Cherreads

Chapter 3 - BAB 3 — API KECIL DI DALAM DIRI

Hidup di desa itu memang tenang…

tapi ketenangan hanya milik orang yang tidak dibesarkan oleh kegelapan.

Surya belajar itu sejak kecil.

Pagi itu ia sedang membantu ibunya menjemur padi di halaman ketika suara motor tua meraung dari arah jalan.

Ayahnya pulang—bau arak dan tanah kubur bercampur jadi satu.

Lelaki itu turun sambil melempar tas plastik penuh uang ke meja bambu.

"Iki ongkos bengi wingi. Wis, simpen wae."

(Ini bayaran semalam. Simpan saja.)

Ibunya menunduk dalam.

Terlalu dalam.

Surya tahu: uang itu bukan dari kerja halal.

Ayahnya menatap Surya tajam.

"Le, nek kowe wis gede, kowe kudu ngerti carane golek dhuwit sing cepet. Sing alon, ra bakal nyelametno uripmu."

(Nak, kalau kau sudah besar, kau harus tahu cara mencari uang cepat. Yang lambat tidak akan menyelamatkan hidupmu.)

Surya menahan napas.

Ayahnya selalu ingin Surya mengikuti jejak kelamnya.

Tapi Surya punya jalan lain.

Sore harinya, saat matahari mulai turun, Surya berjalan melewati warung kecil milik Bu Ratmi. Di sana, beberapa preman kampung duduk sambil merokok.

Salah satunya, Jatmiko, melirik sinis.

"Wes bali bocah padepokan. Ngira dadi wong suci saiki?"

(Sudah pulang anak padepokan. Mengira jadi orang suci sekarang?)

Yang lain tertawa kasar.

Surya, dengan wajah tenang, berkata pelan:

"Urip iki ora kudu sok jago, Ko. Kadang sing meneng luwih ngerti piye carane slamet."

(Hidup ini tidak harus sok jago, Ko. Kadang yang diam justru lebih tahu cara selamat.)

Jatmiko berdiri, mendorong dada Surya.

"Kowe ki ngomong karo sopo?!"

(Kamu ini bicara sama siapa?!)

Seketika, mata Surya berubah.

Tenang. Dingin. Tanpa emosi.

Ia menggenggam tangan Jatmiko pelan… tapi tekanan jarinya membuat lelaki itu meringis.

"Awasno tanganmu, Ko. Nek isih pengin iso mangan nganggo tangan tengen."

(Jaga tanganmu, Ko. Kalau masih mau makan pakai tangan kanan.)

Semua langsung diam.

Entah dari mana kekuatan itu—bukan ilmu sakti, bukan tenaga dalam.

Hanya ketenangan maut yang dipelajarinya dari hidup… bukan dari guru.

Jatmiko mundur, wajahnya pucat.

Surya melanjutkan jalan seolah tak terjadi apa-apa.

Malam tiba.

Desa sunyi, hanya suara jangkrik dan gonggongan anjing sesekali.

Surya duduk di belakang rumah, menatap langit merah yang perlahan menghitam.

Ibunya keluar membawa teh panas.

"Sur… kowe ki yo iseh enom. Ojo nganti ati dadi atos."

(Sur… kau masih muda. Jangan sampai hatimu jadi keras.)

Surya menatap ibunya.

"Aku mung pengin urip, Bu. Nanging donya iki nggawe uwong alus dadi korban."

(Aku hanya ingin hidup, Bu. Tapi dunia ini membuat orang baik menjadi korban.)

Sarmi meneteskan air mata, cepat-cepat ia hapus.

"Nek atimu peteng, uripmu bakal peteng sak lawase, Le."

(Kalau hatimu gelap, hidupmu akan gelap selamanya, Nak.)

Surya tidak menjawab.

Ia tahu ibunya benar.

Tapi ia juga tahu:

hatinya sudah lama tidak putih.

Setiap malam, ada api kecil di dalam dirinya—api yang tidak bisa padam.

Api yang lahir dari pukulan ayah, dari makian tetangga, dari lapar, dari ejekan, dari rasa tidak berharga.

Api yang membisiki:

"Cepat atau lambat… kau akan kembali ke dunia dimana kau benar-benar cocok."

Surya menutup mata.

Dalam kegelapan, ia melihat masa depannya:

perkelahian, darah, kata-kata kejam, uang haram, tawa palsu orang kota, dan dirinya… berdiri sendirian di tengah semuanya.

Malam itu ia sadar:

Orang seperti dirinya tidak bisa selamanya hidup sebagai anak desa yang jinak.

Cepat atau lambat, Surya akan masuk ke dunia besar—dan dunia itu akan menyesal menyentuh dirinya.

 

More Chapters