Cherreads

Chapter 5 - BAB 5 – Jalan Remaja yang Tak Pernah Lunak

Malam turun lebih cepat di dusun itu, seakan matahari pun enggan melihat betapa hidup keluarga Surya makin lama makin retak. Rumah reyot mereka tetap menjadi saksi paling diam, menerima teriakan, bantingan pintu, dan bau arak murahan Ayah yang menempel di kayu-kayunya.

Surya kini sudah menginjak usia remaja—usia di mana anak lain masih duduk di bangku sekolah sambil bercanda tentang cinta monyet dan pertandingan bola, sementara ia sudah memikul beban seperti pria dewasa yang kelelahan.

Setiap subuh, ia bangun lebih cepat dari ayam di kandang tetangga.

"Lekas, Sur." ucap ibunya sambil menyiapkan teh hangat yang rasanya lebih seperti air gula.

"Kerja pasar nanti penuh."

Surya mengangguk, mengenakan jaket lusuh dan memanggul karung goni. Ia bekerja mengangkut sayur dan bawang dari pasar ke kios-kios. Setiap hari tubuhnya makin kekar, namun wajahnya makin tirus.

Orang pasar menyukai Surya—dia gesit, jujur, dan tidak pernah melawan meski disuruh kerja dua kali lipat. Tapi di balik senyum tipisnya, ia menyimpan bara.

Bara dari lapar yang tidak pernah benar-benar hilang.

Bara dari adiknya yang terus menangis setiap malam.

Bara dari ibunya yang kian kurus.

Dan terutama—bara dari ayahnya yang semakin tenggelam dalam dunia kekerasan dan perempuan.

Kadang Surya mendengar bisikan-bisikan suara halus di sudut rumah—seperti suara yang dulu ia dengar saat masih kecil.

"Sabar… kawula enom."

(Sabar… anak muda.)

Suara itu bukan suara manusia.

Bukan pula suara yang jahat.

Justru menenangkan, tetapi menakutkan karena ia tahu itu bukan dari dunia yang sama.

Keluarga Surya memang keturunan lama dari jalur kejawen. Ada garis halus yang tidak pernah terputus—garis yang sering membuat tetangga berbisik-bisik tiap kali Surya lewat.

Suatu malam, sewaktu Surya pulang dari pasar, ia melihat sosok ayahnya duduk di beranda. Baju ayahnya penuh darah kering. Bau amis menyengat.

Ayahnya menatap Surya tanpa emosi.

"Kowe kudu kuwat, Sur." katanya pelan.

(Kau harus kuat, Sur.)

"Dunia iki ora gawe pangapura."

(Dunia ini tidak memberi ampunan.)

Surya hanya berdiri mematung.

Ayahnya melanjutkan,

"Sing alon mesti kalah. Sing ragu mesti mati."

(Yang lambat pasti kalah. Yang ragu pasti mati.)

Surya menelan ludah.

Bukan karena takut—tapi karena ia tahu, ayahnya bicara dari pengalaman dunia gelap yang tak pernah ia ceritakan dengan gamblang.

Di hari-hari berikutnya, Surya mulai memperhatikan perubahan dirinya.

Ia tidak lagi sekadar bekerja. Ia mulai mencatat. Mengamati. Menghafal.

Bagaimana orang mengatur harga.

Bagaimana seseorang memanipulasi pembeli.

Bagaimana kelompok preman menguasai retribusi.

Bagaimana dunia berjalan bukan karena kebaikan, tapi karena kelicikan yang terstruktur.

Surya menyerap semuanya seperti spons.

Di malam yang tenang, ia duduk sendirian di belakang rumah. Angin membawa aroma tanah basah. Bulan mengintip malu-malu di antara awan.

Tiba-tiba, suara itu muncul lagi.

"Sing tekun, Surya… wektu bakal bali."

(Tekunlah, Surya… waktumu akan datang.)

Surya merinding. Tapi kali ini, ia tidak takut.

Ia merasa diramal. Dipilih. Dipersiapkan.

Bukan oleh manusia.

Bukan oleh dunia sekolah.

Bukan oleh ayahnya sekalipun.

Tapi oleh sesuatu yang lebih tua… dan lebih gelap.

Remaja itu menatap malam panjang di hadapannya.

Ia tahu satu hal:

Hidupnya tidak akan pernah lunak.

Tapi ia juga tahu… ia tak akan pernah jadi korban selamanya.

Di titik inilah Surya mulai berubah.

Diam-diam, pelan-pelan, ia menempa dirinya menjadi sesuatu—sesuatu yang bahkan ayahnya kelak tak bisa kendalikan.

More Chapters