Cherreads

LOVE IN NINETEEN-NINETY

NARANTARA
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
53
Views
Synopsis
Bahasa Indonesia: Cerita ini disajikan dalam bahasa Indonesia dan Inggris. English: This story is told in both Indonesian and English. [ID] Tahun 2025, Alya menemukan sebuah buku diary tua di Jogja, berjudul “Love in Nineteen-Ninety”. Dari halaman yang robek dan kata-kata yang seolah hidup, ia menulis ulang kisah cinta seorang pria bernama Raka - tanpa ia sadari, setiap kata yang ia tulis mulai mengubah kehidupan nyata. Dalam perjalanan antara surat misterius, pertemuan takdir, dan kata-kata yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, Alya dan Raka belajar bahwa cinta bisa tumbuh dari buku, kata, dan sedikit keajaiban. Apakah mereka hanya bagian dari cerita, atau justru cerita itu yang menulis mereka? Temukan keajaiban cinta dan misteri yang manis dalam kisah ini. [EN] In 2025, Alya discovers an old diary in Yogyakarta titled “Love in Nineteen-Ninety.” From its torn pages and words that seem almost alive, she begins to rewrite the love story of a man named Raka - unaware that every word she pens starts to change reality itself. Amid mysterious letters, fateful encounters, and words that bridge the past and the present, Alya and Raka learn that love can grow from books, from words, and from a touch of magic. Are they merely characters in a story, or is it the story itself that is writing them? Discover the sweet magic and mystery of love in this enchanting tale.
VIEW MORE

Chapter 1 - 1. Alya’s World

[ID] Namaku Alya Maharani, tapi semua orang memanggilku Alya saja. Nama lengkap itu terdengar terlalu resmi, seperti identitas yang hanya muncul di dokumen penting atau momen-momen serius yang jarang terjadi. Aku lahir di Bandung, di sebuah rumah kecil yang selalu dipenuhi tawa dan aroma masakan Ibu.

[EN] My name is Alya Maharani, but everyone just calls me Alya. That full name sounds too formal, like something that only appears on official documents or during serious, rare occasions. I was born in Bandung, in a small house always filled with laughter and the aroma of my mother's cooking.

[ID] Sekarang aku tinggal di Jakarta, di sebuah apartemen mungil yang kusewa murah. Tidak besar, tidak mewah, tapi cukup untukku. Di sini aku belajar bahwa kehangatan tidak selalu datang dari tempat luas, melainkan dari ruang kecil yang terasa milikmu sendiri.

[EN] Now I live in Jakarta, in a tiny apartment I rent cheaply. Not big, not luxurious, but enough for me. Here, I've learned that warmth doesn't always come from a spacious place it can come from a small space that truly feels yours.

[ID] Jakarta tidak pernah tidur. Kota ini berlari cepat, penuh cahaya, suara, dan orang-orang yang terus bergerak. Namun aku selalu menemukan kedamaian di tengah semua itu, dalam hal-hal kecil yang sering dilewatkan orang lain: secangkir kopi hangat di pagi hari, halaman buku yang berbau waktu, atau sinar matahari yang menyelinap lembut melalui tirai kamarku. Bagi sebagian orang, itu mungkin hal sepele. Tapi bagiku, hal-hal kecil itu adalah cara dunia berbisik pelan, mengatakan bahwa aku masih hidup dan semuanya masih baik-baik saja.

[EN] Jakarta never sleeps. The city runs fast, full of lights, sounds, and people constantly on the move. Yet I always find peace amidst it all, in small things that often go unnoticed: a warm cup of coffee in the morning, pages of a book that smell of time, or sunlight sneaking gently through my curtains. For some, these may seem trivial. But to me, these little things are the world whispering softly, reminding me that I'm alive and that everything is still okay.

[ID] Setiap pagi aku membuat kopi. Aku tidak terlalu peduli apakah itu hitam, manis, atau pahit. Bagiku, "kopi is kopi." Ada sesuatu tentang aromanya yang menenangkan, seperti jeda singkat sebelum dunia kembali berputar cepat.

[EN] Every morning I make coffee. I don't really care whether it's black, sweet, or bitter. To me, "coffee is coffee." There's something about its aroma that calms me, like a brief pause before the world spins fast again.

[ID] Aku sering berdiri di balkon, menatap barisan gedung tinggi di kejauhan. Kadang, ketika cahaya matahari menembus celah bangunan, bayangannya jatuh di lantai apartemenku membentuk pola yang aneh tapi indah. Aku suka momen itu. Seolah pagi sedang mencoba bercerita sesuatu padaku dengan bahasa yang hanya bisa kurasakan, bukan kumengerti.

[EN] I often stand on the balcony, staring at the row of tall buildings in the distance. Sometimes, when sunlight passes through the gaps between them, its shadows fall across my apartment floor in strange but beautiful patterns. I love those moments. It's as if the morning is trying to tell me something in a language I can only feel, not understand.

[ID] Sambil menikmati kopi, aku membuka buku catatanku. Menulis adalah kebiasaanku sejak lama. Aku menulis tentang hal-hal kecil yang kutemui setiap hari, suara hujan di kaca jendela, percakapan orang di kafe, atau pikiran yang muncul tanpa alasan jelas. Menulis membuatku merasa utuh, seolah setiap kata mampu merangkai diriku kembali ketika dunia terasa terlalu cepat.

[EN] While sipping my coffee, I open my notebook. Writing has been my habit for as long as I can remember. I write about the little things I encounter every day, the sound of rain against my window, conversations I overhear in cafés, or thoughts that appear for no reason. Writing makes me feel whole, as if each word is piecing me back together when the world feels too fast.

[ID] "Pagi, Alya. Masih baca buku lagi?" Suara itu datang dari balkon sebelah. Lila, tetanggaku sekaligus teman baikku, berdiri sambil memegang mug teh hangat. Rambutnya masih berantakan, wajahnya belum sepenuhnya terjaga.

[EN] "Morning, Alya. Reading again?" The voice comes from the next balcony. Lila, my neighbor and close friend, stands holding a mug of warm tea. Her hair is still messy, and her face hasn't fully woken yet.

[ID] Aku tersenyum. "Iya, cuma beberapa halaman. Kamu tidur nyenyak?"

"Lumayan," jawabnya sambil tertawa kecil. "Tapi kenapa sih kamu selalu bangun sepagi ini? Aku aja belum sempat mimpi, kamu sudah bangun duluan."

[EN] I smile. "Yeah, just a few pages. Did you sleep well?"

"Not bad," she replies with a small laugh. "But why are you always up this early? I haven't even dreamed yet, and you're already awake."

[ID] Aku mengangkat bahu dan meneguk kopi. "Entahlah. Aku suka suasana pagi. Dunia belum terlalu bising, dan pikiranku masih jernih."

[EN] I shrug and sip my coffee. "I don't know. I just like mornings. The world isn't too noisy yet, and my mind is clear."

[ID] Lila mengangkat alis dan menatap nakal. "Pikir jernih atau lagi nunggu jodoh datang?"

Aku tertawa kecil. "Mungkin dua-duanya."

Dia ikut tertawa. "Ya udah, kalau gitu lanjutkan saja. Tapi jangan buru-buru, Alya. Kadang jodoh datangnya pas kita udah berhenti nyari."

Aku hanya tersenyum, menatap uap kopi yang perlahan hilang di udara. Entah kenapa, kata-kata Lila terasa seperti sesuatu yang akan aku pahami nanti, bukan sekarang.

[EN] Lila raises an eyebrow, smirking. "Clear mind… or just waiting for love to find you?"

I chuckle softly. "Maybe both."

She laughs along. "Alright then, go on. But don't rush it, Alya. Sometimes love comes when you've already stopped looking."

I just smile, watching the steam of my coffee fade into the air. Somehow, Lila's words feel like something I'll understand later, not now.

[ID] Pagi itu aku menutup hari dengan semangat baru yang hangat, sehangat mentari pagi yang setia menyapaku. Sebelum semua aktivitas harianku berikutnya dimulai, aku berniat menjalani semuanya dengan hati yang terbuka dan penuh perhatian. Rasanya seperti pagi ini memberiku kesempatan untuk menulis cerita baru, merasakan hidup dengan lebih jelas, dan menghargai hal-hal kecil yang sering terlewat. Aku tersenyum, meneguk kopi terakhirku, dan menarik napas panjang. Hari ini, aku siap untuk semua kejutan yang akan datang.

[EN] That morning, I ended my day with a fresh, warm spirit, as warm as the morning sun that faithfully greets me. Before diving into the day's routine, I intended to approach everything with an open and attentive heart. It felt like this morning was giving me a chance to write new stories, to experience life more vividly, and to appreciate the small things often overlooked. I smiled, took the last sip of my coffee, and drew a deep breath. Today, I was ready for all the surprises that awaited.