncul.

Bukan sebagai hantu kabur.Bukan sebagai bayangan.

Sebagai wanita — tubuh utuh, gaun lusuh, rambut panjang, mata penuh air mata… namun bukan sedih.Pilu berubah menjadi dendam.

Kulitnya pucat, bibirnya biru, tapi kecantikannya tetap mematikan.

Dan untuk pertama kalinya — Van Goor terlihat benar-benar tidak punya kekuasaan atasnya.

Senyum Silvana perlahan muncul.

Bukan senyum bahagia, bukan senyum jahat.Senyum seseorang yang akhirnya didengar setelah lama dibungkam.

Ia berjalan mendekat pelan, langkah tanpa suara.

Van Goor mengangkat pistol — tapi tangannya bergetar kuat.

"Berhenti di situ…" suaranya lemah.

Silvana terus berjalan.

"Jangan mendekat… Silvana…"Kata terakhir itu hampir seperti rengekan.

Dan ketika Silvana berdiri hanya sejengkal dari wajahnya, ia berbisik:

"Kau lupa… aku tidak pernah milikmu."

Van Goor jatuh berlutut — bukan karena didorong, tetapi karena jiwanya akhirnya menerima kebenaran yang paling ia takuti.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya…

Van Goor menangis.

Tidak karena takut mati.Tetapi karena dia tidak pernah benar-benar dicintai oleh seseorang yang ia paksa mencintainya.

Silvana menatap dari atas, air matanya mengalir — bukan karena iba, tapi karena rasa sakit terlalu lama dipendam.

Ia mengangkat tangan perlahan ke pipi Van Goor.Bukan untuk membelai.

Untuk memaksanya mengingat.

Dan ketika ujung jarinya menyentuh kulitnya — seluruh lampu di rumah besar meledak bersamaan.

BRRAAAK!!!

Rumah diterjang teriakan.

Teriakan dari masa lalu.

Teriakan kematian Silvana.

Teriakan dendam yang tidak mati.

More Chapters