Cherreads

Chapter 2 - Prolog

“Kenapa dengan kamu, Atalia?” Suara Gendur serak menahan cemas.

“Atalia rindukan ibu... nenek...” jawab gadis itu di ribanya, tangisnya teresak-esak bagai anak kecil kehilangan seluruh dunia.

Gendur tidak menjawab. Dia hanya menatap wajah anak gadis berambut putih keperakan itu — wajah yang persis ibunya, Lady Andarea, wanita secantik sinar bulan yang pernah menggetarkan hati para bangsawan dan manusia biasa.

Dia menghela nafas berat. Siapa sangka hidup anak yang dibesarkannya dengan penuh kasih sayang akan berakhir dalam tragis dan sumpah?

Dadanya berombak, api marah yang sudah lama padam kini menyala kembali setiap kali ingatannya membawa dia ke malam jeritan Andarea — jeritan yang masih menghantui tidurnya walau dendam telah terbalas dengan darah.

Tiba-tiba tubuh Atalia menggigil hebat, seolah-olah roh di dalamnya memberontak.

“Atalia!”

Gendur segera mendakap gadis itu, mengangkat tubuhnya dari riba lalu membaringkan di atas katil kayu.

Tangannya yang tua bergegas membuka beg kulit lusuh, mengeluarkan botol-botol kecil dari tanah liat. Dengan bibir yang bergetar, dia menuangkan ramuan pahit ke bibir Atalia sambil melafazkan mantera purba dalam bahasa yang sudah tidak dikenal manusia zaman ini.

Beberapa ketika kemudian, tubuh Atalia mulai tenang. Nafasnya kembali teratur, meski panas masih terasa dari setiap hembusan. Kedua matanya masih berair — bukan kerana penyakit, tetapi rindu yang terlalu dalam kepada ibunya.

Gendur mengeluh perlahan. Sudah sebulan mereka meninggalkan wilayah La Fertilité. Dia tahu, yang merenggut kesihatan Atalia bukan demam atau bisa, tetapi kerinduan yang menggigit jiwanya sendiri.

Dia memalingkan wajah ke arah jendela. Di luar, salju mula turun perlahan, menutupi lembah hijau di kaki bukit tempat rumah kayunya berdiri.

Selesai menyelimuti tubuh Atalia, Gendur berdiri longlai. Langkahnya perlahan, seolah setiap gerak menanggung beban masa lalu yang berat.

Dia keluar ke halaman rumah kayu yang mulai diselimuti putih salju. Dengan tangan tua, dia mengangkat batu-batu besar, menyusunnya menjadi bulatan sempurna.

“Maafkan makcik, Andarea... Semua ini bukan kehendak makcik. Tapi makcik terpaksa...” bisiknya dengan suara yang tenggelam dalam dingin

Vannes, Wilayah Barat Perancis

Di istana batu yang megah di tengah Vannes, seorang lelaki berlari tergesa di sepanjang koridor, menggenggam gulungan kulit biri-biri. Nafasnya tercungap bila tiba di ruang dewan besar tempat Putera Hugh berdiri bersama para bangsawan dari Bretagne.

“Patik yakin, Tuanku,” ujar lelaki bertubuh besar berjubah biru dengan rantai perak di lehernya, “setelah serangan balas dari tentera kita, Putera Lambart tidak akan berani mencabar wilayah kita lagi.”

“Benar, Tuanku,” sahut pula seorang kesatria berjubah besi, pedang panjang tergantung di sisi.

Namun Putera Hugh tidak segera menjawab. Matanya tertumpu pada peta besar di atas meja, dihiasi patung-patung tentera kecil. Sudah sebulan dia bertahan di kota ini, mempertahankan pesisir dari serangan armada England.

Pintu dewan terbuka. Lelaki yang berlari tadi melangkah masuk dan segera berlutut.

“Tuanku...”

Putera Hugh berpaling, dan bibirnya mengukir senyum kecil.

“Esmond! Bagaimana hasilnya?”

“Ini dia, Tuanku,” ujar Esmond sambil menyerahkan gulungan kulit biri-biri itu. “Ini gambar wanita dan anak gadis Lady Andarea.”

Putera Hugh mengambil gulungan itu, melangkah ke meja, lalu membukanya.

Lukisan di atas kulit biri-biri itu begitu hidup — wajah seorang wanita tua berambut putih dan seorang anak gadis di sisinya, seolah kedua-duanya masih bernafas di atas lembaran itu.

“Lukisan ini... bagaikan hidup,” ujar bangsawan berjubah biru terpegun. “Hebat betul kemahirannya.”

Putera Hugh mengangguk perlahan. “Bagus. Ini sangat bagus.” Dia berdiri tegak, memandang setiap wajah di sekelilingnya. “Agihkan setiap salinan lukisan ini kepada semua wilayah. Sesiapa yang menemui mereka — tangkap hidup-hidup. Jangan cederakan mereka. Dan ingat...” Nada suaranya berubah tegas. “Jangan sesiapa pun menyentuh tengkorak yang dibawa wanita tua ini.”

“Baik, Tuanku!” serentak suara para bangsawan bergema.

Gendur berlutut di tengah bulatan batu yang disusunnya tadi. Salju turun semakin lebat, menutupi rambut putihnya, seolah langit sendiri meratap atas apa yang bakal terjadi.

Angin mula berputar, menderu seperti lautan yang marah. Daun dan abu salju terangkat berpusar mengelilinginya.

Namun wajah Gendur tenang — tenang yang penuh derita. Di hadapannya, sebuah tengkorak wanita diletakkan di tengah bulatan batu itu.

Itulah tengkorak Lady Andarea, keponakan yang disayanginya lebih daripada anak sendiri.

“Wahai ras manusia keji,” kedengaran secara tiba-tiba suara bergema dari balik angin — dalam, garau, dan kuno. “Apa yang engkau ingin lakukan?”

Gendur tidak menjawab. Matanya yang kelam hanya menatap tengkorak di hadapan, seolah menatap kembali masa lalu.

“Jangan lakukan, Gendur,” suara itu sambung, semakin keras, “Yang telah mati... biarkan ia mati. Menghidupkan jiwa yang tenang hanya membawa sengsara.”

Tangan Gendur bergetar, namun tekadnya tak goyah. “Aku terpaksa. Aku harus lakukannya...”

Angin bertiup kencang, membadai tubuhnya hingga jubahnya berkibar liar.

“Wahai ras terhina dari manusia!” pekik suara itu lagi, kini penuh amarah. “Jangan hidupkan jiwanya! Ingat sumpahnya — jiwanya akan membawa bencana kepada manusia!”

“Sumpah itu tidak akan berkesan ke atas keturunannya!” Gendur menjerit melawan angin. “Aku hanya ingin menyelamatkan anaknya! Tiada ubat lain. Jika aku tidak lakukan ini, Atalia akan mati — dan garis keturunanku akan berakhir!”

“Gendur!” suara itu bergema dari langit dan bumi sekaligus. “Keturunannya akan mengkhianatinya! Mereka akan mempergunakan jiwanya untuk kekuasaan mereka sendiri. Dia akan menderita... selama-lamanya.”

Gendur menutup mata. Dadanya sesak antara tanggungjawab dan kasih.

Tiba-tiba —

“Ibu! Ibu!” Jeritan Atalia bergema dari dalam rumah.

Jeritan itu juga menghentak jantung Gendur seperti panah. Air mata menitis di pipinya.

“Aku harus melakukannya...” bisiknya serak. “Aku harus melakukannya!”

“Baiklah, Gendur,” suara itu akhirnya mereda, perlahan dan berat, “Jika itu pilihanmu, maka bersumpalah padaku. Jangan sekali-kali engkau mengajar keturunanmu peninggalan Morgana. Jika sumpah itu kau langgar... seluruh keturunanmu akan menanggung akibatnya.”

“Aku bersumpah! Aku bersumpah,” Gendur menjerit sambil menengadah ke langit.

“Maka ini... pertemuan terakhir antara kita, Gendur. Selepas ini, tiada lagi ikatan antara engkau dan aku.”

Deruan angin semakin kuat, lalu perlahan-lahan berhenti. Hening menggantikan bising.

Gendur meletakkan gelang akar pokok dari hutan Fôret de Brocéliande di atas tengkorak itu. Bibirnya terkumat-kamit membaca mantera dalam bahasa kuno.

Langit menjadi kelam. Suara alam terhenti. Angin beku seakan membeku di udara.

Tiba-tiba, tengkorak Lady Andarea merekah — retakannya bersinar seperti bara merah, kemudian meletus lembut menjadi abu bercahaya yang berputar di udara sebelum menyatu menjadi bayangan seorang wanita berjubah hijau.

“Makcik...” Suara lembut itu membuat Gendur tersenyum pahit. Dia mengangkat kepalanya perlahan.

“Makcik, apa yang terjadi? Mengapa aku di sini?” tanya wanita itu, rambutnya berkilau keperakan, matanya hijau zamrud, dan wajahnya — indah, tapi dingin seperti bulan di musim dingin.

“Andarea...” Gendur memanggil, suaranya bergetar. “Kemari, duduk di hadapan makcik.”

Andarea melangkah, lututnya berlutut di depan Gendur.

“Apa yang makcik lakukan ini... bukan atas kehendak makcik. Tapi makcik tiada pilihan.”

Andarea diam, matanya memerhati tubuh sendiri. Tangannya menyentuh dada, dan wajahnya berubah pucat.

“Makcik... mengapa aku tidak merasai degupan jantungku?”

Gendur menatapnya, tidak mampu menjawab seketika.

“Tenanglah, Andarea...” dia akhirnya bersuara lemah. “Kamu kini hidup di dunia ini... sebagai jiwa tanpa jasad.”

Andarea tersentak, lalu berdiri, marah dan ngeri. “Apa?! Tidak! Tidak mungkin makcik tergamak melakukannya padaku!”

Tiba-tiba suara halus menembusi udara:

“Ibu! Ibu!”

Tubuh Andarea bergetar, matanya terbeliak.

“Atalia...?”

Dia menoleh ke arah rumah, mencari sumber suara anak gadisnya.

“Tunggu, Andarea,” pinta Gendur.

“Tapi makcik! Itu suara anakku!”

“Dia sudah begitu selama sebulan. Makcik tak mampu menyembuhkannya.”

“Tidak...” Air mata Andarea mengalir. “Tidak, makcik...”

“Itulah sebabnya makcik lakukan ini. Kerana rindu anakmu memanggilmu dari dunia orang hidup.”

Andarea terduduk. Tangannya menekan dada tanpa degupan.

“Makcik... apa yang telah makcik lakukan padaku...”

Gendur mendekat, lalu memeluk tubuh anak buahnya itu yang dingin. Kedua-duanya menangis — makhluk hidup dan roh yang baru dihidupkan.

“Ingat pesan makcik, Andarea,” ujar Gendur perlahan, “Hanya anakmu dan keturunannya mampu melihat dan menyentuhmu. Dialah sebab engkau kembali. Jagalah dia... dan bila tiba waktunya, biarkan dia memusnahkan jiwamu agar engkau bebas.”

Andarea mengangguk perlahan, matanya merah. “Bagaimana dengan Galant, makcik?”

Nama itu membuat Gendur kaku. Dia segera berdiri, wajahnya berubah murka.

“Kamu masih berani menyebut nama itu?! Lelaki yang mengkhianatimu, yang membiarkan api membakar tubuhmu hidup-hidup!”

Andarea diam, hanya menunduk.

“Aku membencinya... tapi aku masih ingat saat dia mencintaiku.”

“Cukup!” jerit Gendur. “Aku sudah membunuhnya! Dan semua yang mengikutnya! Wilayah itu kini tiada lagi!”

Andarea terpaku. Air matanya kembali menitis.

“Andarea, wujudmu di dunia ini hanya untuk satu tujuan — menjaga Atalia. Bila dia dewasa dan mampu menjaga dirinya, kau mesti biarkan dia membinasakan jiwamu. Faham?”

Lady Andarea mengangguk lemah.

Gendur membongkok, mengambil gelang akar itu dari tanah. “Gelang ini kini menyatu dengan rohmu. Hanya keturunan kita yang boleh menghancurkannya. Bila Atalia memusnahkannya... kau akan bebas.”

“Ibu!” Suara itu bergema lagi. Mereka menoleh — di muka pintu berdiri seorang gadis berwajah pucat, senyumannya penuh cahaya.

“Atalia!”

Andarea segera berlari memeluk anak gadisnya. Tangisan mereka berpadu di udara dingin.

“Ibu... kenapa ibu pergi? Ibu tak sayang Atalia lagi?”

“Tidak, sayang... Ibu sangat sayang padamu. Ibu takkan tinggalkan Atalia lagi.”

“Janji, ibu?”

“Ibu janji.”

Setelah setahun berlalu, Gendur menghembuskan nafas terakhirnya, Andarea menjaga Atalia, selepas Atalia berusia 17 tahun, putera Hugh berjaya menemui Atalia, oleh kerana kecantikkan yang di miliku Atalia membuatkan Putera Hugh telah jatuh cinta, begitu juga dengan Atalia, mereka berdua berkahwin

Namun selepas beberapa tahun Atalia melayari bahtera perkahwinannya bersama putera Hugh, dia telah menjadikan jiwa ibunya sebagai alat untuk membinasakan musuh-musuhnya dan musuh suaminya, begitu juga dengan keturunan Atalia, terus menerus mempergunakan jiwa Andarea untuk kepentingan mereka sehinggalah kehidupan bangsawan dari keturunan Atalia berakhir selepas tercetusnya Revolusi Perancis di bawah alat guillotine

Salah satu keturunan Atalia yang menyarung gelang peninggalan Gendur telah tertimbus ketika di paksa menjadi buruh di dalam terowong batu kapur dan kini terowong itu telah di jadikan muzium di kenali sebagai catacombs

Pengenalan

Bretagne sekarang di kenali Britanny

Gendur dan Andarea adalah keturunan terakhir dari Faye Le Morgana, kakak tiri dari king Arthur

Fôret De Brocéliande adalah hutan terletak di Britanny, Terdapat sumber sihir dari faye le Morgana

Cerita ini sekadar rekaan sahaja, tiada membabitkan isu agama,

More Chapters